Saya tidak akan pernah bosan dengan film horor, walaupun untuk menemukan yang saya cari harus ngubek-ngubek puluhan film horor, kenapa tidak langsung minta rekomendasi atau browsing “10 film horor blablabla terbaik” misalnya, ya cara gampang memang tinggal googling, tapi saya lebih menikmati mencari-cari sendiri, dengan menonton semuanya, tidak benar-benar semuanya. Seleksi yang paling cepat adalah film yang setidaknya sedang diomongin orang-orang, mau itu jelek atau bagus, tanpa terlalu banyak baca sinopsis, saya biasanya mencari tahu sendiri. Menurut saya film horor itu memang harus ditonton sendiri untuk tahu bagus atau tidaknya, sebagai orang yang dengan tololnya bikin blog terus dengan sok tahunya mereview film, saya termasuk orang yang justru tidak peduli setan apa kata review. Bukan berarti saya tidak pernah baca review film, baca review-review film sudah jadi ritual saya sejak dulu—saya mungkin tak akan pernah ada niatan untuk punya website review film sendiri, jika dulu tak pernah baca review film di majalah (sebelum akhirnya lebih sering menengok situs-situs film). Well, balik lagi ke film horor, terkadang apa yang orang bilang jelek, belum tentu jelek di mata saya, sebaliknya belum tentu juga film horor yang saya review positif di blog ini, ikut direspon sama positifnya oleh orang lain, kembali ke selera. Karena itu saya lebih memilih untuk menonton “semua” sendiri tanpa pusing mikir apa kata orang. Nga semua orang suka dengan “The Conjuring”, I don’t give a f*ck!

Penyakit lama kambuh, paragraf pertama dihabiskan untuk ngomongin yang tak penting, mungkin sama tidak pentingnya dengan film yang akan saya review kali ini, “The Poughkeepsie Tapes”. Film kesekian yang mengusung tema dokumenter bohongan, atau kebanyakan disebut mockumentary atau found footage. Tema ini memang selalu bisa bikin saya penasaran, makanya apapun judulnya, saya pasti akan menonton jika film tersebut dilabeli “mokumenter”. Khususnya horor, tidak banyak film dengan gaya dokumenter-dokumenteran yang bisa dibilang nempel di kepala, kebanyakan memang hanya ikutan-ikutan dan hasilnya buruk, contoh “Terekam” misalnya hahahaha. Seingat saya daftar film terbaik untuk tema yang satu ini masih bisa dihitung jari, “Noroi” dari Jepang adalah salah-satu dari yang terbaik itu. Berbeda nasib dengan “Paranormal Activity” yang sama-sama dirilis pada tahun 2007—di festival film terlebih dahulu kemudian sukses besar ketika rilis di seluruh dunia pada 2009, termasuk di Indonesia, setelah diboyong oleh Paramount Pictures—“The Poughkeepsie Tapes” tidak seberuntung itu, setelah dirangkul MGM (Metro-Goldwyn-Mayer), film yang disutradarai oleh John Erick Dowdle (Quarantine, Devil) ini hanya “numpang lewat” di bioskop Amerika dan berakhir di lemari berdebu bertuliskan “film tidak penting”. Well, mungkin saya akan beranggapan sama jika tidak pernah mencicipi film yang di salah-satu situs film horor diberi nilai sempurna ini, dan saya menyesal kenapa baru menonton film sebiadab ini sekarang, tidak ada kata terlambat untuk sebuah film bagus.

Jika pernah menonton “Lake Mungo”, kemasan “The Poughkeepsie Tapes” tidak jauh berbeda dengan film rilisan 2008 tersebut, dibungkus layaknya dokumenter lengkap dengan wawancara dengan berbagai narasumber. Dari keluarga korban sampai pernyataan dari agen FBI, dari cuplikan berita kriminal di televisi hingga potongan-potongan rekaman mengerikan milik tersangka, seorang serial killer, John Erick Dowdle tahu betul merajut materi dalam “The Poughkeepsie Tapes” menjadi film yang membuat saya percaya jika semuanya adalah beneran, bukan rekayasa kacangan untuk mencari sensasi belaka. Jika kriteria film mokumenter yang bagus adalah bikin penontonnya percaya dengan apa yang mereka tonton, maka “The Poughkeepsie Tapes” sudah berada di jalur yang benar. Tapi sekedar percaya dengan cerita seorang serial killer yang merekam kejahatannya hingga terkumpul 800 tape video, bukan menjadi satu-satunya fokus film ini, film yang ditulis oleh Dowdle bersaudara ini juga punya niatan untuk membuat penonton juga merasa terganggu secara psikis dan batinnya. Apa yang dipertontonkan oleh “The Poughkeepsie Tapes” jelas mengumbar kekerasan, adakalanya terlalu sadis dan menjurus ke adegan-adegan gore, tapi sekali lagi Dowdle tidak asal selipkan kesadisan tersebut hanya untuk pamer “halo, film gw sakit banget loh!”. Lagipula tanpa mempertontonkan adegan-adegan ngehe tersebut pun, film ini tetap akan “sakit” berkat tingkah sang “The Water Street Butcher”.

Adegan-adegan sadis-sadisan-brutal di “The Poughkeepsie Tapes” bisa dibilang punya tujuan, tidak hanya membuat hati nurani saya sebagai manusia bergidik, tapi untuk semakin mempertegas isi kepala si serial killer yang tak pernah ingin menampakkan mukanya tersebut, kecuali jika sedang memakai topeng. Sesakit apa pembunuh di “The Poughkeepsie Tapes”, Dowdle pun tidak asal mem-profil-kan karakternya untuk jadi pembunuh sakit yang biasa-biasa saja. Karakternya benar-benar tak tanggung-tanggung dibuat, dari memilih mangsa hingga modus operandinya, seorang pembunuh yang berkarakter kuat dan yang terpenting kita yang menonton percaya betul semua bukan akting. Video rekaman yang berisi penculikan anak kecil yang sedang asyik bermain, sampai aksi potong-potongan, sebetulnya akan jadi biasa saja, tapi “The Poughkeepsie Tapes” kemudian berasa begitu real dalam mempresentasikan segala tindak-tanduk sang pembunuh, tak saja karena akting si serial killer dengan dialog-dialog meyakinkan nan sakit jiwa melainkan juga ketika Dowdle dengan cermat menambahkan atmosfir yang tepat ke dalam setiap adegannya, termasuk ketika tiba pada bagian koleksi video sang pembunuh di film ini. Perasaan tidak enak, terganggu, perih, nyeri, marah, benci, semua menjadi satu, yup “The Poughkeepsie Tapes” mampu membuat penonton juga mengeluarkan emosi real­-nya, disaat sedang “asyik” menelusuri kasus yang oleh Dowdle bersaudara juga diungkapkan dengan cerita yang berbobot. Walau agak terpeleset dalam plotnya yang ingin sok-sok ingin ngejelimet dan sentuhan musiknya yang sesekali berlebihan, terlepas dari itu “The Poughkeepsie Tapes” jelas salah-satu film mokumenter ter-anjing yang pernah saya tonton. Film yang (mungkin agak berlebihan) setelah menontonnya, membuat trauma, dalam arti film yang sulit untuk dilupakan.