Baiklah, saat sebuah film sudah memajang nama Noburu Iguchi dan Yoshihiro Nishimura, Saya tahu harus memasang ekspektasi seperti apa. Sejak kepincut oleh “Tokyo Gore Police”, saya memang sudah begitu jatuh cinta dengan film-film sejenis, Japanese Splatter atau apapun sebutannya. Saya hanya cukup menyebut genre tersebut dengan julukan “Nishimura Clan” (tidak perlu ditanya alasannya kenapa), berisi film-film “cacat” yang memutar-balikkan logika. Aneh, menjijikan, komedi nyeleneh yang sinting dan absurd-nya tidak ketulungan, tampaknya yang membuat saya pada akhirnya terpikat dengan film-film Nishimura dan geng-nya, termasuk yang bernaung di bawah bendera Sushi Typhoon. Tanpa embel-embel munafik guilty pleasure, saya selalu bisa menikmati film-film macam “Dead Ball”, “Mutant Girls Squad” dan “Helldriver”, mendapatkan hiburan yang tak saya bisa dapatkan dari film-film normal. Berapapun rating-nya di IMDB atau tomat busuk, film-film Japanese Blood Drizzlers—sebutan di situs letterboxd—bagi saya selalu istimewa, punya tempat khusus di hati, walaupun isinya hanya cewek kentut dan pertarungan epik wanita berpenis raksasa, seperti yang dipertontonkan Noburu dan Nishimura di “The ABCs of Death”. Filmnya tidak normal, tapi ketika duduk menonton, entah kenapa saya justru merasa lebih normal dari biasanya.

Walaupun saya misalnya tak pernah tahu sutradara “Karate-Robo Zaborgar”, tak perlu waktu lama untuk mengenali signature khas Iguchi di film yang sekali lagi mengandalkan kejeniusan Nishimura untuk urusan practical effect-nya ini. Robo Zaborgar adalah film yang saya harapkan dari seorang Iguchi, masih menyajikan kegoblokan dan kekonyolan yang biasa dia hadirkan di film-film sebelumnya. Ya termasuk kegemarannya dengan humor kentut dan mengeksploitasi dada cewek. Diadaptasi dari serial tokosatsu tahun 1970-an, berjudul “Denjin Zaborger”, film ini berfokus pada Yutaka Daimon (dimainkan oleh Yasuhisa Furuhara), seorang polisi rahasia dan misi mulianya untuk selalu membela kebenaran. Daimon tidak sendirian, karena dia ditemani robot warisan sang Ayah, bernama Zaborgar. Tak saja dilengkapi persenjataan dan peralatan canggih—termasuk bagian mulutnya yang bisa menembakkan ribuan peluru layaknya machine gun dan heli-mini yang apabila diperlukan bisa kapan saja keluar dari bagian atas kepala—Zaborgar pun menguasai berbagai tehnik martial art, dari karate hingga muay thai. Bersama dengan robot yang juga bisa diperintah untuk berubah bentuk menjadi motor ini, segala macam kejahatan bakal ditumpas, termasuk melawan Sigma, organisasi kriminal pimpinan Dr. Akunomiya (Akira Emoto) yang punya ambisi besar untuk menghancurkan Jepang. Sigma jugalah yang telah membunuh Ayah Daimon.

Walaupun masih memiliki kegilaan khas Noburu Iguchi, “Karate-Robo Zaborgar” saya akui terbilang lebih normal ketimbang film-film sebelumnya. Mungkinkah karena sutradara yang berpengalaman menggarap film-film “dewasa” ini tidak ingin keluar dari setting sebuah film keluarga. “Karate-Robo Zaborgar”, menurut Iguchi masih pantas untuk ditonton seluruh keluarga, entah keluarga yang mana hehehehe. Tapi yang jelas kemasannya memang lebih “sopan”, dan tampak lebih “mahal” ketimbang film-filmnya yang lain, itu wajar karena menurut kabar film ini memang didukung bujet yang cukup besar, bahkan film Iguchi yang berbujet paling besar (tepok tangan dan usapin kepala plontos Nishimura). Katanya bujet film ini besar, kok efeknya masih tetap menggelikan? Saya tidak peduli, karena saya justru berharap efek-efek khusus dongo yang biasa hadir di film-film Iguchi tersebut kembali ditampilkan di “Karate-Robo Zaborgar”. Silahkan mau bilang ini film tidak bermutu hanya karena efek-efeknya menggelikan, tapi saya percaya Iguchi tahu apa yang dia kerjakan, dan efek-efek tersebut pun makin menambah kesan old fashioned pada filmnya, seperti kembali diajak ke tahun 70-an ketika “Denjin Zaborger” kala itu masih tayang. “Karate-Robo Zaborgar” memang tidak disangkal membawa aroma nostalgia. Tampilannya yang oldskul, mengingatkan saya jaman-jaman menyenangkan ketika ksatria baja hitam dan ultraman begitu berjaya di televisi. Kayaknya asyik menonton “Karate-Robo Zaborgar” dengan menggunakan televisi layar cembung, makin terasa jadulnya hahahaha.

“Karate-Robo Zaborgar” adalah tontonan super-combo!!! Dapat senang sekaligus puas ketika film ini tak hanya menjejalkan atraksi-atraksi absurd ala Iguchi, tapi juga diajak “bertamasya” mengenang masa lalu, ketika saya begitu anteng depan televisi menyemangati ksatria baja hitam. Bersorak-sorak-riang ketika pukulan dan tendangan maut sukses mengubah monster-monster jelek menjadi bola api. Didukung practical effect buatan Nishimura—termasuk desain robot Zaborgar hasil modifikasi dari Denjin Zaborger—tercampur dengan efek-efek konyol nan menggelikan, dibumbui humor-humor anehnya (tapi lucu) dan kisah cinta yang nge-twist, “Karate-Robo Zaborgar” benar-benar melampaui ekspektasi, hiburan yang saya harapkan dari film yang memasang nama Noburu Iguchi. Otak seperti kelebihan muatan dan pada akhirnya jebol karena tak bisa menahan kegoblokan demi kegoblokan yang disodorkan film ini. Dari trio macan… maksud saya cyborg cewek yang salah-satunya anggotanya dipersenjatai dua kepala monster (entah apa namanya) yang tumbuh dari dadanya (lagi-lagi ciri khas Iguchi yang begitu gemar mengeskploitasi dada perempuan di filmnya). Hingga pertarungan maha-epik di (lagi-lagi) dada robot cewek raksasa antara Daimon tua (Itsuji Itao) dan anaknya yang kelak jadi antek-antek Sigma. Sudahlah, “Karate-Robo Zaborgar” dengan segala kegoblokannya yang epik, seperti menghilangkan rasa haus saya, kangennya saya dihibur oleh kegilaan Noburu Iguchi dan film ini sudah memberi apa yang saya inginkan, bahkan berlebihan sampai otak muncrat.