Semua orang menurut saya punya sisi gelapnya masing-masing, sadar atau tidak sadar ada “orang lain” yang hidup di dalam sana, menghirup oksigen yang sama dan menunggu untuk terlepas. Apapun caranya, “orang lain” tersebut punya satu misi, yaitu menyeret kita masuk dalam lorong gelap tak berujung, meninggalkan kita disana, sementara “orang lain” itu asyik mengendalikan hidup kita. Sisi gelap ini bukannya tak bisa dikendalikan, setiap orang punya caranya sendiri-sendiri untuk mengurung si “orang lain” agar tidak terbangun dari tidur pulasnya. Saya dan kalian punya satu, monster, binatang buas, iblis apapun namanya, bersarang dalam gelap menunggu saat yang paling tepat untuk mengubah kita jadi apa yang tidak kita inginkan. “Killers” mencoba menceritakan ketika pada akhirnya “orang lain” itu berhasil menguasai kita, sisi gelap menang dan kita mesti tunduk untuk jadi budaknya. “Killers” bukan saja soal serial killer, mereka yang menyerah pada sisi gelapnya, orang-orang yang memilih untuk jadi pesakitan, tapi juga tentang orang-orang yang sedang diseret menuju lorong tergelap, calon-calon budak sisi gelapnya, mereka yang sedang berada di persimpangan antara baik dan menjadi jahat seutuhnya. “Killers” nantinya akan berusaha menyeret kita juga masuk, tak hanya melihat kebrutalan mereka yang berstatus pembunuh berantai, melainkan juga untuk masuk “bermain” ke dalam isi kepala mereka.

Apa yang ditawarkan The Mo Brothers (Kimo Stamboel dan Timo Tjahjanto) kali ini jelas motivasinya bukan untuk melompati “Rumah Dara”, tapi membuat film lain yang lebih baik tanpa harus terbebani film sebelumnya. Film slasher rilisan Januari 2010 tersebut bukan sama sekali diacuhkan, bagian asyiknya di-ekstrak, lalu jadi campuran yang membuat formula “Killers” jadi semakin nikmat. Tidak lagi berpijak di ranah per-slasher-an, bukan berarti Mo tidak bisa lagi bersenang-senang, justru lewat “Killers” dosis bersenang-senang itu terasa kian bertambah berkali-lipat. Berbungkus thriller psikologis, apa yang diinginkan Mo sudah jelas, mereka ingin filmnya ikut berdampak pada sisi psikologis penontonnya, apapun itu, dari merasa tidak nyaman—dalam artian yang baik—dengan adegan-adegan brutal membabi-butanya, hingga merasa iba, walaupun yang kita kasihani justru monster berkulit manusia. Jika “Rumah Dara” masih bisa saya tertawai, “Killers” sebaliknya tak menyediakan saya waktu untuk tersenyum sedikitpun, ya apalagi tertawa ketika melihat darah muncrat dari kepala demi kepala yang remuk. Efek tidak nyaman seperti mengikuti kita sepanjang film, ketika kita lengah, tiba-tiba kita sudah diserang, dipukuli, diikat babak belur tak berdaya begitu kebrutalan dipertontonkan oleh Mo Brothers. Seketika darah menghiasi layar, seketika itu juga perasaan tidak enak langsung membekap, jantung berdetak lebih cepat dan perut mulai bereaksi memberi peringatan. Berbeda dengan “Rumah Dara” yang memposisikan kita hanya sebagai penonton senang-senang, di “Killers” Timo dan Kimo dengan bangsatnya menempatkan kita di posisi si korban.

“Killers” pun bukan melulu soal menjejalkan adegan brutal berdarah-darah, segi cerita pun dipaparkan sama sakitnya dengan para pembunuh di film ini. Slasher-nya kurang? Well, sekali lagi ini memang bukan film slasher (doang), tapi genre-bending movie yang punya porsi seimbang, action-nya ada, bacok-bacokan-tusuk-menusuk pun melimpah, sambil tidak lupa untuk bercerita. “Killers” sejak paruh awal, diselipi beberapa adegan keji yang tidak menyenangkan, memang tak lupa kalau ada cerita yang harus disampaikan, sebuah kisah kelam yang menyelimuti kedua karakter utamanya, Nomura Shuhei (Kazuki Kitamura) dan Bayu Aditya (Oka Antara), yang terpisah oleh jarak ribuan kilometer namun terhubung oleh minat yang sama, membunuh. Ada kalanya “Killers” memang begitu larut dalam cerita yang ritmenya bisa dibilang aman, tidak lamban tidak juga terburu-buru. Alurnya begitu terjaga, walaupun di beberapa bagian terasa melelahkan, tapi tak jadi sampai mengganggu saya dalam melahap 137 menit durasinya, yang justru tidak terasa seperti film yang berdurasi 2 jam lebih. Bagian yang menceritakan Nomura di Jepang dan Bayu di Indonesia, dipresentasikan dengan nyaman, tidak saling adu-sayat siapa yang harus punya porsi tampil lebih banyak, tapi saling bergantian. Ada interaksi yang asyik antara film dengan penontonnya, mood pun dijaga untuk tidak kemana-mana, sambil perlahan-lahan “Killers” menjerat saya untuk terjebak dalam kegilaan, gilanya pikiran para pembunuh yang sulit untuk diterka. Saya memang tak pernah mau ambil pusing menerka-nerka “Killers” tuh ingin apa dan kemana, saya biarkan film ini mengejutkan saya. Alhasil saya lebih bisa menikmati setiap pembunuhan, menjilati setiap tetesan darah para korban dan meresapi melodi syahdu yang berasal dari teriakan kesakitan mereka.

Berbicara soal sakitnya “Killers”, kurang lengkap jika tidak melirik Oka Antara dan Kazuki Kitamura, yang sudah berdarah-darah dalam usaha menghidupkan dua karakter, Bayu dan Nomura, “sepasang” pembunuh berstatus long distance relationship. Soal menjiwai karakter pembunuh, saya tak perlu lagi banyak bicara begitu “sakit” performa akting Oka dan Kazuki, tanpa atau dengan guyuran darah keduanya mampu menampilkan tampang dan aura seorang pembunuh yang tak palsu. Tidak dipaksa untuk tampil mengerikan, tapi benar-benar apa adanya yah seperti manusia biasa, hanya saja menyembunyikan sosok monster di balik kulit manusianya. Begitu monster tersebut terlepas, Oka dan Kazuki benar-benar jadi bukan diri mereka sendiri, seperti hanyut dalam karakter yang mereka mainkan. Sisi gelap bak menggantikan kebaikan dalam diri mereka, di “Killers” saya tidak lagi melihat Oka Antara seperti Oka yang saya lihat di film-film lain, di film ini dia jadi orang lain yang haus darah dan brutal. “Killers” benar-benar sudah lampaui ekspektasi saya, The Mo Brothers seakan menjejalkan ekspektasi saya tersebut ke dalam mulut, kemudian menyodok-nyodokan tongkat baseball hingga masuk tenggorokan, sampai saya muntah darah bersama ekspektasi saya sendiri. Tidak saja dari bagian yang berdarah-darah-otak-berantakan, tapi ceritanya pun diluar dugaan cukup memuaskan, ditambah lagi camera work, visual dan scoring-nya yang sangat-sangat-sangat ngehe. Maaf, Mo Brothers, “Killers” anjing-bangsat!