Jika di tahun 2012, ada film anak-anak yang sangat amat menyita perhatian saya dan masuk dalam daftar film terbaik versi saya di tahun itu, “Cita-citaku Setinggi Tanah” dan “Ambilkan Bulan”. Tahun 2013 tampaknya hampir tidak ada, setelah diingat-ingat lagi bukannya tidak ada film anak-anak, tapi ditengah dominasi film yang diperuntukan untuk remaja, film bertema anak-anak yang dibuat tahun itu sama sekali tidak ada yang membuat saya ingin menonton. Ketimbang horor dan film-film percintaan ABG, tema film yang dikhususkan untuk tontonan anak-anak bisa dibilang masih saja dianaktirikan, jumlahnya benar-benar tidak seimbang, yah dari 100-an film Indonesia yang rilis, tak sampai 10-lah itu jumlah film anak-anak. Makanya tidak heran, ketika tidak lagi punya pilihan, para orang tua kerap mengajak anak-anak mereka menonton film Indonesia yang bukan untuk anak-anak. Selain karena pihak bioskop juga yang tidak mau tahu dan kesalahan para orang tuanya yang kurang peduli dengan tontonan anak-anaknya. Coba jika tiap bulan ada 1-2 film anak-anak, mungkin saya tidak akan lagi melihat bocah-bocah duduk anteng satu studio dengan saya, padahal film yang diputar waktu itu tidak pantas untuk mereka lihat. Di satu sisi kita butuh variasi tontonan, termasuk ada film anak-anak, namun di sisi lain saya mengerti “menjual” film anak-anak susah bukan main disini, apalagi kemudian harus bersaing dengan film anak-anak buatan Hollywood yang tak pernah berhenti menggilas film lokal.

Makanya saya selalu salut dengan mereka-mereka yang masih (semangat) punya keinginan membuat film anak-anak (dibarengi dengan kualitas tentunya, tak asal jadi). Orang-orang dibalik film “Princess, Bajak Laut & Alien” ini contohnya, ada Eko Kristianto yang nantinya bertanggung jawab untuk segmen “Misteri Rumah Nenek”, bercerita tentang kakak beradik yang sedang berlibur ke rumah nenek kemudian terlibat petualangan yang tidak mereka sangka-sangka. Kemudian ada Alfani Wiryawan dengan segmen “Babeh Oh Babeh”, berfokus pada pasang surut hubungan antara anak dengan sang ayah yang punya profesi sebagai penyanyi dangdut. Di segmen ketiga ada Rizal Mantovani yang punya kisah tentang anak yang kerap di-bully dan membalas bully-annya itu dengan breakdance di “Kamu Bully, Aku B-Boy”. Terakhir ada Upi dengan segmen penutup “Princess, Bajak Laut & Alien”, bercerita tentang seorang anak yang gemar membaca yang merasa jadi “alien” diantara teman-temannya karena ia dicap aneh dan berbeda. Upi dan kawan-kawan sekali lagi sukses kembali mengajak saya untuk menjadi “bocah”, menonton tanpa menuntut apa-apa dan membiarkan cerita mengalir dulu tanpa ada keinginan untuk memotong dan berkomentar. “Princess, Bajak Laut & Alien” memang tak sempurna, namun usahanya menghadirkan film yang beda apalagi untuk anak-anak, sangatlah layak untuk diapresiasi dan didukung.

Untuk “Misteri Rumah Nenek” saya pikir ide ceritanya bisa dibilang menarik, yah walau tak lagi baru, didukung setting yang dibuat sedemikian rupa agar menarik, segmen pembuka ini seharusnya bisa jadi sangat asyik. Padahal cara Eko dalam usahanya membangun chemistry antara dua karakter utama dan penonton sudah cukup baik. Sayang, begitu akan mengesekusi babak berikutnya, “Misteri Rumah Nenek” agak berantakan dan terkesan menggampangkan. Agak disayangkan jika segmen pembuka justru menjadi yang paling “lemah” dari ketiga segmen lainnya yang terlihat lebih rapih, padahal segmen milik Eko ini bisa menjadi petualangan mengasyikkan jika saja diesekusi lebih serius lagi, tanpa menghilangkan sisi fun film anak-anak yang menjadi nyawa keseluruhan segmen. Untungnya, di segmen berikutnya Alfani Wiryawan dengan “Babeh Oh Babeh” mampu mengembalikan mood saya ke posisi semula, dengan menyodorkan kisah yang sejak awal begitu menyita perhatian saya. Kisah ayah dan anak di segmen ini makin menarik saat pemain utamanya, yakni Raza dan Tora Sudiro, terlihat mantap ketika berurusan dengan akting mereka. Chemistry antara si ayah dan anaknya pun begitu terasa meyakinkan pada saat keduanya saling dipertemukan dalam satu frame. Alhasil, ketika disenggol oleh konflik, saya jadi peduli pada filmnya dan Alfani tahu ingin diapakan filmnya, walaupun kemudian tampak berbenturan dengan durasi yang memaksanya harus menyingkat-nyingkat kisah yang sudah berjalan mulus dan menyudahi konfliknya agak kurang greget menurut saya. Terlepas dari itu, saya tetap mengakui “Babeh Oh Babeh” adalah salah-satu segmen favorit saya. Hidup Jupri!

Giliran Rizal memamerkan segmennya, dan “Kamu Bully, Aku B-Boy” sekali lagi memperlihatkan kepiawaian sisi artistik seorang Rizal Mantovani. Kisahnya saya bilang tak begitu mencolok, tapi beruntung Rizal memiliki Viriya Rici, bocah lucu yang begitu pandai meliuk-liukan badannya. Cerita kemudian jadi nomor dua, di segmen ini bintang utamanya adalah tarian ciamik yang diperlihatkan oleh Rici. Tak hanya jago breakdance, Rici juga menampilkan performa akting yang paling baik ketimbang pemain-pemain lainnya, kesannya luwes dan apa adanya. Setelah dibuat gemas oleh Rici di “Kamu Bully, Aku B-Boy”, segmen penutup jelas paling stand out dari ketiga segmen sebelumnya. Upi dengan “Princess, Bajak Laut & Alien”-nya bener-benar menciptakan dunia mungil dengan detil yang luar biasa indah, khususnya design produksi dan tata kostumnya. Menghadirkan kisah yang mudah menyentuh siapa saja, sejak awal segmen Upi ini langsung menyeret hati untuk menyukainya. Chemistry yang dihadirkan dua pemain ciliknya juga sangat lucu-lucu menggemaskan, membuat saya betah berlama-lama “bermain” dengan mereka, sambil ikut berdansa ketika mereka mulai bergoyang. Kesemua segmen memang punya perbedaaan, kesan saya dengan masing-masing segmen pun tak sama, ada yang kurang suka dan suka sekali, tapi empat segmen dalam “Princess, Bajak Laut & Alien” mempunyai kesamaan dalam menyuguhkan film anak-anak yang dibuat dengan sungguh-sungguh. Salut untuk Upi dan kawan-kawan.