Seram atau tidak seram itu relatif, setiap orang tidak semuanya bisa ditakuti oleh cara yang sama, dari komentar-komentar yang saya terima di review “Insidious”, tidak semua bilang film horor rilisan 2010 tersebut seram. Tapi James Wan jelas sudah memberikan sebuah mimpi buruk baru lewat “Insidious”, walaupun saya pun mengakui elemen-elemen horor yang ditawarkan film ini tidak bisa dibilang orisinil, namun bukan berarti James Wan tidak tahu bagaimana membuatnya jadi sesuatu yang bisa menakuti penonton lagi—dari suara decitan pintu kayu yang terbuka sendiri sampai suara gaduh misterius di lantai atas. Sekali lagi, jika saya ditanya apakah “Insidious” itu seram? saya kemudian akan ngangguk-ngangguk sambil bilang “iya”, dan ketika beberapa tahun belakangan ini horor Asia pun tak lagi ada yang bisa membuat saya menjerit, wajar jika “Insidious” kemudian jadi semacam patokan baru. Apa-apa sekarang dibandingkan sama “Insidious”, well jadinya memang overated, tapi peduli setan, toh film ini memang sudah memberi saya pengalaman horor yang selama ini saya cari, diantara film-film horor yang cara nakutinnya murahan dengan seabrek penampakan yang cemen. Memorable, horor tidak saja soal penampakan seram saja, tapi bagaimana adegan seram itu bisa menempel terus di kepala penontonnya, “Insidious” bisa melakukan itu.

Memang tidak adil untuk membandingkan “Insidious” dengan “The Conjuring”, karena ujung-ujungnya pertanyaan itu akan muncul “lebih seram mana?” jujur, saya paling malas dengan pertanyaan itu—walau pertanyaan seperti itu kadang muncul tanpa sengaja dari mulut saya. Sekali lagi seram itu relatif, film yang saya bilang seram belum tentu seram untuk orang lain, tapi saya bisa bilang ini, kalau keduanya sama-sama mampu mengeja kata “seram” dengan benar. Seram atau tidak seram, film semacam “The Conjuring” ini yah harus ditonton dan dirasakan sendiri, saya bisa bilang seram, karena untuk film horor saya biasanya menaruh posisi saya jadi orang yang paling pengecut dan penakut. Jadi ketika disodorkan “The Conjuring”, saya senang bisa ketakutan seperti anak kecil yang mendengar suara berisik di kolong tempat tidur, kemudian menjerit kala melihat bayangan orang dari balik pintu yang ternyata bukan apa-apa. Saya memposisikan diri jadi seorang anak kecil yang takut tidur sendirian dengan membiarkan pintu kamar terbuka dan lampu menyala. Well, apa yang ditawarkan “The Conjuring” memang sekali lagi basi, tapi ditangan James Wan apa yang selama ini terlihat sudah basi, justru mampu didaur-ulang jadi sesuatu yang menakutkan, bikin takut lagi walau sebetulnya pernah dilakukan film horor sebelumnya, bahkan di “Insidious”. Saat kemudian ada bagian dalam film yang terlihat seperti menjiplak “The Exorcist”, mungkin karena James Wan sengaja menyelipkan adegan tersebut, untuk sekali lagi menyeret saya dalam nostalgia, mengingatkan saya kenapa saya cinta horor. Film seperti “The Conjuring” yang memang membuat saya cinta film horor.

Referensi-referensi film horor klasik yang tergantung di “The Conjuring” menjadi keseruan tersendiri, bukan dicemooh karena mirip film ini dan itu, tapi sebuah catatan jika kita sedang menonton film horor yang dibuat oleh orang yang sama-sama mencintai film horor. Se-menyenangkan ketika menonton “Insidious”, “The Conjuring” juga menawarkan hal yang sama, dengan esekusi yang tentunya lebih bangsat. Tahapan menakutinya tetap menghadirkan bunyi-bunyian decitan pintu dan suara-suara aneh dari dalam rumah yang awalnya tidak dipedulikan, sampai levelnya meningkat ke penampakan demi penampakan yang menyeramkan, dan disertai interaksi “yang mengganggu” ke penghuni yang diganggunya. Terlebih saat duo suami-istri Ed dan Lorraine Warren (diperankan oleh Vera Farmiga dan Patrick Wilson) mulai menerawang rumah keluarga Perron untuk membuktikan jika rumah tersebut benar-benar berhantu. Dari sekedar suara tepukan tangan yang ngehe itu sampai kejutan-kejutan maha ngehe yang disuguhkan James Wan dengan berkelas, tidak asal mengagetkan tapi tahu kapan momen yang tepat dan waktu yang pas untuk membuat penontonnya menjerit. Ditulis oleh Chad dan Carey Hayes, James Wan begitu rapih dalam menyusun skema bangsatnya untuk menakuti penonton, sambil tetap setia menyuguhkan cerita yang cukup solid.

Sebetulnya dengan embel-embel film yang didasarkan kisah nyata, itu sudah dari cukup untuk bahan masturbasi saya membayangkan akan seseram apa si James Wan nantinya mengesekusi “The Conjuring”, toh bikin film yang ceritanya bukan kisah nyata alias mengarang bebas saja menyeramkan, melirik ke “Insidious”. Ya embel-embel tersebut memang pada akhirnya berpengaruh, atmosfir film yang dari awal sudah berhawa tidak enak semakin mengganggu ketika saya sadar apa yang tersaji di film pernah terjadi, walaupun tentu saja film tetap butuh genjotan dramatisasi untuk tujuannya menghibur. Penampakan-penampakan nakutin dan ngagetin bukan satu-satunya sorotan yang membuat “The Conjuring” berhasil, sekali lagi film horor yang berhasil adalah film horor yang bisa menakut-nakuti kita justru sebelum ada penampakan, asyik sendiri membayangi dalam kepala, dan “The Conjuring” bisa melakukan itu, mampu menggoda pikiran untuk mikir yang macam-macam dan seram-seram. Didukung oleh camera-work yang sama-sama bisa dibilang “horor”, dalam menangkap semua teror dan kengerian rumah keluarga Perron (thanks to sinematografernya John R. Leonetti), “The Conjuring” memang pada akhirnya bukan saja film horor yang bagus karena filmnya seram, tetapi karena secara keseluruhan film ini dibuat untuk menyenangkan penonton yang datang hanya untuk ditakut-takuti, termasuk saya. “The Conjuring” seperti juga keluarga Perron yang ramah, memang dari awal sudah menjadi tuan rumah yang baik sejak saya menginjakkan kaki pertama kalinya di rumah yang katanya berhantu tersebut. Sungguh pengalaman yang menyeramkan bertamu ke rumah ini, yah semenjak opening title dengan musik yang serasa menyeret kita ke alam lain itu, saya sudah tahu “The Conjuring” bakal ngehe, horor menyenangkan dan juga sekaligus disturbing layaknya “Sinister”. Masih berani nonton?