Lahir di Jakarta, 29 tahun yang lalu (menurut kartu tanda penduduk sih begitu), saya hampir bisa dibilang tak kemana-kemana selama ini, sekolah di Jakarta dan bekerja juga di Jakarta. Menapak di tanah yang sama dan menghirup udara yang sama, bising yang sama dan polusi yang sama, macet yang sama dan arogan yang sama, bertahun-tahun, heran saya belum jadi gila oleh Jakarta. Mungkin, karena se-ngehek apapun macetnya, se-arogan apapun manusianya, dibalik kebencian dan sumpah-serapah yang saya tujukan untuk Jakarta, saya masih tetap pendam rasa yang sama, rasa cinta itu masih ada, pada kota yang kian hari wajahnya kian muram dan kelelahan. Bagaimana tidak muram, setiap hari harus meladeni caci-maki, nyinyiran dan menampung kebencian penghuninya. Walau lelah menjalani rutinitas yang berulang, setidaknya kota ini masih bisa memberikan senyumnya, senyum indah yang sama, ketika matahari absen untuk beristirahat. Jakarta bisa terlihat bagai neraka di siang hari, tapi setelah berganti malam, wajah muramnya balik bercahaya, memberikan kedamaian bagi siapa saja yang memerlukan. Tak ada lagi kebisingan bebunyian klakson, aroma sesak knalpot pun berganti wangi jajanan pinggir jalan yang menggoda. Esok, Jakarta memang kembali muram tapi saya harus bertahan, demi bisa menikmati malam, menghirup udara yang bebas kemunafikan. Lusa, Jakarta memang akan kembali macet, tetapi saya tahu akan ada waktu dimana saya bisa menikmati sepi, untuk bercerita dan mencurahkan isi hati, biarkan hanya malamnya Jakarta yang mendengarkan cerita saya.

“Jakarta Maghrib“ (2010), “Sanubari Jakarta” (2012), “Jakarta Hati” (2012) tidak sekedar menjadikan ibukota hanya sebagai sebuah latar semata, begitu pula film “Selamat Pagi, Malam” arahan Lucky Kuswandi (Madame X), Jakarta kemudian jadi bagian dari sebuah cerita. Malam mengantarkan kita pada ketiga karakter yang sedang mencurahkan sepenggal kisah mereka. Ada Indri (Ina Panggabean) si penjaga handuk di sebuah gym, yang ingin coba-coba memanjat dan mencicipi jadi kaum kelas atas Jakarta. Kesempatan itu datang ketika ada seorang laki-laki yang dikenalnya melalui chatting, mengajak Indri kopi darat di sebuah restoran mahal, yang menjual lumpia dengan nama chicken soft roll dan menjual air putih import. Ada Cik Surya (Dayu Wijanto), seorang janda yang baru saja mengetahui suami yang dicintainya selama ini berselingkuh dengan biduan di sebuah tempat hiburan kelas bawah. Cik Surya pun kabur dari istananya, mencoba berpetualang sambil mencari seorang bernama Sofia, selingkuhan suaminya. Terakhir, Anggia (Adinia Wirasti), yang baru saja kembali dari Amerika dan kaget begitu melihat Jakarta tidak lagi seperti kota yang ditinggalkannya dulu, lebih ribet dan orang-orangnya tunduk pada smartphone mereka. Lebih kagetnya lagi saat tahu Naomi “teman” selama di New York, juga ikut berubah tidak lagi seperti Naomi yang dia kenal, kemunafikan Jakarta telah merubahnya. Padahal yang tak disadari Anggia, dia pun munafik, sudah di Jakarta tapi masih saja ke-amrik-amrik-an. Berpura-pura masih di New York, padahal di pinggir jalan berjejer tukang obat kuat.

Nyinyiran yang sama kembali hadir di “Selamat Pagi, Malam”,  seperti tiada habis gambar-gambar kusutnya jalanan Jakarta oleh kemacetan, seperti antrian mobil dan motor yang juga tak pernah sepi ketika lampu merah menyala. Lewat ketiga karakternya yang saling terhubung oleh malam di Jakarta, Lucky Kuswandi tidak saja ingin mencurahkan rasa tentang ibukota tapi mengajak kita ikut menertawai diri kita sendiri (pada akhirnya). Mereka yang sudah mengenal lama Jakarta, yah seperti saya, pasti akan langsung terhubung dengan “Selamat Pagi, Malam”, film ini tidak saja sebuah surat cinta yang ditujukan pada Jakarta, tapi sekaligus surat protes bernada nyinyir pada warganya, yang kian hari kian “jenaka”. Dituturkan sambil bercanda tapi mengena tepat ke sasaran, cerita yang dihadirkan oleh film ini memang bukan lagi bisa dibilang baru, termasuk menyelipkan tema berulang tentang pelacuran dan perselingkuhan—tema langganan film Indonesia—tetapi oleh Lucky semua dipresentasikan untuk tak jadi cerita basi ataupun klise, bukan juga dibungkus menjadi sekedar sebuah iklan layanan masyarakat yang berat di pesan moral dengan dialog menggurui. “Selamat Pagi, Malam” lebih cerdas dari itu dan film ini jujur dalam bercerita, kejujuran yang justru membuat film ini jadi bisa ditertawakan, bahasanya jujur dengan gambar yang apa adanya.

Jakarta dipotret sepolos-polosnya, tak ada polesan, yang tersisa hanya kejujuran, wajah sebenarnya dengan keindahan yang begitu apa-adanya, itulah yang bikin saya seperti sedang berjalan-jalan di Jakarta yang benar-benar Jakarta, bukannya hasil tipuan kamera hanya untuk hasilkan gambar bagus yang komersil. Seperti gambar kotanya yang dibuat jujur, karakternya juga dibuat sedemikian rupa jadi sama jujurnya, itulah yang membuat saya kemudian lebih peduli dengan kisah-kisah ketiga karakternya. Sederhana tanpa konflik yang didramatisir se-ngehek film drama kita pada umumnya, tapi tetap menarik dibumbui dialog-dialog yang juga tak ingin sok cerdas, sesekali meledek, nakal dan lucu. Setelah mengajak kita untuk ikut jalan-jalan, “Selamat Pagi, Malam” juga membiarkan kita untuk kapan saja nimbrung dalam obrolan, sambil menikmati jajanan pinggir jalan yang kalau kata Naomi dan Gia “enak karena sudah tercampur keringat penjual dan polusi”. Jakarta, se-taik-taik-nya jalanan kota ini esok hari, apa yang kemudian membuat saya bertahan adalah kota ini juga membuat rindu, “Selamat Pagi, Malam” sudah mewakili apa yang saya rasakan terhadap kota yang hiruk-pikuk dengan orang-orangnya yang terobsesi dengan apa yang sedang trend dan hits hari ini, Jakarta yang setiap hari selalu ada galian kabel dan kalau hujan turun macetnya semakin menjadi-jadi. Mungkin, “Selamat Pagi, Malam” akan membuat orang non-Jakarta berpikir dua kali untuk tinggal disini, tapi bagi saya, ini film yang mengingatkan betapapun bencinya saya pada kota ini, selalu ada yang bisa membuat saya jatuh cinta lagi pada kota dimana ari-ari saya ditanamkan, selamat malam Jakarta.