“Filmnya jelek” itu pengakuan beberapa orang yang saya tanyain soal “The Meat Grinder”, well melirik pengalaman, film model begini (baca: slasher) memang sih harusnya ditonton sendiri baru bisa cuap-cuap bagus atau nga, bukan berdasar “katanya”. Film yang disutradarai oleh Tiwa Moeithaisong ini justru saya bilang salah-satu film horor Thailand yang jempolan, tidak saja menyodorkan gambar-gambar jahanam yang tidak bermoral, tapi juga diseimbangkan dengan pondasi cerita yang secara mengejutkan dibangun begitu detil dan kuat. Proses “kenapa” Buss—tokoh utama psikopat di film ini—bisa melakukan segala macam kekejian yang nantinya “The Meat Grinder” ceritakan pun sangat diperhatikan, jadi bukan hanya “apa” dan “bagaimana”, latar belakang karakter Buss sama pentingnya, tak lagi numpang lewat saja tapi juga diutamakan sejajar dengan kelakuan dia yang suka motong-motong bagian tubuh orang…euuuwwww!! hahahaha. Saya sendiri yang biasa menonton film sejenis hanya untuk melahap bagian sadis-sadis-nya, dan melupakan cerita, seperti ditampar pakai centong nasi ketika menonton film ini, saya jadi peduli dengan cerita. Perlakuan Tiwa pada filmnya mengingatkan saya pada film-film bertema balas dendam ala Korea, “Bedevilled” misalnya atau film Hong Kong “Dream Home” yang disutradarai Pang Ho-Cheung, yang menu di filmnya tidak saja adegan brutal-brengsek-berdarah-darah saja, tapi juga punya niat untuk bercerita. Siapa bilang film slasher hanya tusuk-tusukan doang?
Pernah nonton “The Untold Story”? iyah film bakpao daging orang itu—nonton ketika SD atau SMP dulu sampai tidak nafsu makan seharian—well, si Buss (Mai Charoenpura) ini bisa dibilang versi betinanya Anthony Wong. Buss nga jualan bakpao melainkan bakmi atau apalah namanya, awalnya dagangan mie-nya tidak terlalu banyak pelanggan, tapi setelah Buss menemukan “resep spesial”—terima kasih kepada mayat seorang laki-laki yang entah bagaimana caranya bisa sampai masuk ke gerobaknya—warungnya diserbu pelanggan. Tidak saja yang niat mau makan bakmi enaknya yang tertarik mampir ke warung Buss, tapi ada seorang pemuda lokal yang tampaknya menyukai Buss mencoba melakukan pendekatan. Buss memang tampak normal dilihat dari luar, jago meracik mie dan daging jadi santapan lezat, penampilannya pun tak memperlihatkan dia seorang psikopat, ya orang-orang terpedaya tidak saja karena mie lezatnya, tapi juga karena tampang Buss yang lumayan cantik. Namun dibalik skill memasaknya yang handal seperti koki profesional, bakat yang diturunkan langsung dari sang Ibu, Buss pun pandai menyimpan rahasia, tak saja rahasia yang membuat mie-nya jadi maknyus, tapi juga menutup rapat-rapat masa lalu kelamnya, sekaligus menyembunyikan siapa dia sebenarnya, ada iblis yang meronta-ronta kelaparan di dalam dirinya.
Mungkin beberapa orang yang saya tanyai dan bilang jelek itu hanya tidak suka dengan pendekatan cerita yang disodorkan oleh Tiwa Moeithaisong, bertumpuk-tumpuk, layer ceritanya pun disajikan tak konvensional, urutannya dibuat acak antara masa lalu dan masa sekarang, dibedakan dengan tone warna, hitam putih untuk lampau. Tidak linier dalam mengisahkan urutan kejadiannya inilah yang pada awalnya membuat saya rada ogah menerima, sampai sempat menggerutu “ini film maunya apa sih?!” setelah itu saya lagi-lagi seperti digetok centong nasi, perlakuan Tiwa pada ceritanya dengan menyajikan dalam bentuk non-linier dan berlayer-layer ini justru yang membuat “The Meat Grinder” lebih unggul, stand out ketimbang film-film sejenis yang biasanya nih hanya menyodorkan adegan gore, gore, dan gore, sedangkan ceritanya dibiarkan menjadi bodoh. Wajar pada akhirnya saya juga ikut peduli pada cerita, sambil juga menikmati kesakitan dan ketidak-bermoralan yang porsinya juga cukup mengenyangkan. Well, “The Meat Grinder” adalah menu berbeda untuk mereka yang mencari film slasher dengan cerita yang lebih berbobot, jawaban cukup meyakinkan buat mereka yang terus bilang film slasher nga ada ceritanya. Demi Tuhan! yang satu ini emang beda.
Ditampilkan dengan pengambilan gambar dan editing yang kadang menurut saya juga unik, menonton “The Meat Grinder” bisa diibaratkan makan makanan yang belum pernah kita pesan sebelumnya, rasanya asing awalnya, tapi begitu sendok demi sendok masuk ke mulut, ternyata lebih enak dari bayangan sebelum kita memakannya. “The Meat Grinder” adalah film slasher yang tidak saja “enak” saat dipandang karena kemasannya yang terbilang cukup artistik di beberapa bagian, tapi juga emang lezat secara keseluruhan, apalagi saat Tiwa Moeithaisong sudah mulai memperlihatkan sisi sakit jiwanya dalam mengesekusi setiap adegan Buss yang sedang asyik menyiapkan “bahan-bahan” untuk resep bakmi-nya. Asyiknya Tiwa tidak terlihat terburu-buru untuk urusan yang sadis-sadis di filmnya, malah “The Meat Grinder” awalnya terlihat cemen untuk ukuran film slasher, oh tunggu dulu sampai film ini menjejalkan adegan pembantai gila-gilaan, mimpi basah-lah buat mereka yang gemar dicekoki adegan-adegan brengsek bin jahanam. Bagian tubuh yang terpotong, leher yang tergorok, perut terbelek-belek, wajah tersayat, kepala tertancap bermacam benda runcing dan tajam, banjir darah dimana-mana dan hati pun riang gembira melihatnya. Kegembiraan tersebut memang kadang harus rela terpotong, ketika bagian cerita kembali masuk dan beberapa bagian memang terasa memaksa untuk dijadikan ruwet, termasuk masa lalu Buss yang dibiarkan tercecer berantakan, seenaknya ditaruh di sembarangan tempat, tugas kitalah untuk menyusun, dan itu agak capek juga. Untungnya, untuk setiap capek itu ada hadiah menggiurkan menunggu, aksi berdarah yang menyenangkan, mengasyikkan dan tentu saja “mengenyangkan”.
agus
Udah nonton 3 tahu yang lalu bareng temen via dvd..
Adegan sadisnya mantap.
cerita lumayan tegang.
Tapi terus terang bikin saya agak mumet juga…
Adi Hartono
Saya suka waktu adegan si wanita penjual itu mau diintimidasi oleh preman dan laki-laki hidung belang didalam rumahnya. Begitu gore dan mengasikkan 😀
Eldwin Muhammad
Pada ngeh gak sih kalo Baifern Pimchanok a.k.a Nam @CLTCL main di film ini?
raditherapy
@Agus, emang agak mumet kalau nga biasa dengan film2 model gini, tapi overall justru malah memberi rasa beda pada filmnya sendiri, saya suka “kemumetan” itu 🙂
@Adi, wah adegan itu emang paling asyik hahahaha
@Eldwin, iyah yah? saya belum nonton A Crazy Little Thing Called Love
Diana
Baruuu aja nonton…penasaran abis di review di raditheraphy…hehehhehe
sebenernya film ini bisa jadi film yang bagus sih, cuma beberapa orangnya aktingnya kurang nyos…
hahhahaha…masa yang kakinya di tebas dia teriaknya biasa aja, cuma ngesot bentar trus malah ngeliatin si bood nya doang, emang tu kaki kaga sakit ditebas sampe buntung? hahahahha
sama alurnya yang maju mundur maju mundur bikin lumayan mumet, tapi eh, saya penasaran sampe akhir dan menunggu dengan tenang sampe film habis
aktingnya Bood sendiri bagus sih, saya jadi simpatik sama dia, sungguh malang dan sial nasibnya…lelaki2 di rumahnya gak ada yg bener…
hehehhee…banyakin review thriller yaaa!!!
banyak referensi film dari raditheraphy yang bikin saya penasaran pgn ntn!
tedinajwa
suka sama jalilan ceritanya dan kebetulan minggu2 ini lagi mendalami film2 dari gajah putih secara banyak sekali temen kerja dari thailand jadi ya lumayan buat dapetin banyak referensi film2 thailand ini termasuk satu dari sekian banyak fav saya macam buppah ratree (tapi yg pertama yah) suka akan kehebohan sisi cerita dan tentunya adegan berdarah2nya yg bikin menenangkan hati 🙂
sesario
film ini sepintas mirip rumah dara 😀 mungkin terinspirasi ya 😛
Nid
Iya mirip Rumah Dara, tapi kalo Rumah Dara ga jabarin asal usul Dara dan alasan Dara jadi psikopat serta rahasia Dara awet muda+panjang umur hahaha.
Phantasia
Telat hampir 6 tahun nemu komentar ini tapi gemes buat bales… ini bilang terinspirasi dari rumah dara nya bercanda kan? Soalnya meat grinder dan rumah dara sama2 rilis tahun 2009 , malah meat grinder yang rilis duluan
Anonym
Semua yang gw pikirkan tentang film ini, hampir direpresentasikan semua di review ini. Cuma, gw enggak habis pikir aja, gimana bisa ada orang yang bilang nih film masuk kategori “jelek”. Justru plot yang non-linier ini salah satu “mesin” yang membuat film ini terus bekerja, so to say. Tapi ya, oke lah, pendapat seseorang memang salah satunya tergantung pada preferensi genre itu sendiri. But at least bagi mereka yang mau lihat dimana kekuatan sebenarnya dari film ini, tentu akan menyadari betapa artistiknya dia. Dan dengan itu, sayangnya, “jelek” bukanlah penilaian yang tepat…
mel
gua udh nton filmnya tp gua msh ga ngerti ini ceritanya gimana, si Bua tuh siapanya Buss. terus suami istri yg bunuh Bua tuh siapanya Buss? dan apa maksud ending cerita yg Bua seneng liat Buss yg lg potong2 daging
kang gary
bua itu anakny buss dan bua di bunuh sama suami buss dan selingkuhannya (baby sister bua) karena bua ngintim dan denger rencana mereka untuk bunuh si buss..baby sisterny itu pakek pelet (iketin 2 boneka) ke suaminy buss..biar cinta sama dia..
buss hamil dari hasil diperkosa sama bapak dan mungkin abangnya, tapi sepertinya bukan bapak kandung dan abang kandung..
makany ibuny tega buat habisin bapak dan abangny…
untuk adengan terakhir itu buss yg ketemu ibunya, trus kyk flashback buss masih kecil jumpa ibunya saat potong orang…
(untuk endingny saya juga kurang ngerti maksudny, tapi sepertinya itu menandakan klu buss sudah mati dan ketemu ibunya)
Dkamt
Mantap filmnya juga enak dinikmati, jadi tambah semangat makan mieeee
apez
kalau saya malah mikir, pacarnya buss yg jadi tersangka pembantaian, secara yg cewe selamat liat ia sama buss n pegang pisau yg mau dipake buat ngebunuh..si buss malah selamat setelah lompat ke sungai dan pulang ke rumah ibunya, gila ajah itu daging manusia pada digantungin..”kamu sudah pulang, mau bantu ibu nak,?!” ending yg klimaks..