Sejak merilis “Toy Story” di tahun 1995 silam, Pixar Animation Studios seperti menegaskan kembali jika film animasi tidak saja sekedar tontonan “kartun” milik anak-anak, tapi juga harus bisa dinikmati oleh orang dewasa. Kemunculan sheriff Woody dan Buzz Lightyear si space ranger kala itu pun jadi semacam benchmark, bagaimana sebuah film animasi seharusnya dibuat, tidak saja unggul di kualitas gambar, Pixar juga bisa dibilang menempatkan storyline di posisi yang membuat kita peduli. Dari “A Bug’s Life” (1998) sampai “Toy Story 3” (2010), studio yang bermarkas di Emeryville, California ini membuktikan komitmennya, dari tahun ke tahun kualitas animasi film-film Pixar memang terjaga dengan baik, sentuhan magis mereka dalam menghasilkan cerita dan menciptakan keindahan gambar-gambar hasil rekayasa CGI, tetap sulit untuk ditandingi. Walaupun saya akui jika Pixar sekarang tidak sendirian, dulu bolehlah Pixar selalu memenangkan “duel”, tapi sekarang studio-studio animasi lain macam Blue Sky, terlebih DreamWorks Animation (DWA) tak lagi bisa disepelekan, kualitas animasinya tidak saja makin “mengerikan”, tapi juga di beberapa film mampu bersaing tipis dengan Pixar, oh atau bahkan mengalahkan Pixar ketika “Cars 2” (2011) dan “Brave” (2012) rilis.

“Cars 2” dan “Brave” memang pengecualian, walaupun kedua film ini tetap punya kualitas Pixar dan sentuhan magis itu, tapi secara keseluruhan—sebagai seorang anak yang tumbuh bersama dengan film-film Pixar—bukan film yang saya harap dihasilkan oleh studio sekelas Pixar. Kata orang bijak, semua yang berada di atas memang tak selamanya di atas, Pixar pun bisa “terpeleset”. Tidak salah saat saya kembali pasang ekspektasi tinggi untuk “Monsters University”, dan saya memang ingin Pixar kembali menjadi Pixar yang saya kenal. Ah tampaknya saya menjadi terlalu serius, mungkin Pixar masih tetap Pixar yang dulu, mungkin hanya saya yang lupa bagaimana menjadi anak kecil dan menikmati apa adanya hasil kreasi Pixar seperti dulu. Thanks to “Monsters University”, saya diingatkan lagi caranya, cara untuk melihat keajaiban sebuah film Pixar, dalam gambar, dalam karakter, dalam warna dan dalam jalinan penceritaan yang sekali lagi membuat saya—tak sampai menangis—setidaknya peduli ingin memeluk filmnya. Michael “Mike” Wazowski dan James P. “Sulley” Sullivan mengajak kita kembali ke dunia para monster, untuk melihat bagaimana semuanya dimulai, saat dua sahabat yang kita kenal di “Monsters, Inc” ini dipertemukan justru sebagai rival. Ketika Mike yang tidak seram itu punya ambisi untuk menjadi scarer semenjak kecil, dan terus saja di-bully oleh Sulley dan teman-temannya yang lebih populer.

Dibuka oleh film pendek “The Blue Umbrella” yang indah itu, saya mengakui tak ada yang baru dalam cerita yang diusung “Monsters University”, template yang sudah pernah dipakai dalam film-film bertema kuliah, dimana ada perseteruan antara mereka yang berstatus populer dan mereka yang dijuluki kutu buku. Well, tak jadi soal ketika Dan Scanlon kemudian mampu mengemas film ke-14 Pixar ini jadi film yang sangat menyenangkan, dengan tetap memiliki kualitas animasi yang hanya Pixar yang bisa membuatnya. Dunia yang lebih luas ketimbang yang diperlihatkan film pendahulunya benar-benar dibangun dan dipoles dengan apa yang dinamakan keajaiban Pixar. Tak saja dari aneka ragam bentuk monster-nya yang didesain sangat menarik dengan warna-warni yang enak dijilat mata, tapi juga lingkungan sekitar Sulley dan Mike yang disulap dengan detil yang sangat cantik dan begitu memikat. Untuk kualitas yang satu ini, Pixar memang tetaplah tidak tertandingi. “Monsters University” punya level realistik yang menakjubkan, membuat kita yang menonton benar-benar merasakan jika karakter-karakternya tidak saja bisa bergerak kesana-kemari, tapi juga hidup…sangat hidup. Karakter-karakter yang sudah dibuat Pixar menjadi menarik ini pun semakin bernyawa ketika bintang-bintang yang hadir, tak saja meminjamkan suara mereka namun juga menghembuskan nyawa ke masing-masing karakternya, Billy Crystal yang menyuarakan Mike dan John Goodman sebagai Sulley, misalnya, membuat kedua karakter sentral tak saja memainkan peran mereka di cerita sampai selesai, tapi juga sejak awal sanggup memikat penonton dengan chemistry yang manis.

Walaupun tak bisa melampaui “Monsters, Inc”, prekuel ini adalah film Pixar yang mudah dicintai, film yang begitu menyenangkan tanpa harus dipaksa untuk jadi film yang mengharukan ala film-film Pixar lain. Toh, saya memang tidak melulu mencari yang haru-haru di film Pixar, tapi lebih ke cerita yang membuat saya jadi lebih dekat dengan filmnya, dan Pixar melakukan itu di “Monsters University”. Jatuh bangun persahabatan antara Mike dan Sulley memang diceritakan dengan pola yang tidak baru, dengan konflik yang kita juga tahu akan seperti apa sejak awal cerita dimulai, namun sekali lagi saya lebih menikmati apa-adanya film ini, lebih dari dua film Pixar sebelumnya. “Monsters University” sudah sukses bawa saya kembali menjadi bocah yang begitu antusias ketika digandeng masuk dalam dunia monster-monster berwarna-warni, selama 100-an menit film ini memang hanya ingin membuat saya senang, dan itu terlaksana berkat bermacam aksi-aksi menggemaskan, lucu, menyenangkan dan seru dari para monster unyu penghuni universitas monster. Oleh Matt Aspbury dan Jean-Claude Kalache, momen yang menyenangkan itu dipresentasikan dengan sinematografi yang indah, kemudian dibungkus oleh scoring apik Randy Newman yang makin membuat saya betah. Ya, ini memang bukan film terbaik yang bisa diberikan oleh Pixar, tapi jelas lewat “Monsters University”, saya diberitahu jika keajaiban Pixar itu masih ada.