Pertama-tama saya mau mengucapkan “Happy New Year 2014” untuk semuanya, sekaligus berterima kasih kepada kalian semua yang sudah sudi mampir dan meluangkan waktu berharganya membaca blog saya, kalau bukan karena kalian, komentar-komentar itu, saya mungkin sudah lama berhenti menulis review, yah tidak se-drama itu juga sih hehehehe. Menengok lagi tahun 2013, bisa dibilang ya bukan tahun yang buruk-buruk amat untuk film Indonesia, dari kuantitas justru lebih banyak—ada lebih dari 100 film jika saya tak salah hitung—namun diakui tidak semuanya punya kualitas yang memuaskan. Film-film berotak udang masih tetap mendominasi layar kita, dengan beragam genre, termasuk film horor “jadi-jadian” yang berkualitas dangkal. Mungkin, itulah yang membuat saya agak tidak bersemangat tahun lalu dengan film Indonesia, dari seratusan film, kira-kira saya hanya menonton 30-an film saja, menyedihkan ya. Iyain ajah.

>>Untuk daftar ’10 Film Indonesia Terbaik di 2014′ silahkan klik disini<<

Baiklah, (mencoba) meneruskan tradisi tahunan di blog raditherapy, ijinkan saya untuk merangkum film-film apa saja yang menyita perhatian saya di tahun 2013, jujur saja seleksinya ternyata lebih sulit dari daftar film Indonesia terbaik tahun 2012 silam. Jika biasanya saya bisa dibilang selalu subjektif dalam membuat list, begitupula dengan review-review saya, berdasarkan “yah suka-suka gw aja”, jadi kadang walaupun sebetulnya film itu bagus secara kualitas, tapi karena terlanjur dilabeli “bukan film saya banget”, terpaksa ditendang dari daftar. Baiklah, kali ini saya usahakan daftarnya tidak didominasi oleh film-film favorit saja, tapi berbagi tempat dengan film-film yang sudah sukses menyita perhatian saya, tapi belum sanggup 100% memuaskan saya. Walau begitu saya kira film-film tersebut layak mendapatkan tempat khusus di daftar film Indonesia terbaik.

Anggap saja tahun ini saya sedang “baik-baiknya”, tadinya saya malah tidak mau memasukkan “Soekarno” dan “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”, tapi setelah berpikir ulang dan melirik aspek-aspek lain, seperti tata produksinya misalnya, pada akhirnya diputuskan dua film tersebut sejak awal layak dimasukkan dalam daftar saya. Setuju atau tidak setuju, sepuluh film yang masuk daftar benar-benar hasil pergulatan batin (mulai berlebihan), tidak saja logika, tapi hati juga ikutan main hahahahaha. Saya kembali menelusuri setiap aspek yang membuat film itu memang layak disebut terbaik, tidak saja karena saya semata-mata “suka doang”. Anyway, kenapa tiba-tiba opening-nya jadi serius begini, hahahaha!! Sebetulnya, kalau saya mau, bisa saja film fenomenal macam “Azrax” kemarin itu (iseng) saya masukkan ke dalam list, tapi saya ngambek karena sampai hari ini DVD yang saya tunggu-tunggu tak kunjung rilis (apa hubungannya?). Tapi, ini serius (saya takut dilempar lampu taman sama AA) “Azrax Melawan Sindikat Perdagangan Wanita” jelas wajib dimasukkan dalam daftar film yang paling berkesan di tahun 2013, film yang menjabarkan kata epik dengan begitu epik, menggila dari awal hingga akhir. Selanjutnya, ada “Epic Java” yang sudah sukses membuat hati saya luluh-lantah, film indah yang punya tempat khusus di hati saya. Terakhir, “Kemasukan Setan” juga pantas diberikan special mention, satu-satunya film horor tahun lalu yang sanggup membuat saya bergidik lagi menonton film horor lokal.

Well, inilah sepuluh film Indonesia terbaik di 2013, menurut versi saya.

__________________________________________________________________________

10. Soekarno

Sutradara: Hanung Bramantyo Pemeran: Ario Bayu, Maudy Koesnaedi, Lukman Sardi, Tika Bravani, Ferry Salim dan Tanta Ginting Produksi: MVP, Dapur Film Production dan Mahaka Pictures

Melelahkan, terlebih di paruh pertama, tapi “Soekarno” bukan film yang sampai membosankan. Terlepas dari ceritanya yang kesana-kemari, sejak awal film yang sempat “keruh” karena kisruh ini memang diakui menarik ketika berbicara soal tata produksi. Kita begitu diyakinkan dengan setting-nya, departemen artistik di “Soekarno” sudah melakukan pekerjaan yang luar biasa, dan mereka bisa begitu “akur” dengan Faozan Rizal dalam menghasilkan gambar-gambar yang membuat saya betah berlama-lama duduk bersama “Soekarno”.

09. Tampan Tailor

Sutradara: Guntur Soeharjanto Pemeran: Vino G Bastian, Jefan Nathanio dan Marsha Timothy Produksi: Maxima Pictures

Ditangan seorang Guntur Soeharjanto (Purple Love), “Tampan Tailor” bercerita apa adanya, walaupun ada beberapa upaya untuk memaksakan emosi penonton lewat scoring-nya yang bisa dikatakan berlebihan itu, tapi cerita yang ditulis oleh duet Alim Sudio (Air Terjun Pengantin Phuket) dan Cassandra Massardi (40 Hari Bangkitnya Pocong) justru lebih bisa diterima akal sehat, membumi, dan mudah untuk dinikmati. “Tampan Tailor” memang tidak dipungkiri akan mengingatkan kita pada “The Pursuit of Happyness”, film yang dibintangi oleh Will Smith dan anaknya, Jaden Smith itu. Tapi percayalah ini bukan versi Indonesia-nya, bukan jiplakan, kesamaannya pun minor, “Tampan Tailor” mengalirkan ceritanya tanpa ingin ikut-ikutan seperti film Hollywood tersebut.

08. Kisah 3 Titik

Sutradara: Bobby Prabowo Pemeran: Lola Amaria, Ririn Ekawati, Maryam Supraba dan Donny Alamsyah Produksi: Lola Amaria Production

Ketika para buruh “berpesta” pada 1 Mei merayakan May Day, “Kisah 3 Titik” ini adalah cara Lola Amaria untuk ikut merayakan, berdemo lewat media film. Jika boleh membandingkan dengan “Minggu Pagi di Victoria Park”, filmnya kali ini memang rada kelam nan muram, “menjual” cerita miris dibalik seragam-seragam berwarna cerah para buruh. Dipercaya untuk menyutradarai, saya rasa Bobby Prabowo pun dengan baik menuturkan cerita hasil tulisan Charmantha Adjie tersebut. Dikemas apa adanya, terlepas dari dramatisasi yang memang juga diperlukan, film ini dengan mudah menguras emosi saya dari tiap kepedihannya, yang dicurahkan oleh masing-masing karakternya, tanpa adanya paksaan.

07. Cinta Dalam Kardus

Sutradara: Salman Aristo Pemeran: Raditya Dika, Anizabella Lesmana, Dahlia Poland dan Wichita Setiawati Produksi: Kompas Gramedia Studio

Curhatan-curhatan yang diceritakan apa-adanya itu dengan segala lebay-nya ala Raditya Dika, tetap menjadi tontonan yang menarik terlepas beberapa bagiannya yang garing. Sekali lagi konsep yang membungkus “Cinta Dalam Kardus” benar-benar membuat film ini terangkat, dari sekedar film komedi cinta yang biasanya disajikan gitu-gitu saja, jadi film komedi cinta yang tidak hanya porsi komedi-nya tersaji cukup cerdas, kemasannya pun langka untuk sebuah film Indonesia. Dari awal konsep kardus dan stand up comedy-nya membuat saya betah mendengar celotehan-celotehan Miko, sambil sesekali diinterupsi oleh penontonnya, yang dari beragam umur itu, dari anak ABG yang menggebu-gebu-alay mengkritik apa yang sudah diceritakan Miko, hingga pasangan yang sudah menikah, responnya pun beda. Menarik, secara tidak langsung “Cinta Dalam Kardus” memang tidak saja ditargetkan untuk remaja-remaja baru gede yang baru mengenal cinta, tapi memang ditargetkan untuk mereka yang pernah merasakan cinta dan tersakiti.

06. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

Sutradara: Sunil Soraya Pemeran: Herjunot Ali, Pevita Pearce, Reza Rahadian Produksi: Soraya Intercine Films

Setelah pendakian di “5 CM” membawa hasil jumlah penonton yang spektakuler, pelayaran “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” jelas tak saja membawa sebuah misi untuk menghibur penonton dengan tontonan yang berskala besar, tapi juga ditumpangi ambisi besar untuk memperoleh penonton sebanyak-banyaknya. Ya, walau belum bisa melompati hasil yang diperoleh produksi sebelumnya, “Kapal Van Der Wijck” setidaknya sudah memboyong satu juta lebih penonton. Terlepas dari gaya artistik yang tampaknya “terinspirasi” oleh “The Great Gatsby”-nya Baz Luhrmann dan terlalu berlebihan menjual adegan kapal tenggelam ala “Titanic”, yang ternyata hanya gimmick belaka, saya mengakui film ini menyajikan sesuatu yang langka ada di film Indonesia. Sebesar ambisinya, film ini benar-benar telah dibangun dengan begitu megah, tata produksi berskala besar-besaran, ditambah jajaran pemain yang berakting cemerlang. “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” saya pikir layak jadi salah-satu film terbaik di tahun 2013.

05. 9 Summers 10 Autumns

Sutradara: Ifa Isfansyah Pemeran: Ihsan Tarore, Dewi Irawan, Alex Komang, Shafil Hamdi Nawara Produksi: Angka Fortuna Sinema

“9 Summers 10 Autumns” adalah sebuah curhatan seorang teman lama yang diceritakan apa adanya—ada dramatisasi yang wajar untuk sebuah film yang niatnya juga ingin menghibur. Jika dirasakan konfliknya terlalu bisa, saya bisa maklum, karena ini bukan sinetron yang konfliknya bisa dilebih-lebay-kan seenaknya, saya rasa apa yang disajikan sudah cukup untuk memicu emosi saya, bukan sekedar menonton tapi melibatkan perasaan untuk ikut turut campur. Ada interaksi antara film dan penonton, kita dibiarkan untuk merasakan apa yang terjadi tanpa dipaksa-paksa. Beberapa adegan pun sanggup membuat air mata ini pada akhirnya menetes. Ya, “9 Summers 10 Autumns” dengan segala keindahannya, yang sukses ditangkap oleh Gandang Warah selaku DOP, berakhir tidak saja mempesona lewat gambar-gambar tapi juga indah “di dalam sini”, film ini ikut menyapa juga hati.

04. Demi Ucok

Sutradara: Sammaria Simanjuntak Pemeran: Geraldine Sianturi, Lina Marpaung dan Saira Jihan Produksi: PT Kepompong Gendut, Royal Cinema Multimedia

Sammaria tidak perlu repot-repot lagi mendekati para penonton, karena begitu “Demi Ucok” mulai membagi curhatannya, penonton juga termasuk saya langsung peduli, merasa terikat dan hati tersentuh dengan hubungan Ibu dan anak ini. Ketika chemistry itu dengan mudah tercipta, Sammaria sekarang tinggal punya tugas bagaimana menjaga penonton tetap duduk betah di kursi, tidak kabur. Itulah yang jadi kelebihan “Demi Ucok”, walaupun cukup sering diperlihatkan wajah Mak Gondut yang menyeramkan apalagi ketika ngamuk, saya tidak merasa sedang dimarahi, saya betah karena film ini bukan film yang menceramahi. “Demi Ucok” juga bukan soal memihak pihak mana, saya peduli dengan Glo tapi juga tidak benci 100% sama Mak-nya, mengesalkan tapi sekaligus juga menarik simpati, belum lagi Mak Gondut memang sumber kelucuan dan kekonyolan di “Demi Ucok”. Ampun Mak!

03. Finding Srimulat

Sutradara: Charles Gozali Pemeran: Reza Rahadian, Rianti Cartwright, Gogon, Djudjuk Djuwariah, Kadir, Mamiek Prakoso, Nunung Srimulat, Tarsan, Tessy, Fauzi Baadilla Produksi: Magma Entertainment

“Finding Srimulat” adalah jawaban dari kegelisahan saya, resah melihat film-film komedi kita yang belakangan ini bersembunyi di balik judul-judul jorok dan otak ngeres pembuat filmnya. Charles Gozali bersama “Finding Srimulat”-nya datang untuk menyelamatkan perfilman Indonesia, membuktikan jika bangsa ini masih punya film komedi yang berbudaya, kita masih punya Srimulat dengan deretan pelawak-pelawaknya yang memang cinta untuk membuat orang tertawa. Film ini adalah nostalgia sekaligus sebuah surat cinta yang ditulis dari hati, hasilnya yah ngena ke siapa saja yang menonton, apalagi mereka yang tumbuh bersama Tessy dan kawan-kawannya.

02. Sokola Rimba

Sutradara: Riri Riza Pemeran: Prisia Nasution, Nyungsang Bungo, Nengkabau, Beindah, Rukman Rosadi, Nadhira Suryadi, Ines Somellera, Netta KD, Dery Tanjung Produksi: PT Miles Productions, Miles Films

Sebuah kesederhanaan yang dipaparkan dengan begitu apik dan indah, Riri Riza sajikan sebuah cerita yang sejak awal langsung “menjebak” saya untuk tidak bisa lepas dari Prisia Nasution dan murid-muridnya. Hingga akhir “Sokola Rimba” tak saja memikat mata dengan visual indah nan eksotis yang jarang terekspos dalam sinema kita, tapi juga menyuapi hati ini dengan asupan kisah yang bernilai gizi tinggi. Saya tidak hanya kenyang pesan-pesan kebaikannya, tapi juga luar biasa senang karena film kita masih memiliki film-film macam “Sokola Rimba”. Semua tentang film ini adalah pelajaran, sebuah universitas kehidupan beralaskan daun di tanah dan beratap langit berbintang. “Sokola Rimba” adalah salah-satu film itu, film luar biasa yang ingin saya tonton berulang-ulang, lagi dan lagi.

01. What They Don’t Talk About When They Talk About Love

Sutradara: Mouly Surya Pemeran: Nicholas Saputra, Ayushita Nugraha, Karina Salim, Anggun Priambodo, Lupita Jennifer Produksi: Cinesurya Pictures

Walau fokus “Don’t Talk Love” mengarah pada mereka yang punya kekurangan, tapi bukan berarti Mouly berniat untuk mengeksploitasi seenaknya disabilitas, menjadi sebuah konsumsi hiburan, apalagi mengemis simpati penonton lewat karakter Fitri dan kawan-kawan. “Don’t Talk Love” justru ingin menampilkan mereka terlihat yah setara dengan kita yang masih “lengkap”. Sekali lagi ini bukan film yang mengekspos kekurangan sebagai bahan meminta belas kasihan penonton, bukan film seperti itu, yang mengandalkan cerita pada penderitaan berkepanjangan karakternya. Mereka tak sedikitpun diperlihatkan mengeluh dengan keadaan, karena memang bukan itu yang ingin dibicarakan oleh Mouly. Tapi soal Fitri dan kawan-kawan yang juga bisa jatuh cinta, ketika salah-satu indera mereka meredup, indera lain justru bercahaya lebih terang…lebih peka, bahkan dari kita yang normal.