Remake, remake dan remake! Yup, jangan terburu “alergi” dengan kata tersebut, karena orang-orang di Hollywood sana pun tampaknya belum bosan untuk cari-cari film untuk mereka daur-ulang. Korban berikutnya adalah “Carrie”, walaupun tidak tepat untuk bilang mentah-mentah film ini produk recycle, karena menurut si empunya film, ini adaptasi langsung dari novel Stephen King, bukan mendaur-ulang versi film tahun 1976 arahan sutradara Brian De Palma. Apapun alasannya merilis-ulang sesuatu yang klasik untuk bisa diterima jaman yang lebih modern dan ditempeli teknologi yang lebih canggih, kadang bukan sesuatu yang terbilang bijaksana. Karena contoh kasus film-film remake yang berakhir di kubangan dan tempat sampah sudah menggunung, walaupun saya akui ada beberapa film yang mampu survive dari kutukan film remake tidak akan pernah sebagus film aslinya, “Evil Dead” misalnya. Well, menurut saya sejak awal “Carrie” versi baru ini sudah salah langkah, termasuk meng-casting Chloë Grace Moretz untuk memerankan si tokoh utama, Carrie White. Terlalu kurang “lemah” dan innocent, mungkin otak saya sudah terpatri gambaran sosok Carrie versi Sissy Spacek, jadi ketika melihat Nona Moretz, saya hanya bisa menyindir “terlalu cantik”, walaupun kemudian ya akhirnya pasrah saja karena sisi seseorang yang menggemari Moretz menyuruh untuk “diam dan tonton dulu, baru banyak bicara soal Moretz.

Setelah menonton saya baru bisa bilang Moretz memang agak kurang pantas jadi Carrie, padahal saya sudah buang jauh-jauh image Sissy Spacek ketika berubah jadi manusia super-saiya, tetap saja hasilnya nihil untuk menghilangkan status Moretz sebagai korban salah kasting. Bermain di film horor bercap remake untuk kesekian kalinya, setelah sebelumnya “The Amityville Horror” (2005) dan “The Eye” (2008), Chloë Moretz memang mampu menjelma dari gadis jagoan Hit-Girl, menjadi cewek tidak populer di sekolah yang tiap hari jadi bahan bully-an, serta target amukan Ibunya yang seorang fanatik. Aktingnya mengingatkan saya pada “Let Me In” yang sama-sama diadaptasi dari novel dan pernah difilmkan, tapi di film arahan Matt Reeves tersebut, Moretz jauh lebih mencolok untuk segi akting. Carrie White yang diperankan Moretz sebetulnya tidak berbeda jauh dari rekan-rekan sebayanya di sekolah, dia gadis manis dan cantik bukan cewek berjerawat besar-besar dengan aksesoris gigi tonggos, bukan tipikal kutu buku. Keanehan si Carrie hanya karena dia kurang gaul saja, lugu, tidak pernah mau bersosialisasi dengan teman-temannya, bisa dibilang Carrie tidak punya teman di sekolah. Yah, ini pun secara tidak langsung ada hubungan dengan ajaran Ibunya, aturan ketat yang diperoleh sejak kecil, salah sedikit saja Carrie bisa dipaksa masuk ke ruang kecil, dikurung, sebagai hukuman. Carrie adalah anak yang penurut, tapi semua tak berlangsung lama, setelah dia menemukan kalau darah menstruasi tak akan membuatnya mati kehabisan darah, hidup Carrie bisa dibilang berubah, apalagi setelah Carrie tahu dia punya “kelebihan”.

Ok, saya tidak akan repot-repot membandingkan “Carrie” versi Kimberly Peirce ini dengan versi Brian De Palma, walaupun bahannya sama, tapi keduanya jelas dirajut dengan cara yang berbeda, hasil jahitannya akan terlihat jelas berbeda. Walau secara garis besar ini adalah film yang sama, tapi tentu saja feel yang saya dapatkan tidak sama, apalagi ketika visi Kimberly Peirce terlalu fokus pada sosok “Carrie” yang diperlihatkan bak film superhero setengah jadi. Citra “Carrie” yang selama ini sudah tertanam dalam pikiran, tiba-tiba saja oleh Kimberly digali lagi untuk kemudian dibakar dan digantikan oleh “Carrie” versinya. Baiklah, baiklah! Saya akan coba untuk bersikap objektif tanpa terlalu berkiblat pada apa yang De Palma sudah buat. Tapi jujur, setelah saya melihat “Carrie” mulai memamerkan kekuatannya, saya hanya tinggal menunggu Nick Fury tiba-tiba muncul di tengah credit dan merekrutnya untuk bergabung dengan kelompok Avengers, atau tiba-tiba Charles Xavier yang datang menjemput Carrie, bukan untuk ke pesta dansa, melainkan mengajaknya bergabung menjadi member MLM…maksud saya X-Men. Sebagai film yang berdiri sendiri, tanpa tetek-bengek mau membanding-bandingi dengan versi lama, pondasi “Carrie” untuk menjadi film yang benar-benar saya sukai memang kurang kokoh. Memasang tampang Moretz memang ampuh untuk bikin saya setidaknya betah “nongkrongin” filmnya yang berdurasi 90 menitan, tapi filmnya sendiri tidak berhasil mengikat saya untuk terpikat pada Carrie dan nasibnya…saya hanya menunggu apa yang akan terjadi di Prom Night.

Terkesan begitu buruk filmnya, tidak juga, Kimberly Peirce masih punya bagian-bagian di “Carrie” yang bisa disebut menyenangkan, toh sebetulnya saya nonton masih dengan perasaan senang, bukan yang tiap menit bergerutu karena filmnya tidak sesuai ekspektasi. Kesampingkan treatment Kimberly yang membuat sang tokoh utama menjadi terkesan begitu terobsesi dengan kekuatannya, membuat Carrie kemudian tampak terlalu berlebihan begitu ia tahu mempunyai kekuatan. Maka film ini akan lebih bisa dinikmati, apalagi Kimberly Peirce tahu bagaimana membuat Moretz tersiksa agar kita ikut simpatik, sekaligus membuat penonton juga sebal dengan tinggal para pem-bully. Sayangnya selain Moretz terlihat gagal memaksimalkan potensi emosional dalam dirinya, untuk menjadikan karakter yang dia mainkan jadi lebih mengikat penonton, karakter lain pun tampak ikut-ikutan tersesat, beberapa seperti numpang lewat, yang lain tidak berguna. Hanya Julianne Moore yang masih mampu memberikan performa yang cukup brengsek, kehadirannya sedikit banyak menyelamatkan film ini dari bencana besar. Porsi emosional yang kurang diperhatikan di film memang yang menjadikan “Carrie” agak kurang dipedulikan, walaupun menjelang penghujung film Moretz mulai memperlihatkan gregetnya, tapi agak terlambat untuk membuat saya menengok lagi ke film ini. Dari awal saya memang tidak berharap banyak “Carrie” terbaru yang banyak dempulan CGI telekinesis ini dan itu, bisa membuat saya puas atau lebih unggul dari versi terdahulunya, tidak ada yang bisa mengalahkan tatapan si Sissy Spacek. Walaupun beberapa momen enjoyable, tapi “Carrie” terlalu banyak cacatnya, termasuk cacat emosi sejak awal film menjejakkan kakinya.