Setelah jeda hampir tujuh tahun dari “Superman Returns”, salah-satu superhero, atau bisa dikatakan yang paling ikonik ini kembali diseret ke bumi, menceritakan ulang kisahnya—tidak ada sangkut-pautnya dengan film Superman sebelumnya, yup “Man of Steel” adalah sebuah produk reboot. Setelah Batman juga mendapat perlakuan yang sama, yang kemudian melahirkan trilogy yang disutradarai oleh Christopher Nolan (duduk sebagai produser di “Man of Steel”), reboot Superman kali ini memang terbilang ambisius, tidak saja mengkonsep-ulang hampir semua tentang si manusia baja yang kita kenal, tapi di tangan Zack Snyder (Watchmen, Sucker Punch) “Man of Steel” punya misi lain, membangun sebuah pondasi untuk menyokong apa yang dinamakan DC Cinematic Universe, menyaingi Marvel yang sudah maju duluan dan mengumpulkan superhero-superhero-nya dalam wadah paguyuban jagoan berjuluk The Avengers. Lewat “Man of Steel” DC Comics—yang memang agak telat, lebih baik terlambat daripada tak sama sekali, berharap bisa menjembatani jagoan-jagoannya untuk nantinya ngumpul, film Justice League of America (JLA) atau sering disebut Justice League adalah target utama DC Comics. Sebuah niat baik yang sudah lama saya nantikan, jujur ketimbang para begundal Marvel, saya memang selalu lebih antusias ingin melihat superhero DC beraksi di layar lebar. Bukan berarti saya anti-Marvel, hanya saja menurut saya “The Dark Knight” dan kawan-kawan di DC lebih gw banget—yah ini pendapat personal.
Setelah digempur habis oleh Marvel, lewat Iron Man dan kawan-kawan begundal Avengers, jagoan-jagoan DC Comics yang dirilis di bioskop tak terbantahkan jadi cupu, termasuk “Green Lantern” yang sebetulnya filmnya tidak jelek-jelek amat, tapi jika dibandingkan dengan amukan film-film blockbuster Marvel, Hal Jordan jelas keok sekali pukul hahaha (padahal ini salah-satu hero favorit saya). Well ya hanya Batman-nya Nolan yang bisa diandalkan, itupun dikeroyoki. Sudahlah, ini bukan soal tentang Marvel versus DC Comics, ini cuma curhat kecil saya, inginkan superhero DC Comics untuk punya film yang “layak”, tidak perlu ter-Nolan, tapi juga tidak perlu stalking gaya film superhero Marvel. Jawaban itu terletak di “Man of Steel”, film yang juga mengacungkan jari tengah pada kedigdayaan Marvel dan dunia per-superhero-annya. Sebagai sebuah jembatan menuju film Liga Keadilan, “Man of Steel” sudah menempatkan diri di posisi yang tepat, dan langkah Snyder dalam memperlakukan Superman pun saya anggap sudah berada di jalan yang benar. Saya menyebutnya sebagai sebuah prolog panjang (143 menit), sekaligus memperkenalkan lagi siapa itu Superman, sambil membangun sebuah awal yang meyakinkan sebagai modal untuk sekuel-sekuelnya, serta pondasi universe yang cukup kokoh—walaupun elemen-elemennya masih terlalu kecil, sebagai pijakan superhero lain untuk masuk ke dalam DC universe yang sudah disiapkan. Langkah kecil untuk Superman, sekaligus lompatan besar bagi DC Comics.
“Man of Steel” mengajak saya untuk mengenal kembali sosok Superman, diawali dengan pencarian jati diri seorang Clark Kent, yang semenjak kecil sudah merasa dirinya berbeda dari orang-orang di sekitarnya. Setelah mengetahui bahwa dia bukan dari Bumi, dan selama ini berstatus anak angkat dari Jonathan dan Martha Kent, Clark mengembara kesana-kemari dalam tujuan mengetahui siapa dirinya sebenarnya. Pencarian Clark akhirnya berujung pada penemuan sebuah pesawat yang lama terkubur dalam es, didalamnya dia menemukan jawaban. Bersamaan dengan penemuan jati dirinya, Takdir Clark sebagai pelindung Bumi, superhero berstatus pengungsi, kemudian langsung diuji ketika Jenderal Zod beserta antek-anteknya menyusul ke Bumi membawa pesan untuk Kal-El—nama pemberian orang tua asli Clark—dan punya niat tidak baik pada planet Bumi. Waktunya si manusia baja dan Snyder beraksi…boleh dibilang “Man of Steel” adalah “Batman Begins”-nya Snyder, apalagi dengan deretan flashback yang mengajak saya pada masa-masa tumbuh Clark di Smallville, yang di beberapa bagian memang hampir terasa sentuhan seorang Nolan selaku produser. Namun untuk urusan action nan gila-gilaan yang kemudian hadir di “Man of Steel”, saya langsung tersenyum dan bilang: ini memang film Zack Snyder dan bukan Batman-nya Nolan. Jika ada yang kemudian mengatakan filmnya tidak manusiawi, toh memang kenyataanya kali ini jagoan kita bukan manusia, status-nya alien, seorang pengungsi dari Krypton.
Lagipula jika ada yang bilang “Man of Steel” tidak manusiawi, ada kemungkinan orang itu tertidur sepanjang porsi drama dan terbangun lagi pas action digelar dengan membabi-buta. Saya rasa treatment David S. Goyer pada skrip yang dia tulis sudah cukup memanusiakan Superman, dan arahan Snyder makin membuat jagoan kita ini terlihat down to earth, hubungannya dengan Ayah dan Ibunya pun makin membuat saya bersimpati pada Superman, lagipula dia hanya anak Mama yang kebetulan punya kekuatan layaknya Dewa, kurang unyu apalagi tuh. “Man of Steel” memang terlihat lebih mementingkan aksi-aksinya yang berskala besar-besaran itu, mungkin karena saking gilanya kehancuran yang dibawa Snyder, ya jadi kita tidak merasa bahwa dalam storyline, film ini juga sudah menyuguhkan porsi yang cukup. “Man of Steel” cukuplah bercerita sambil bersamaan mengikat chemistry dengan penonton, sekaligus membangun karakter dari sosok manusia baja dan karakter lain yang mendukungnya. Henry Cavill memainkan dua sosok Superman dan anak manusia bernama Clark Kent dengan sangat baik, begitupula dengan sang musuh, Michael Shannon yang memerankan Zod, mengintimidasi sejak awal. Deretan pemain-pemain lainnya pun menghadirkan performa asyik, Amy Adams, Diane Lane, Kevin Costner, Laurence Fishburne, serta Russell Crowe yang berperan sebagai Jor-El tampil baik membimbing sang anak. Terlepas dari konsep baru Superman yang masih menyisakan “lubang” dan pertanyaan yang bermunculan sepanjang film, saya akui “Man of Steel” adalah film Superman yang selama ini saya inginkan dan Snyder membuatnya menjadi epik, dengan sekali lagi menyuguhkan action sequences yang sungguh gila-gilaan diiringi oleh scoring menakjubkan dari Hans Zimmer dan sinematografi apik Amir Mokri, semua bikin saya girang.
Adi Hartono
Setuju sekali dengan review Kang Radith yang satu ini. MAN OF STEEL bener2 Awesome !
Saya sempat diskusi dengan bini saya pas pertengahan film, karena istri saya masih bingung dengan sosok Superman. Saya ceritakan sedikit dan sempat saya terkejut saat tau-tau si General Zod muncul yang harusnya General Zod muncul di Superman 2 kalo mau ditarik time table ke Superman versi Christopher Reeve. Jadi saya makin terkejut lagi setelah si Zod lepas dan action sequence gila-gilaan ala Synder (saya tau dia memang gila sejak nonton Sucker Punch 😀 ) membuat saya makin gila dan kegirangan.
Malahan saya sempat tepuk tangan dibioskop saat sang idola saya Superman menghajar si Zod dan memelintir kepalanya sampe putar 360 derajat. Kali ini Synder membuktikan kualitasnya, dan Carvil juga tak kalah cemerlangnya.
Kevin Costner juga luar biasa, sampe saya meneteskan air mata bang.
raditherapy
Beda sama Star Trek Into Darkness yang masih menengok film2 lamanya dan mencoba membolak-balik konsep dan universenya, Superman-nya Snyder adalah re-boot yang asyik sendiri, punya konsep cerita sendiri dan move on dari film2 sebelumnya. Iyah action gila-gilaan itu emang Snyder banget, yang selalu push the limit klo udah urusan efek dan CGI, seperti yang dia lakuin di 300, Watchmen, dan Sucker Punch.
Whoa hubungan ayah-anak itu emang mengharukan, hubungan Superman dan Ibunya pun sama.
Adi Hartono
Setuju sekali lagi bang.
Btw, Buat anak-anak muda millenium sekarang ini nonton Superman dengan konsep baru harusnya bisa diterima. Saya yang sempat nonton Superman ala Christopher Reeve dgn membandingkan yang ala Cavil bagi saya dua-duanya punya kekuatan masing-masing.
Dan yang Superman “Man of Steel” ini kita sangat beruntung nontonnya, bagaimana tidak bang Superman 1 dan Superman II digabungkan dalam satu film (You know what i mean). Durasinya yang 2 jam 45 menit juga bikin betah. Gak sabar lagi nunggu film keduanya bang, dan semoga kursi sutradara masih dipegang si Synder plus Nolan di produsernya.
Team yang cucok dan top markotop !
raditherapy
Iyah keduanya mewakili jamannya masing-masing, nga perlu dibanding2kan, masing-masing punya keasyikan tersendiri. Saya juga pengennya klo ada sekuel pakai tim yang sama, khususnya Snyder di bangku sutradara. Klo “Man of Steel” sukses, jalan menuju film Justice League terbuka lebar dan superhero2 lain dari DC Comics bisa difilmkan, Wonder Woman, The Flash, Green Lantern (lagi) hahaha.
Diana
Akhirnya saya nonton ini juga, kemarin belom sempat ada waktu untuk nonton, jadinya banyak review dari orang sekitar yang uda nonton duluan, ada yang bilang film ini biasa aja, ada yang blg jelek tapi gak sedikit juga yang bilang bagus, karena baca review dengan bintang 4 yg raditherapy kasih inilah akhirnya membuat saya membulatkan tekad untuk nonton dan HARUS nonton…
kesimpulannya : menurut saya sama kayak komen2 sebelumnya, ini film superman terbaik yang saya pernah tonton, karakter clark kent nya juga dapet banget dimainkan oleh, Henry Cavill, semua porsi drama dan action pas pada tempatnya, saya dibuat terharu sekaligus juga gremet2 liat adegan2 action yang super JEDAR JEDER, lupakan saja logika tentang bagaimana si Clark bisa sekuat baja dan seenaknya menghancurkan seisi kota, duduk tenang dan nikmati saya ia merobohkan seluruh gedung2 itu…!
saya sendiri jauh lebih menyukai superman versi ini daripada superman sebelumnya, yang dimainakan Brandon Routh, entah karena produser dan sutradaranya entah karena jalan cerita yang terlalu maksa untuk jadi superman (sampe jambul kriting setengah nya aja HARUS menjuntai di jidatnya, padahal uda terbang kesana kemari) superman nya Synder lebih “masuk akal” dan down to earth, jadi lebih ngena di hati penontonnya
maaf panjang! hihihihi
raditherapy
Hmm film Man of Steel emang seharusnya tidak lagi pakai logika macam2, apalagi pakai logika manusia hahaha, Superman udah diperlakukan kaya Dewa, plus dia alien pula, hancur2an kaya gitu wajar2 aja jadinya, jangan terlalu seriuslah nonton ini, entar diketawain Snyder hahaha.
Wah saya malah makasih udah ada yang mao komen panjang diblog, masa pembaca aja yang “dipaksa” baca review panjang saya, gantian dong, saya kan jadi punya bacaan juga hehehe.
Thanks, Diana.
Tri Fajar
Pola penceritaan yg nyeleneh bikin film ini gak ngebosenin hingga durasi yg lebih dari 2 jam jadi gak berasa (jadi berasa kayak liat trailer film aja, loncat sana sini, tapi keren).
Mirip ama Trilogi The Dark Knight yg bikin film Batman sebelumnya jadi terasa film lucu, film Man of Steel juga bikin film Superman sebelumnya berasa film yg lucu (IMO), dan yg lebih mengasyikan lagi adalah akhirnya Superman tahu kalau di bumi itu pakai celana dalam sebelum celana panjang, gak kebalik kayak sebelumnya (entah siapa yg beri tahu dia info berharga ini…?)
Adit
Akhirnya nonton film ini juga beberapa minggu lalu (sebelum komen ini rilis). Dan mungkin komentar saya setelah ini bakalan se-klise komentar mayoritas orang, BAGUS BANGET! awalnya agak ragu sama mas Cavill ini karena pas nonton trailernya berbulan-bulan lalu di youtube ga sengaja langsung nunjuk layar dan bilang “si Theseus ini beneran bisa jadi superman?” dan ternyata kejawab beneran pas sepanjang film saya hanya menganga sambil terus merinding nonton setiap scene dari plot yang lompat-lompat itu. Kevin Costner perannya kecil tapi ngena banget (asli berlinang waktu doi mati kena twister *sorry spoiler) dan di film inilah best fight-scene dan best flight-scene menurut saya, scoring mr. Zimmer ga pernah ga keren sejak saya masih SMP nonton film trilogy Alien yang jijiknya naudzubillah itu..
Oya, usul dong bang: gimana caranya ngadepin penonton yang bangsatnya ga ketulungan disekitar kita waktu lagi nonton di cineplex lokal, jujur waktu nonton ini gw gedeg banget denger dia buka bungkus makanan atau komentar komentar ga penting yang annoying banget rasanya, apalagi waktu dia browsing sambil komat kamit nyebut aktor ini dulu main apa, ini siapa itu siapa, asli pengen gw tendang rasanya! sorry curhat..
raditherapy
@ Fajar, hahahaha ada2 aja!! well film Superman sekarang maupun dulu punya kekuatannya masing2 pada jamannya, setuju soal durasinya yang tidak terasa.
@Adit wah saya sudah sering ketemu penonton dengan segala macam tingkah laku, dari yang annoying doang sampai yang nga ketulungan, berisik dan kakinya diangkat ke atas bangku misalnya. Hmm selama ini sih masih ditegur aja, walaupun emang nga efektif, ada yang masih nga terima–nga mau cari ribut juga (walaupun pengennya sih ditembak aja kaya di “Godbless America” hahaha), setidaknya kita nga diem aja ngadepin penonton kaya gitu, kebiasaan jelek banget.
Anyway, Hans Zimmer bukan yang bikin scoring untuk trilogi Alien loh (bukan film dia banget hahaha), klo saya tidak salah ingat sih Alien itu Jerry Goldsmith sama Aliens itu James Horner, sisanya lupa hahaha.
Adit
alamak.. salah ternyata, saya pikir selama ini Hans Zimmer yang juga bikin scoring untuk trilogy Aliens itu. Thanks banget untuk koreksinya ya bang. Anyway, masih putar otak gimana caranya supaya penonton annoying itu bisa kapok tanpa kita harus ngadu ke security, selain menghilangkan kesan “cemen”, haha
Adi Hartono
Untuk urusan annoying pas nonton, saya kebetulan merasakannya saat nonton “Man of Steel” ini. Bukan annoying yang biasanya, tapi suara tangisan bayi ! Kesel gak tuh, nih orang tua bawa bayi masuk bioskop. Emang bayi udah bisa menyerap apa isi sebuah film.
Itulah pengalaman annoying saat nonton dibioskop baru-baru ini. Nggak tau langkah apa yg mesti kita ambil kalo udah urusannya kesuara tangis bayi…. haduuuuhhh…..
Anyway, for me this year the best Superhero movie so far is “Man of Steel” 😀
Tri Fajar
Untuk masalah keganggu waktu nonton di bioskop, usul aja ke pengelola bioskop supaya nyediain Headset, kan jadi lebih konsen nonton ama dengerinnya.
Cwek Gaul
Lumayan deh gan Film nya.. kemarin ku bolek balik nyari ni film.. 😀 😀 ahirnya ku lihat di
http://nontonfilmfreee.blogspot.com/
agusinema
Filmnya keren, hanya ada sedikit yg mengganggu gw yaitu kenapa Lois udh tahu duluan Clark itu adalah superman (spoiler)
selebihnya sih keren dan masuk akal…