Menonton sambil membanding-bandingkan film dengan novel asal adaptasinya, memang begitu terasa tidak nyaman, tanpa disadari saya tidak lagi bisa nikmati film secara utuh, karena sibuk mengamati kesamaan dan perbedaaan antara apa yang sedang saya tonton dan apa yang pernah saya baca. Pengalaman beberapa tahun lalu tersebut, terjadi ketika saya menonton “The Da Vinci Code”, arahan sutradara Ron Howard, filmnya sendiri diadaptasi dari novel laris karangan Dan Brown. Penilaian saya terhadap film tersebut pada akhirnya terganggu oleh satu dan banyak hal, saya punya daftar panjang seperti struk belanjaan berisi kurang lebih tentang “apa yang ada di buku tapi tidak dimasukan dalam film”. Perlakuan saya terhadap film yang dibintangi oleh Tom Hanks tersebut bisa dibilang wajar, karena saya kebetulan membaca dan menyukai novelnya, jadi agak sulit rasanya untuk tidak ikut membanding-bandingkan film dan novelnya. Lucunya, pada saat saya menonton “The Da Vinci Code” untuk kedua kalinya, penilaian saya jadi jauh berbeda, film jadi terasa lebih baik ketimbang waktu saya menonton untuk yang pertama kalinya. Kuncinya hanya satu, waktu menonton untuk yang kedua kali, saya mencoba jadi penonton yang tidak pernah baca novelnya.

Film adaptasi novel punya tanggungan yang berat untuk memuaskan dua jenis penonton sekaligus, mereka yang membaca dan tidak membaca bukunya. Maka tidak heran jika sebuah film yang materi mentahnya nyomot dari buku, bersiap-siaplah untuk menyakiti salah-satunya, akan selalu ada yang teriak-teriak “film tidak sama dengan novel”. Akan ada yang tidak puas, saya tidak menyangkal itu, saya tidak puas dengan “The Da Vinci Code”, tapi ketika film tersebut diberikan kebebasan untuk berdiri sendiri, melihatnya tanpa embel-embel adaptasi novel, saya justru bisa lebih menikmatinya. Hal tersebut membuat saya berpikir, walau berstatus “adaptasi”, akan lebih bijak jika sebuah film dilihat sebagai karya yang berbeda, film yah film. Nantinya sah-sah saja jika apa yang dilihat dan dibaca tak terlalu mirip, toh setiap kepala punya gambaran imajinasi yang berbeda dengan apa yang mereka baca. “Supernova: Ksatria, Putri, & Bintang Jatuh” seharusnya diperlakukan serupa, biarkan novelnya, nikmati filmnya tanpa harus terganggu membanding-bandingkan film dengan novel. Tapi rasa-rasanya untuk film yang satu ini, kasusnya agak berbeda, menonton “Supernova: Ksatria, Putri, & Bintang Jatuh” bagaikan mendengarkan seseorang membacakan novelnya untuk kita, novelnya seperti hanya di-copy-paste-kan ke skrip filmnya.

Sebagai sebuah bacaan, “Supernova: Ksatria, Putri, & Bintang Jatuh” harus diakui jenius dan prestisius, tapi filmnya malah membuat saya berpikir sebaliknya, jauh dari jenius dan terlihat pretensius. Film ini jelas dari awal ingin bermain aman, ketimbang nantinya diteriaki “filmnya tak setia dengan novelnya”, sekalian saja dibuat “setia banget” sama novel, termasuk copy-paste dialognya. Well, alasannya entah ingin memuaskan mereka yang sudah ribuan kali membaca novelnya atau Donny Dhirgantoro dan Sunil Soraya, yang meracik skripnya, malah kebingungan harus diapakan materi mentah yang ada dihadapan mereka. Untuk sebuah novel yang konon katanya memang sulit untuk difilmkan, menterjemahkannya dalam bentuk gambar bergerak jelas menjadikan “Supernova: Ksatria, Putri, & Bintang Jatuh” proyek yang ambisius. Apapun niat yang ada dibalik pembuatan film ini—termasuk ambisi Soraya Intercine Films untuk mengulang kesuksesan sekaligus kembali mendulang emas, seperti yang didapat “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck” dan “5 cm” yang ditonton jutaan pasang mata—Soraya Films setidaknya punya nyali untuk memfilmkan novel yang “sulit difilmkan” ini. Sayangnya nyali saja tidak cukup, terbutakan ambisi membuat “Supernova: Ksatria, Putri, & Bintang Jatuh” lupa film adaptasi novel juga harus menyenangkan.

Untuk soal bermegah-megahan, Soraya Intercine Films memang tak pernah mau setengah-setengah, skala produksinya tak tanggung-tanggung, ini dibuktikan lagi di “Supernova: Ksatria, Putri, & Bintang Jatuh”. Film yang diadaptasi dari novel laris karangan Dewi “Dee” Lestari tersebut saya akui dibungkus oleh visual yang sangat apik—jarang ada di film Indonesia. Apalagi di tangannya Rizal Mantovani, urusan artistik jadi makin mengkilap. Namun di balik kemegahan tersebut, tanpa kemewahan visualnya, film ini hanya film “kosong”. Kekosongan yang untungnya terbungkus oleh gambar-gambar memanjakan mata dan dialog-dialog berbahasa dewa, yang perannya dobel, membuat film ini jadi terlihat (sok) keren sekaligus menutupi “kosong” itu. Saya tak merasakan chemistry yang dalam yang harusnya melekat pada karakter yang dimainkan Herjunot Ali dan Raline Shah. Soal akting secara individu keduanya memang tidak mengecewakan, begitu pun Arifin Putra, Hamish Daud dan Fedi Nuril, kecuali Paula Verhoeven sebagai Diva yang tampak paling lemah di antara jajaran cast “Supernova: Ksatria, Putri, & Bintang Jatuh”. Well, saya tidak tahu apakah dengan porsi cerita yang ditawarkan, film ini bikin puas mereka yang pernah membaca novelnya, walau hanya sekali? Bagaimana dengan orang-orang yang tak membaca novelnya? bingung, tambah bingung?

Jika ditelanjangi, dipreteli tanpa visual megah serta bahasa setingkat “dewa”, film ini hanya menyisakan kisah romansa yang terbilang klise, tapi di buku semuanya ditulis oleh Dee menjadi begitu menarik, dibubuhi istilah-istilah membingungkan yang untungnya ada barisan footnote yang akan menyelamatkan kita. Membaca bukunya, kita seperti dihempaskan ke tengah badai serotonin yang sedang asyik berputar-putar. Di film, well bisa dibilang keasyikan tersebut pudar, menyisakan goresan-goresan yang membentuk tanda tanya cukup besar di kepala. Hati saya pun dibiarkan kosong, tak diberi waktu untuk merasakan apa-apa. Berjam-jam saya diperlihatkan kisah percintaan dan konfliknya, tapi film ini seperti enggan mengajak saya untuk peduli. “Supernova: Ksatria, Putri, & Bintang Jatuh” begitu asyik sendiri menggambarkan kemewahan dan kerumitan cinta yang dibubuhi dialog-dialog membingungkan, sedangkan saya dibiarkan (dipaksa) untuk buka mata tanpa tahu apa yang sebenarnya sedang saya tonton. Satu-satunya momen yang bisa dibilang menyenangkan yang dimiliki film ini adalah dongeng manis “Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh”, divisualkan dengan animasi yang jauh-jauh lebih menarik ketimbang keseluruhan filmnya sendiri. Film ini sekali lagi sudah lupa jika film adaptasi novel juga harus menyenangkan, tidak saja untuk mereka yang membaca bukunya, tapi juga untuk mayoritas mereka yang tertarik dengan film ini tanpa sedikitpun mengintip novelnya. Film ini telah salah kaprah dalam menterjemahkan arti “setia pada novelnya”, sekaligus mengaburkan esensi yang ingin coba diceritakan novelnya, termasuk menyisakan sedikit ruang saja kepada karakter yang harusnya diberi durasi lebih banyak. Setidaknya lagu Nidji kali ini tidak ditaruh banyak-banyak dalam film, hehehehe.