Butuh nyali besar untuk bikin film yang berbeda di Indonesia, apalagi membuat film yang mengusung tema superhero, bisa dibilang sinting duluan sebelum film selesai. Kalau sudah rilis pun belum tentu laku, malah bisa-bisa ditimpuki cacian dan makian. “Garuda Superhero” ini bisa dikatakan dibuat oleh orang sinting dan punya nyali sebesar asteroid yang katanya bakal menghajar bumi di filmnya, well untuk niatnya menghidupkan lagi genre pahlawan super lokal, saya bisa hargai itu, tapi melihat hasilnya saya tidak bisa membohongi diri sendiri, menyedihkan. Sejak trailer-nya muncul, “Garuda Superhero” memang banyak direspon negatif, dengan presentasi yang terkesan murahan—bermodal teknologi CGI dipadukan dengan green screen—saya akui film ini memang memiliki kepercayaan diri yang sudah melebihi batas wajar, bisa dibilang overdosis. Tapi untuk tahu bagus atau enggaknya, saya harus menonton film secara utuh, haram bilang jelek bermodal menonton cuplikan trailer-nya doang hehehehe. Kemungkinannya bisa macam-macam, bisa jadi “Garuda Superhero” itu justru super-menyenangkan atau bakal menginspirasi hidup melebihi film “Merry Riana”, atau memberikan pengalaman nonton super-epik seperti apa yang sudah pernah dilakukan “Azrax”. Untuk film yang niatnya positif, saya pun datang dengan niat positif juga, bukan untuk ingin mencaci-maki, tapi memang ingin terhibur oleh “Garuda Superhero”.

Akan lebih bijaksana jika “Garuda Superhero” tidak perlu dibanding-bandingkan dengan film-film jagoan super dari Hollywood sana, yang sudah jelas dari hitung-hitungan bujetnya sudah sangat jauh. Head to head, “Garuda Superhero” bakalan babak-belur, satu-satunya yang menyelamatkan film ini dari kalah telak, tak K.O sekali pukul adalah ambisinya. Sayang ambisinya yang terlalu besar tersebut tak seimbang dengan source yang ada, termasuk kesiapan dana dan teknisnya dalam urusan teknologi CGI yang film ini bangga-banggakan. Hasilnya seperti yang saya bilang sebelumnya, film ini menyedihkan. Perlu sebotol bir dingin nantinya agar bisa menetralisir kesedihan tersebut. Saya memang kepingin kita punya jagoan super lagi yang bisa beraksi di layar lebar, macam Gundala si Putra Petir dahulu, namun “Garuda Superhero” tampaknya tak perlu dianggap serius kehadirannya. Bahkan jika mau dibandingkan dengan Cicak Man, produk superhero dari negeri seberang, Garuda punya kita malah makin terlihat menyedihkan—serius tonton trailer “Cicak Man” bagian ketiga deh, itu keren banget menurut saya. Entah apa yang dipikirkan pembuat filmnya, sampai memutuskan untuk “hajar” hampir 90 persen durasinya pakai CGI dan gambar hasil tambal-sulam efek komputer sana-sini. Padahal kelemahan “Garuda Superhero” jelas ada di visual efek, tapi dengan super percaya diri, kelemahan inilah yang ditonjolkan dan digembar-gemborkan sepanjang film—saya tampaknya butuh sebotol bir dingin lagi.

Kalau ada yang pernah main “Command & Conquer: Red Alert 3”, pasti ingat ada selipan klip filmnya—dibintangi Peter Stormare, George Takei dan J.K. Simmons. Nah “Garuda Superhero” itu presentasinya mirip-mirip seperti game strategi itu, malah cocoknya memang jadi selipan film di permainan video game ketimbang untuk dipertontonkan di bioskop. Mungkin seperti inilah tafsir si pembuat film, beginilah harusnya film superhero ditafsirkan, bisa dibilang “Garuda Superhero” adalah gabungan dari dua tafsir, yakni tafsir Nolan dengan superhero yang gelap dan Zack Snyder yang menafsirkan film superhero harus gila. Gelap dan gila, dari kombinasi tersebut terciptalah Garuda, superhero lokal yang kostumnya racikan hasil comot dari desain kostum Batman dan Captain America, dengan tambahan bendera merah putih untuk menambahkan kesan pahlawan super nasionalis dan patriotik. “Garuda Superhero” pun menterjemahkannya secara mentah-mentah “gelap dan gila” tadi, adegannya kebanyakan ber-setting malam, kalaupun siang gambarnya terlihat gelap untuk menyembunyikan efeknya yang memalukan. Ya, untuk urusan gila, “Man of Steel” yang berbalut visual efek segila dan semutakhir itu pun harus bertengkuk lutut melihat kegilaan “Garuda Superhero”. Saya tidak pernah melihat sebuah film seambisius ini dalam pemakaian CGI dan visual efek, walaupun sadar atau tidak sadar hasilnya bikin yang nonton mabuk.

Nyali besar dan orang sinting saja tampaknya belum cukup untuk film superhero yang layak ditonton, “Garuda Superhero” sudah membuktikannya. Baiklah, film ini punya niat yang positif, tapi secara esekusi dan produk jadinya, niat hanyalah tinggal niat, filmnya sudah menghianati niat baiknya sendiri. Padahal saya sudah berharap “Garuda Superhero” bisa menghibur dengan segala kegilaannya, tidak perlu cerita bagus, makin konyol makin sempurna. Tapi seperti Durja—penjahat dalam film ini—ambisi mengalahkan segalanya dan tak peduli dunia mau hancur lebur, film ini pun tampaknya tidak peduli filmnya nantinya terlihat hancur dan berantakan seperti habis ditabrak asteroid. Mungkin “Garuda Superhero” bukan film yang cocok untuk ditonton sendirian, mungkin film ini tidak cocok ditonton dalam keadaan 100 persen sadar, mungkin saya tak seharusnya menulis review filmnya seserius ini. Mungkin “Garuda Superhero” adalah tipikal film yang mesti ditonton ulang, siapa tahu pas kedua kali filmnya jadi kelihatan bagus. Jika saja, film ini tak terlalu maksa untuk terlihat keren, dan meminggirkan sedikit ambisi yang terlampau berlebihan itu, mungkin hasilnya bisa jauh berbeda. Potensi film ini untuk menghibur ada, bahannya sudah ada, efek konyol-konyolan, humornya yang garing, dialog dangkal, sempilan iklan kacang dan karakternya yang bakal mudah ditertawakan. Sayangnya, “Garuda Superhero” terlalu ambisius, sangat-sangat ambisius sampai lupa diri, seperti kacang yang lupa kulitnya.