“World War Z” bisa dikatakan “film impian” bagi mereka yang menyebut dirinya zombie-enthusiast, termasuk saya yang sudah lama menunggu-nunggu film yang disutradarai oleh Marc Forster (Quantum of Solace, The Kite Runner) ini—walau menjelang rilisnya saya berusaha untuk tidak termakan hype dan ekspektasi pun dijaga agar tak meluap-luap, saya hanya tidak ingin kecewa. Diadaptasi dari buku novel berjudul sama karangan Max Brooks, orang yang juga menulis “kitab suci”-nya pecinta zombie “The Zombie Survival Guide”, “World War Z” memang tidak akan terlalu setia dengan materi novelnya, well saya kemudian akan memaklumi kapasitasnya sebagai film yang ingin mengkomersialkan film zombie, saya tidak akan banyak ngomel jika “World War Z” tetap berada di jalur yang saya inginkan, setidaknya membuat film zombie yang ada “zombienya”, tidak seperti seri-seri akhir “Resident Evil” yang makin keblinger itu. “World War Z” untungnya dibuat dengan benar, bahkan melampaui bayangan saya saat menonton trailer-nya yang memperlihatkan gerombolan zombie layaknya semut tentara yang sedang lapar. Melihat zombie lari (lebih ke jalan cepat) untuk pertama kalinya di “The Return of the Living Dead” dan beneran lari di “Dawn of the Dead” dan seri “28” itu saja sudah mengerikan, “World War Z” punya level mengerikan yang lebih baru.
Jadi, tentang apa sebenarnya “World War Z”? well, singkatnya semua orang jadi zombie bringas, disebabkan oleh semacam virus yang penyebarannya setingkat cepatnya dengan tweet artis meninggal di twitter yang ternyata hanya hoax. Yah, setelah tergigit, si korban yang sudah terinfeksi akan berubah jadi mayat hidup dalam jangka waktu hanya 12 detik. Hasilnya tentu saja kekacauan yang meng-global, kematian dimana-mana, populasi zombie yang meningkat drastis, seluruh dunia dilanda kepanikan, Amerika dan negara-negara besar di dunia lumpuh, ini yang dinamakan zombie-apocalypse sesungguhnya. Ketika harapan tampak tidak ada, Gerry Lane (Brad Pitt), seorang pensiunan “agen” PBB yang sudah terlibat dan berpengalaman dalam banyak situasi pelik di medan-medan konflik, ditugasi kembali bersama tim untuk menyelidiki asal-muasal virus, mencari patient zero. Nasib umat manusia sekarang berada di tangan Brad…eh maksud saya si Gerry Lane. Awalnya saya agak “kok Brad Pitt sih…!” tapi setelah menonton, anggapan saya berubah hampir 180 derajat. Sebagai seorang suami, ayah dari dua malaikat cantiknya, sekaligus jagoan, Brad Pitt tetaplah Brad Pitt yang apapun filmnya dia bisa beradaptasi dan menampilkan performa maksimalnya. Letnan Aldo Raine is back! kembali ke medan perang, bukan perang dunia melawan Nazi, melainkan melawan zombie-zombie yang sekilas mirip velociraptor yang kena rabies.
Marc Forster tampaknya mengerjakan pekerjaan rumahnya dengan baik, nonton dulu banyak film zombie mungkin, itu terlihat dari beberapa referensi film-film zombie yang mempengaruhi cara dia mengesekusi “World War Z”. Opening-nya yang lebih dahulu menghadirkan credit title sequence yang asyik, kemudian tak ubahnya seperti saya menonton “Dawn of the Dead”-nya Zack Snyder, tapi tentu saja skala outbreak dan chaos yang besar-besaran, bujet yang katanya sih hampir sampai 200 juta dolar—entah berapa juta untuk CGI-nya dan segala tetek bengek visual efek, benar-benar dihabiskan untuk menghasilkan momen “day one” yang epik. Sebuah gambaran outbreak yang biasanya di film-film zombie sebelumnya hanya menyisakan “sampah-sampahnya”, tahu-tahu sudah berantakan dimana-mana (ini tentu ada hubungannya dengan bujet), lewat “World War Z” inilah saya seperti mengalami mimpi basah. Film zombie yang diperlakukan layaknya film disaster berbujet besar, “World War Z” bisa dibilang “2012”-nya film zombie tapi dengan cerita yang jauh lebih baik, seperti “Independence Day” tapi tidak dengan invasi alien melainkan mayat hidup, seperti gelombang besar tsunami “The Day After Tomorrow” digantikan oleh tsunami zombie (ngomong-ngomong jadi film Roland Emmerich semua hahahaha). “War of The Worlds” tapi bukan melawan mesin-mesin alien yang bisa menghancurkan manusia jadi debu sekali tembak, melainkan perang melawan zombie yang bisa mengubah manusia jadi anjing gila dalam sekali gigit. Semua film disaster itu dilebur jadi sebuah film zombie yang benar-benar selama ini saya idam-idamkan, zombie-apocalypse dalam skala epik.
“World War Z” tentu saja tidak mengandalkan efek outbreak gila-gilaannya dan kekacauannya yang dibungkus oleh CGI untuk menarik perhatian saya, skripnya yang ditulis oleh Matthew Michael Carnahan (State of Play)—lalu kemudian oleh Drew Goddard (The Cabin in The Woods, Cloverfield) dan Damon Lindelof (Star Trek Into Darkness, Prometheus) dipoles pada bagian third act-nya—dibumbui juga dengan pakem-pakem oldskul dan modern yang “harus ada di film zombie”, yang membuat saya girang setengah mati. Diantara penyelidikan dan fokus film ke karakter Gerry Lane dengan segala unsur kehangatan family movie—berujung pada menurunnya level kesadisan film ini—Marc Forster untungnya tidak lupa menghadirkan aksi-aksi survival yang diesekusi dengan mengasyikkan serta efek ketegangan yang maksimal. Jadi, ketika filmnya tidak sesadis film-film zombie macam “Dead Snow” atau “La Horde” misalnya, saya tidak serta mengamuk, toh “World War Z” menggantikannya dengan keistimewaan lain, storyline yang tidak kacangan dengan pembagian babak ke babak yang membuat saya peduli, disertai selipan-selipan komentar sosial yang relevan dengan keadaan sekarang. Untuk bagian artistik, khususnya design zombie dan dandanannya, saya acungi jempol buntung berdarah-darah untuk “World War Z” yang sudah melahirkan spesies zombie baru, hasil modifikasi virus rage di “28 Days Later” kayanya sih hahaha. Diceritakan juga dengan cukup ilmiah, “World War Z” dengan keepikannya jelas masuk dalam daftar film-film zombie terbaik versi saya.
Audy
Kalo nonton ini, nonton 3D lebih enak
raditherapy
Klo menurut saya sih ini tipe film yang nga perlu ditonton dengan kacamata 3D
Nanda
Baru aja nonton ini siang tadi…. dan cuman bisa angguk-angguk setuju dengan review di atas
dari awal sudah gak diberi kesempatan buat bernafas, intens tapi masih ada humanis dengan drama keluarganya
ZOMBIEGASM!
bravo!
raditherapy
ZOMBIEGASM! yup setuju, walaupun kesadisannya dibatasi, WWZ tetaplah film zombie yang menarik, tidak sabar untuk menonton sekuelnya.
Diana
walaupun gak ada adegan2 gory nya…tapi film ini cukup seru dan menengangkan! juga bikin penasaran bagaimana cara si Gerry mencari solusi…! sama banget deh mas, saya pertama kali nonton trailernya juga mikir, kokkkk Brad Pitttt???? kayaknya kurang gimanaaa gtu…eh tapi pas di tonton yeah…dia emang selalu bisa masuk ke segala peran sihhhh jadi jatohnya tetep cocok2 ajaaa…:D
film ini juga membuat saya berpikir, kebayakan film zombie atau film kayak the day after tomorrow atau film kiamat2 dunia, pemeran utamanya pasti dari kenegaraan atau ilmuan, yang biasanya punya akses kesana kesini…(look so easy pinda 1 tempat ke tempat lain) coba kalo saya menempatkan diri saya ada di WWZ….mungkin kroco kayak saya ini masuk di adegan pertama waktu di caplok zombie! hahahahhahaha
nice review! 🙂
Adi Hartono
Adegan Gory ala Dawn of The Dead tidak ada, tapi tensi dan efek kejutnya cukup menutupi lubang ini.
Overall i like it ! Terutama akting Brad Pitt sebagai jagoan yang care ama keluarga. Cukuplah 😀
raditherapy
@ Diana dan Adi, saya setuju dengan kalian, walaupun tidak segory yang saya bayangkan–level intensitas ketegangannya tinggi, WWZ masih menawarkan aksi survival yang asyik menurut saya.
Tri Fajar
Sebenarnya aku sempat ragu waktu liat judulnya World War Z (judul yg aneh dan kayak judul2 film kelas B), tapi filmnya diulas di raditherapy dan dapet bintang, lalu coba nonton, dan….. bener2 kena zombigasm, bener pantes disebut sebagai sebuah world war, dan baru pertama kali ini liat ada zombi menyerbu kayak sapuan gelombang tsunami. Dan berkat film ini pula rasa takut pada zombi terasa kembali setelah zombi jadi lucu2an di film bersequel Resi Dan Ifel.
raditherapy
Hahahaha Resi Dan Ifel ke laut aja, kecuali film pertamanya.
Well klo mereka penganut kepercayaan zombie enthusiast sih udah nga asing dengan judul “World War Z”, bisa dibilang salah-satu kitab sucinya hahaha.
francis
lumayan. saya bukan penggemar film zombie, tapi entah kenapa selalu nonton film2 zombie.. tapi dari semua film zombie yg kutonton, ini yg paling bagus..dan cukup logis penyelesaiannya. walau masih bingung juga bagaimana bisa menyebar ke seluruh dunia kalau waktu infeksinya cuma 12 detik..
pixiesisil
kalo menurut sisil mah ni film memang manteb 100% deh
padahal awalnya emang ga nyangka bakalan ada film dengan judul ni
pas liat trailernya tiba-tiba langsung dapet feel untuk “WAJIB” nonton ni film
dan ternyata emang bagus banget
bener-bener film zombie terkerenlah pokoknya:)
semoga beneran ada sekuelnya
huhu:)
Luthfi Prasetya Putra
Halo raditherapy, Review-Luthfi mengundang kamu untuk mengikuti Liebster dan Sunshine Awards. Kamu bisa cek postingan gue: http://review-luthfi.blogspot.com/2013/08/liebster-award-dan-sunshine-award.html. Terima kasih dan selamat bersenang-senang.
raditherapy
Wah makasih banyak yah… 🙂
Seggaf
Kan baru keluar tuch yg versi Uncut-nya… Tambahan 7 menit dr filmnya, terutama adegan gore-nya…