Jokowi adalah fenomena, semenjak menjabat Wali Kota Solo, pria yang lahir di Surakarta pada 21 Juni 1961 ini sudah banyak disebut dimana-dimana, termasuk target pemberitaan media-media kecil maupun besar. Punya nama lengkap Joko Widodo, Jokowi dikenal suka melakukan terobosan-terobosan baru yang justru menyenangkan rakyatnya, bukan sebaliknya menyusahkan, khususnya kota Solo. Salah-satunya adalah berhasil merelokasikan pedagang kaki lima tanpa berujung rusuh, seperti yang biasa kita lihat di televisi. Saat bangsa ini kekurangan sosok pemimpin yang ideal, Jokowi kemudian tampil bak “Ratu Adil” yang selama ini dinanti-nantikan. Namanya pun makin santer dibicarakan saat dia terjun dalam bursa pemilihan calon Gubernur DKI Jakarta—berduet bersama Basuki Tjahaja Purnama, atau lebih dikenal dengan Ahok—dan Jokowi akhirnya memang orang yang dipilih untuk memimpin Ibukota yang punya setumpuk masalah ini. Setelah resmi menjabat, Jokowi pun melakukan gerak cepat merealisasikan visi dan misi ketika berkampanye dulu, membuat namanya hampir tidak pernah absen dari pemberitaan media. Dari melakukan blusukan ke kampung-kampung hingga ke aksi Jokowi masuk gorong-gorong Bundaran Hotel Indonesia, bisa “dijual” jadi berita. Namanya tidak saja jadi magnet, tapi juga harapan warga Jakarta, mereka yang dambakan Jakarta lebih baik.

Terkesan aji mumpung, KK Dheeraj—produser yang dikenal suka membuat film-film kacrut—pun gerak cepat, memfilmkan Jokowi di bawah bendera production house K2K yang sekarang punya logo baru—saya akan kangen dengan logo lama bergambar piramida. “Jokowi” tidak saja menjadi kesempatan untuk KK Dheeraj membuktikan dirinya memang beneran “tobat”, tapi juga kesempatan bagi saya untuk lebih mengenal Pak Gubernur yang juga doyan musik metal tersebut. Well, apapun alasan KK Dheeraj membuat film ini, saya kali ini harus akui niatnya jelas baik dan hasilnya nyatanya memang cukup baik, terlepas dari kekurangan film disana-sini. Disutradarai oleh Azhar Kinoy Lubis dengan judul awal “Cerita Kecil Dari Solo”, “Jokowi” mengawali ceritanya dengan kisah masa kecil Joko Widodo, lahir di lingkungan keluarga yang bisa dibilang miskin, Jokowi kecil sudah biasa hidup susah, bahkan harus rela pindah kesana-kemari ketika Bapaknya tak bisa melunasi uang kontrakan rumah. Hanya mengandalkan upah dari kerja sebagai tukang kayu, Bapaknya masih tetap bisa menyekolahkan anaknya dan Jokowi tak menyia-nyiakan kerja keras orang tuanya, di sekolah dia anak yang berprestasi. Dari Sekolah Dasar sampai SMA dan kemudian lanjut kuliah mengambil jurusan kehutanan, Jokowi terus memperlihatkan kalau otaknya memang cemerlang. Ya, kepintarannya pun diikuti oleh perilaku yang terpuji, hasil dari didikan petuah-petuah kebaikan dari Bapak dan Kakeknya yang didapat sedari kecil.

Sebuah film biopik dengan formula yang bisa dikatakan basi, “from zero to hero” yang menyuguhkan seorang tokoh yang dipuja-puji tanpa cela. Jokowi di film ini benar-benar bak malaikat, sedikitpun noda tak dibiarkan menyentuh Jokowi dan kesempurnaannya yang sudah dibangun sejak awal film. Satu-satunya kesalahan yang diperlihatkan Jokowi hanya kedapatan berkelahi, akhirnya kena marah oleh Bapaknya, walaupun sebenarnya Jokowi kecil dipukul karena dia menolak uang sogokan dari teman ngaji, balas memukul pun tidak. Film ini bagaikan “tameng”, Jokowi tidak akan korupsi, toh dari kecil sudah menolak sogokan, kenapa Jokowi bisa “menggusur” pedagang kaki lima tanpa konflik? karena semasa kecil Jokowi tahu rasanya digusur paksa—dia tidak mungkin melakukan hal yang dia sendiri tidak suka. Jokowi tahu bagaimana hidup sebagai rakyat kecil, makanya dia bisa tetap dekat dengan rakyat pada saat jadi pemimpin. Jika “Jokowi” terkesan layak dibilang film pencitraan, memang iya, tapi masalahnya bukan disitu, semua hal baik yang coba dicitrakan untuk “Jokowi” sah-sah saja, tapi saya lebih suka jika ada balance, tidak melulu mengekspos kebaikan Jokowi saja. Memperlakukan si tokoh utama sebagai manusia biasa, tampaknya dilupakan oleh film ini.

Saya tidak tahu seberapa otentik cerita di film ini dengan cerita asli Pak Jokowi, well sedekat apapun cerita di film dengan kehidupan aslinya, dramatisasi tetap harus dimunculkan, film-film biopik Hollywood pun perlu dramatisasi, perannya jelas untuk tetap jadi penghibur, ini film bukan dunia dalam berita. Sayangnya di “Jokowi” dramatisasi tersebut terlalu kesinetron-sinetronan, ada pola “sudahlah jatuh tertimpa tangga pula” yang berlebihan, ada karakter-karakter yang judes ala karakter jahat di sinetron. Ditambah lagi, pendekatan film ke karakter utama seperti melihat robot yang dijejali oleh program-program kebaikan, Bapaknya bilang A itu benar, Jokowi akan melakukan A, Kakeknya bilang B itu salah, Jokowi tidak akan melakukan B. Padahal apa adanya Jokowi, seharusnya bisa membuat film ini lebih dekat dengan penonton, tanpa diselipi oleh terlalu banyak petuah-petuah menggurui, niatnya baik tapi esekusinya justru malah membebani film ini untuk terus memperlihatkan yang baik-baik saja. Sesekali saya ingin menonton sisi lebih personal dari Jokowi, tidak hanya kesukaan dia pada musik ngangguk-ngangguk yang porsinya hanya numpang lewat. Karakter-karakternya pun ada yang ditaruh untuk gampang dilupakan. Untungnya untuk peran Jokowi sendiri, Teuku Rifnu Wikana saya akui bermain dengan sangat cemerlang, tidak saja dari gesture tapi juga diikuti oleh cara dia berbicara, apalagi ketika tertawa, itu sangat Jokowi banget, sayangnya rambut palsu itu begitu mengganggu. Terlepas masih ada kekurangan, “Jokowi” tetap film yang tidak membosankan untuk ditonton, bagian-bagian asyik yang tidak terbebani pesan moral masih tetap ada, ketika Jokowi mulai mengenal perempuan misalnya. Catatan khususnya: akhirnya si KK Dheeraj membuat film beneran, kalau biasanya filmnya bikin keluar darah dari kuping, mata dan hidung, kali ini saya bisa menikmati sambil sesekali tertawa saat “Jokowi” tampilkan sisi humorisnya.