Fresh! satu kata yang bisa mewakili presentasi “Cinta/Mati”, walaupun sekali lagi kemudian terbentur oleh permasalahan skripnya yang mengada-ngada di paruh kedua filmnya. Terlepas dari kekurangan dalam skripnya, bukan berarti saya jadi melabeli “Cinta/Mati” film cinta kacangan, seperti kebanyakan film cinta-cintaan kita yang tak pernah move on dari cerita yang begitu-begitu saja. Jujur, pada saat datang ke bioskop berniat menonton film yang disutradarai oleh Ody C Harahap (Ratu Kostmopolitan), saya tak tahu apa-apa tentang filmnya, bisa dibilang buta dengan modal “niat saja” memang mau menonton film Indonesia dan berharap filmnya bisa mengejutkan saya. Well, saya tidak suka dengan film terakhir Ody, cukup menikmati “Punk in Love” (2009) dengan segala nyeleneh-nyeleneh-nya itu, dan untuk ukuran film horor lokal, “Bangsal 13” (2004) yang merupakan film debut Ody adalah film horor yang lumayan menyeramkan. Dengan jejak rekam yang turun naik, “Cinta/Mati” bolehlah saya katakan momentum untuk Ody bisa “membersihkan” namanya, setelah “Ratu Kostmopolitan” yang…ah sudahlah. Yah ketika 90-an menitnya sudah bisa membuat saya nyaman, tidak banyak ngomel, itu pertanda baik, dan saya menghargai niat film yang dibintangi Astrid Tiar dan Vino G Bastian ini, tidak terbawa arus, mau beda dengan premisnya yang unik.

Bertemu tak sengaja di sebuah jembatan, Acid (Astrid Tiar) yang berniat bunuh diri karena patah hati dan Jaya (Vino G Bastian), vokalis band rock “Mandatori” (menyebutkan namanya harus dengan gaya semetal-metalnya), kemudian harus melalui serangkaian petualangan “seru” hanya dalam semalam. Tergiur tawaran uang, Jaya memang punya misi untuk membuat Acid mati, menuntaskan bunuh dirinya yang gagal di jembatan sebelumnya. Sambil memikirkan bagaimana cara bunuh diri yang tidak cemen, disaksikkan oleh dinginnya malam, keduanya lalu terikat oleh…bukan…bukan saja perjanjian kematian, ada sesuatu yang lain, yang merangkak dari hati yang retak, mencoba memperbaiki yang rusak. Well, premis yang sederhana dan fresh tersebut jadi sebuah pondasi yang kuat untuk film ini, dan Ody dengan percaya diri mampu membangun cerita yang asyik untuk saya tonton—setidaknya separuh awal—dari skrip yang dikerjakannya bareng Akbar Maraputra. Mengingatkan saya pada “Before Sunrise”-nya Richard Linklater, yup memang, dimana ceritanya dirangkai dari layer demi layer percakapan dua orang saja, disini diwakili oleh Acid dan Jaya. Saya yang semula agak pesimis, apalagi ketika melihat persoalan klise patah hati dan bunuh diri yang diungkap di awal-awal menit film, langsung mencondongkan badan begitu film bergulir menarik tak seperti yang saya bayangkan. Untunglah saya tidak jadi “bunuh diri”, eh.

Tidak diduga, tak disangka, “Cinta/Mati” menjelma jadi sebuah film cinta-cintaan yang bisa dibilang langka ada di daftar film cinta Indonesia, apalagi cerita benar-benar memanfaatkan percakapan antara dua orang. Konflik dan romansa yang nantinya disempilkan pun mengandalkan dialog, dan tentunya kedua pemainnya yang memang “dipaksa” untuk dapat mengendalikan penonton dengan obrolan-obrolan mereka, yang kebanyakan memang nyeleneh. Ketika dialog-dialog film serupa belakangan terasa palsu, dibuat-buat, apa yang membuat “Cinta/Mati”, ya berhasil dengan formula “ngomong doang”-nya adalah dialog yang apa adanya. Obrolan dan pertengkaran Acid dan Jaya mengalir begitu saja, spontan, dengan selingan sumpah-serapah dan kata-kata jorok nan kotor. Obrolan yang buat saya justru terasa manusianya, bukan obrolan-obrolan baku sok puitis yang kadang malah menggelikan. Dengan balutan komedi nyeleneh ala Ody yang (untungnya) kali ini bisa move on dari film sebelumnya, dan bekerja cukup baik menemani percakapan-percakapan Acid dan Jaya, “Cinta/Mati” akhirnya tak saja menghibur tapi juga yang paling penting mampu membuat saya peduli dengan karakternya. Yup karakter yang dimainkan Astrid dan Vino tidak saja diberikan dialog-dialog asyik, tapi dua tokoh utamanya bisa menciptakan chemistry yang klop, lewat apa yang mereka obrolkan, dari hanya saling ledek sampai curhatan serius. Tektokan manis sekaligus nyeleneh yang membuahkan romansa terselubung, dibalik caci-maki dan saling ledek, mata tidak berbohong, ada hati yang mengharap punya waktu lebih untuk saling membisikkan rasa masing-masing, ada hati yang sabar mengantri untuk diberikan waktu untuk mengutarakan…kata cinta.

Paruh awal “Cinta/Mati” mengalir tanpa gangguan, percakapan-percakapan Acid dan Jaya bekerja dengan baik tanpa ganjalan, semua terasa baik-baik saja, begitu juga status chemistry keduanya yang makin kompak. Sayang saat film melompat ke paruh kedua, apa yang sudah dibangun di paruh sebelumnya seperti kelupaan tertinggal, semakin parah ketika film memulai babak terakhirnya. Chemistry itu mulai rontok digantikan tangis-tangis dadakan, apa yang sedang terjadi dengan film ini? keasyikannya memainkan dialog tiba-tiba hilang. Entah darimana, tidak disangka ada usaha untuk menjebloskan penonton ke dalam ruang yang tak saya kenali lagi, mood dijungkir-balikkan dengan adegan-adegan nangis-nangisan ala sinetron. Di bagian inilah “Cinta/Mati” mulai kehilangan daya magisnya, dialog-dialog yang barusan membuat nyaman, secara instant berubah jadi menyebalkan berkat plot-plot yang memaksa penonton untuk tersentuh. “Cinta/Mati” begitu percaya diri memulai langkahnya, tetapi setelah melewati jembatan penghubung antara film dengan penontonnya, tiba-tiba saja filmnya berubah pikiran, tak tahu lagi cara mengakhiri filmnya, lalu memilih untuk terjun “bunuh diri”. Penonton, saya, langsung patah hati, kenapa hubungan yang sudah dijaga dengan baik dari awal, saat saya sudah peduli—dibuat tersenyum, marah serta tertawa—secara  sepihak film tiba-tiba tak peduli dengan penonton, ditinggalkan begitu saja, huh! teganya (ngambek). Buntu lalu memilih mengambil jalan pintas, sayang sekali ya padahal “Cinta/Mati” bisa saja jadi film yang istimewa tahun ini. Namun, terlepas dari “pengkhianatan”-nya, saya tetap menghargai niat dan usaha film yang punya gambar-gambar cantik ini untuk jadi film cinta-cintaan yang beda.