Tak ada yang bisa menebak takdir, begitupula dengan Jessie (Sarah Snook) yang harus menerima takdir pahit ketika kecelakaan maut merenggut kebahagiannya, laki-laki yang dicintainya, sang tunangan tewas dan Jessie pun harus merelakan kehilangan bayi yang dikandungnya. Akibat kecelakaan tersebut, Jessie lumpuh, dia pun dikirim ke rumah ayahnya yang sudah bertahun-tahun tak ditemuinya. Di rumah inilah, Jessie bertemu dengan Ibunya yang sudah lama meninggal saat dia masih bayi, tak sengaja dia menemukan kaset video yang didalamnya berisi rekaman sang Ibu yang seakan sedang berbicara dengan Jessie, bahkan sempat-sempatnya memberikan ramalan lewat kartu tarot. Well, ramalan dan perkataan Ibunya di rekaman tersebut lama-kelamaan mulai mengganggu Jessie, dia mulai bermimpi buruk dan mengalami kejadian-kejadian aneh. Rumah Ayahnya, yang harusnya jadi tempat Jessie menenangkan diri, justru malah balik menyerangnya seakan ada “seseorang” yang tidak menginginkan kehadiran Jessie di rumah itu. Saya menaruh kepercayaan pada “Jessabelle”, begitu melihat lokasi mengasyikan yang menjadi setting film besutan Kevin Greutert ini. Rawa-rawa Louisiana yang mengelilingi rumah Jessie sebetulnya sudah sangat mendukung secara atmosfer, mencekam sekaligus menyembunyikan misteri tersendiri. Dibubuhi unsur black magic lokal, “Jessabelle” sepertinya berpotensi jadi horor yang asyik.

Horor yang asyik tersebut berarti “Jessabelle” diharapkan untuk seram, saya tak akan banyak protes, jika kemudian proses menuju rasa cekam dan seram mesti melalui serangkaian drama dan alur yang agak merangkak. “Jessabelle”, memang membutuhkan drama, horor lainnya juga terkadang butuh selipan drama, untuk menampilkan sisi manusiawi karakternya misalnya. Memberikan ruang bagi kita untuk mengenal lebih dalam karakter utama, dari sanalah biasanya rasa simpati berasal, tergantung bagaimana si pembuat film cermat memainkan porsi drama. Tapi tentu saja, bagian horor tidak boleh ditinggalkan begitu saja, untungnya di “Jessabelle” Kevin Greutert tidak lupa kalau dia sedang membuat film horor. 20 sampai 30 menit awal film memang bisa dibilang tak ada apa-apa, Kevin ingin mengajak kita berkenalan dengan Jessie dan masalahnya, mengenal Ayah Jessie yang tukang marah, mempertemukan dengan Ibunya yang agak creepy dan juga memberi tur keliling rumah yang memang rada spooky, apalagi dikelilingi rawa-rawa yang memberi kita rasa tidak nyaman lebih dulu. Kita dipaksa untuk sedikit bersabar, sambil Kevin menyiapkan segalanya, termasuk pondasi cerita dimana nantinya Kevin membangun kisah horornya, yang idenya saya akui menarik.

Masalah timbul ketika “Jessabelle” mulai menakut-nakuti, iyah awalnya semua berjalan lancar, Kevin Greutert tidak mau terburu-buru memperlihatkan dengan jelas sosok yang mengganggu si karakter utama, caranya bisa dibenarkan. Saya menyukai horor yang pelan-pelan dengan sabar menghadirkan penampakannya, bukan yang terburu nafsu baru 5 menit film mulai sudah memajang wajah setan lengkap dengan mulut menganga dan scoring jreng-jreng-nya. “Jessabelle” tidak melakukan itu, klise sih, awalnya suara-suara kemudian bayangan, tapi saya rasa cara itu lebih efektif ketimbang wajah dedemitnya diekspos secara berlebih dan disorot memenuhi layar bioskop. Kita jadinya juga dibuat penasaran, Kevin pun punya waktu untuk memainkan ketakutan penontonnya, sambil memberi ruang bernafas ketika film juga masih peduli melanjutkan ceritanya, jadi memang tak melulu horor-hororan, karena toh ada kisah yang perlu dibagikan hingga tuntas. Sarah Snook pun mampu jadi penyampai rasa takut yang baik, jadi tidak hanya asal teriak-teriak ketakutan saja. Aktingnya sanggup memberi kita keyakinan dia memang sedang ketakutan, sekaligus hampir gila akibat gangguan si “penunggu” rumah, membuat saya menaruh cukup rasa simpatik pada karakter Jessie yang Sarah Snook mainkan, setidaknya saya peduli mau dia selamat.

Sayangnya, menuju paruh akhir “Jessabelle” justru terlihat goyah, caranya untuk menakuti mulai membosankan. Apalagi ketika sosok hantu penuh lumuran entah itu oli atau lumpur makin giat muncul untuk menantang siapa saja yang datang ke rumah untuk berkelahi. Kekaleman Kevin dalam menakuti memanfaatkan isi rumah dan atmosfer ganjil rawa di sekelilingnya, langsung buyar saat Kevin tiba-tiba memutuskan untuk mempercepat laju filmnya, membuat hantunya jadi lebih agresif dan menginjeksi horornya dengan aksi “hantu oli” baku hantam dengan Preston (Marc Webber), seorang teman yang berusaha menolong Jessie. Kenapa Kevin pada awalnya menyuruh kita bersabar dengan ceritanya yang kian kesini makin bertele-tele, kalau pada akhirnya dia menuntaskan semua dengan begitu terburu-buru, lengkap dengan penjelasan yang mengada-ngada. Cara menakuti pun jadi ikut menyebalkan dengan hanya mengandalkan si hantu oli yang sangat terlihat sedang dalam masa premenstrual syndrome alias PMS, kerjanya marah-marah dan dikit-dikit memukuli kepala orang. “Jessabelle” sudah kehilangan apa yang sudah dibangunnya sejak awal, rasa cekam tak lagi terasa dan horornya tak punya apa-apa lagi untuk bisa dikatakan menakutkan. Menonton “Jessabelle” jadi seperti buang-buang waktu saja, menyia-nyiakan kesabaran penonton, termasuk saya yang menunggu ada sesuatu yang ternyata tak pernah ada.