Selamat Tahun Baru buat seluruh pecinta film, khususnya film Indonesia, tidak terasa waktu begitu cepat berlalu dan sekarang kita sudah menginjakkan kaki di tahun 2015. Seperti tahun-tahun sebelumnya, inilah saatnya saya menengok lagi film-film apa saja yang berhasil membuat saya terkesan di 2014, kemudian akan saya masukkan ke daftar tahunan 10 film Indonesia terbaik di blog ini. Dari kira-kira 114 film Indonesia yang rilis tahun lalu, saya akhirnya bisa mengumpulkan sekitar 20-an film yang benar-benar berkesan, sekaligus yang sebelumnya sudah saya beri rating bagus ketika me-review-nya di blog ini. Memilih kesepuluh film yang nantinya berurutan mengisi posisi 1-10 bisa dibilang tidak mudah, apalagi saat berurusan dengan pilihan personal. Mungkin nantinya akan ada yang tidak setuju dengan pilihan saya, protes film “A” tidak layak di nomor pertama atau tak seharusnya film “B” ada di posisi terbawah. Sekali lagi, daftar “terbaik” tersebut tidak hanya mewakili film yang bersinar secara teknis dan cerita, tapi film yang berhasil menghadirkan pengalaman menonton yang luar biasa, dari yang sukses membuat saya kegirangan kayak orang gila, sampai yang sanggup membuat saya ngompol di celana ketakutan setengah mampus.

Daftar “10 film Indonesia terbaik” ini bisa dibilang daftar film-film yang selama setahun ini membekas dan bertahan lama nongkrong di hati saya. Film-film yang sudah saya tandai dengan tulisan “saya benar-benar jatuh cinta dengan film ini”. Sebuah daftar yang teramat personal, yang mengingatkan saya kalau tahun 2014 ada begitu banyak film Indonesia yang dibuat dengan sungguh-sungguh, dengan hasil yang juga memuaskan. Dibuka dengan film “Princess, Bajak Laut dan Alien” yang menggemaskan hati, tahun 2014 kemudian ditutup oleh “Assalamualaikum Beijing”, film drama berhati yang tak ingin menyiksa penontonnya dengan seribu adegan tangis-tangisan layaknya film drama Indonesia kebanyakan. Diantara dua film tersebut, tidak sedikit film yang berstatus mengecewakan, termasuk masih hadirnya film-film berotak udang dengan judul-judul bodohnya. Tapi tentu saja film Indonesia masih bisa memberikan banyak hal menarik lainnya di tahun lalu, termasuk kembalinya Dian Sastrowardoyo ke ranah perfilman tanah air melalui film arahan Fajar Nugros, “7 Hari 24 Jam”. Saya tidak hanya senang akhirnya bisa melihat “Cinta” kembali berakting, tapi juga tersenyum karena Fajar Nugros bisa dibilang (akhirnya) membuat film yang saya sukai.

INILAH KESEPULUH FILM INDONESIA TERBAIK DI 2014 VERSI RADITHERAPY

10. Angker

Saya menyukai “Angker” bukan saja karena film ini sudah mampu mengantarkan perasaan yang saya inginkan ketika menonton sebuah film horor, tapi juga ketika rasa takut dan perasaan mencekam itu tercipta tidak serba instant tapi melalui proses yang dibangun sejak awal film. Proses itulah yang membuat saya tak saja senang tapi juga puas saat “Angker” berhasil menakuti, karena saya menikmati bagaimana film ini membangun rasa takut itu perlahan-lahan.

09. Cahaya Dari Timur: Beta Maluku

Angga Dwimas Sasongko sepertinya paling tahu bagaimana membuat sebuah kisah jadi begitu terhubung dengan penontonnya, entah itu sebuah kisah yang memfokuskan antara dua orang yang saling mencintai tapi tak bisa bersatu seperti yang diperlihatkan di “Hari Untuk Amanda”, ataupun kisah perjuangan satu tim sepakbola dari desa kecil di Maluku untuk jadi juara. Film ini tak hanya memberikan sebuah presentasi yang luar biasa dari segala lini, termasuk urusan teknis dan akting, tapi sekaligus memberi saya sebuah ingatan manis akan kisah tim sepakbola tak kenal menyerah yang begitu menginspirasi.

08. Seputih Cinta Melati

Kehangatan begitu terasa dalam “Seputih Cinta Melati”, memeluk erat tak dilepas sejak tiba di awal cerita, berdampingan dengan kisah sederhana. Tak perlu ada drama yang mengada-ngada untuk membuat saya tersentuh, Ari Sihasale paham itu, makanya “Seputih Cinta Melati” pun dituturkan mengalir apa adanya tanpa ingin memaksa-maksa penonton untuk menguras emosinya.

07. Mari Lari

Ninit Yunita sekali lagi begitu cemerlang dalam urusan tulis-menulis cerita, begitu mudah dicintai dan sama seperti yang dia lakukan dalam “Test Pack”, cerita yang ditulis olehnya begitu terasa personal, dekat dengan penontonnya, itu yang membuat saya lalu sangat menikmati “Mari Lari”. Cerita dengan mudah mendapatkan tempat yang khusus di hati saya, sederhana, menyentuh dan membuat kita peduli pada tokoh utama.

06. Killers

The Mo Brothers seakan menjejalkan ekspektasi saya ke dalam mulut, kemudian menyodok-nyodokan tongkat baseball hingga masuk tenggorokan, sampai saya muntah darah bersama ekspektasi saya sendiri. Tidak saja dari bagian yang berdarah-darah-otak-berantakan, tapi ceritanya pun diluar dugaan memuaskan, ditambah lagi camera work, visual dan scoring-nya yang sangat-sangat-sangat ngehe. Maaf, Mo Brothers, “Killers” anjing-bangsat!

05. Hijrah Cinta

Tak terbebani untuk banyak berkoar tentang agama, membuat “Hijrah Cinta” jadi lebih leluasa untuk fokus pada apa yang mau diceritakan, ceramah-ceramah itu tetap ada—namanya juga film reliji—tapi menyelip mulus tanpa ingin memaksa untuk ditonjolkan, membiarkan penonton memetik sendiri pesan-pesan baiknya entah itu ketika ditempelkan pada sebuah adegan ataupun disempilkan terucap pada sebuah dialog. Sekali lagi cara film ini menggurui dilakukan sewajarnya dan semanis mungkin, agar apa yang ingin disampaikan juga diserap dengan ikhlas, bukan sebaliknya masuk telinga kanan keluar telinga kiri.

04. Selamat Pagi, Malam

“Selamat Pagi, Malam”, film ini tidak saja sebuah surat cinta yang ditujukan pada Jakarta, tapi sekaligus surat protes bernada nyinyir pada warganya, yang kian hari kian “jenaka”. Dituturkan sambil bercanda tapi mengena tepat ke sasaran, cerita yang dihadirkan oleh film ini memang bukan lagi bisa dibilang baru, tetapi oleh Lucky semua dipresentasikan untuk tak jadi cerita basi ataupun klise, bukan juga dibungkus menjadi sekedar sebuah iklan layanan masyarakat yang berat di pesan moral dengan dialog menggurui. “Selamat Pagi, Malam” lebih cerdas dari itu dan film ini jujur dalam bercerita, kejujuran yang justru membuat film ini jadi bisa ditertawakan, bahasanya jujur dengan gambar yang apa adanya.

03. Tabula Rasa

Baru kali ini saya datang ke bioskop dibuat kelaparan, setelah selesai pun buru-buru pulang demi sebungkus nasi dan dendeng dari restoran Padang, padahal hampir tengah malam. Senikmat makan nasi panas dan dendeng yang saya beli, senikmat itu pula “Tabula Rasa”. Film ini tak saja tersaji dengan kemasan teknis yang sangat menarik, dibungkus sedemikian rupa agar visualnya membuat mata ini kenyang, namun juga membubuhi citarasa yang lezat pada penceritaannya. “Tabula Rasa” mengenyangkan sekaligus memuaskan, film yang dibuat memakai hati seperti pada saat Mak memasak gulai kepala ikan, tentu hasilnya juga berbeda, sejak awal film ini sudah membuat saya jatuh hati.

02. Jalanan

“Jalanan” tak menjual gambar-gambar indah, tapi memperlihatkan gambar jujur, potret asli kota yang kita tinggali, yang semakin lama makin asing. Melalui ketiga karakternya kita diajak untuk menelusuri kisah sederhana tentang perjuangan di kota yang tak lagi seramah dulu. Kota yang menyingkirkan siapa saja yang lemah dan meminggirkan orang-orang seperti Ho dan teman-temannya. Tapi “Jalanan” bukan memaparkan kesedihan, ini bukan tipikal film yang meminta-minta belas kasihan simpatik penonton, melainkan bercerita tentang semangat dari Ho, Boni dan Titi bukan saja sebagai pengamen (Ho menyebut dirinya pelacur seni) tapi juga sebagai seorang manusia yang berjuang demi apa yang dianggapnya benar.

01. The Raid 2: Berandal

Saya sebetulnya tak peduli jika “Berandal” punya cerita atau tidak, apalagi punya dialog cerdas-bermoral dan akting kelas oscar, saya tak peduli dengan semua itu. Mengingatkan saya dengan kekacauan yang dibuat “Yellow Sea” dan kebrutalan “Outrage”-nya Takeshi Kitano dalam mengaduk-ngaduk intrik dan konflik, sejak awal ekspektasi saya memang bukan film yang akan saya ingat karena ceritanya bagus, “Berandal” harus saya ingat karena sudah membuat saya babak belur dan bersimbah darah kegirangan, adegan demi adegan perkelahian bangsatnya telah sanggup menghantam saya bertubi-tubi dengan keras, hingga gegar otak hilang ingatan dan hanya mengingat betapa awesome-nya “Berandal.