Masih ingat dengan dialog di “The Avengers” ketika Steve Rogers (Captain America) mengolok-ngolok Tony Stark (Iron Man) lewat pertanyaan ini: “Big man in a suit of armour. Take that off, what are you?”, kemudian Tony menjawab: “Genius, billionaire, playboy, philanthropist.”, itulah Tony Stark yang kita kenal, hmmm…benarkah? Well, berangkat dari pertanyaan Steve Rogers tersebut, “Iron Man 3” adalah jawabannya, sekaligus sebuah pembuktian. Citra seorang Tony Stark dipelintir, film yang menjadi pembuka apa yang disebut dengan Marvel Phase Two ini, seakan-akan dimaksudkan untuk memperkenalkan lagi siapa sebenarnya Tony Stark, apa iya setelah dua film, kita benar-benar telah mengenal baik sosok Tony Stark. “…Why do we fall, Bruce? So we can learn to pick ourselves up.”—untuk “bangkit”, Tony Stark pun tampaknya juga harus dijatuhkan dulu, saya hanya mengutip film Batman-nya Nolan, bukan berarti “Iron Man 3” juga akan dibungkus sekelam itu. Bisa dibilang Shane Black (Kiss Kiss Bang Bang) punya caranya sendiri, sayangnya tidak seperti dua film pendahulunya, saya tidak langsung menyukai apa yang terjadi di “Iron Man 3”, seperti ada sesuatu yang mengganjal…mungkin hasil reaksi dari ekspektasi saya yang terlanjur kemana-mana, padahal biasanya ekspektasi tidak terlalu mempengaruhi penilaian saya saat sedang menonton, tapi kali ini berbeda. Atau film ini terlalu pintar buat saya.

Terlepas dari “Iron Man 3” yang berpaling menjadi sebuah film superhero yang tidak seperti yang saya harapkan, walaupun tidak terlalu mengecewakan pada akhirnya. Sebagai sebuah sekuel, “Iron Man 3” jelas sudah belajar banyak dari predesesornya, porsi action jedar-jeder-kaboom tidak saja semakin hingar-bingar, berskala massive untuk mengungguli apa yang ada di dua film sebelumnya, tetapi juga dibarengi oleh porsi penceritaan yang bukan saja jadi bayang-bayang. Diantara film-film Iron Man, saya akui “Iron Man 3” adalah yang paling berani dan niat untuk mengeskplor tidak saja sisi lain seorang Tony Stark, tapi juga tidak mau main aman dalam soal bermain intrik dan twist. Drew Pearce dan Shane Black (sok asyik) melangkahi batasan yang ada, beberapa ide mix and match-nya berhasil, beberapa tidak. Termasuk misalnya menyelipkan visi Shane Black untuk menggabungkan Tony Stark dan James Rhodes (Don Cheadle) layaknya duo Murtaugh dan Riggs di “Lethal Weapon”, yang satu ini cukup memberikan warna baru dalam penceritaan “Iron Man 3”. Melanjutkan duet Tony dan Rhodes dari dua film sebelumnya, dengan tingkat yang berbeda, gaya yang juga beda, dan tanpa embel-embel Iron Man dan War Machine/ Iron Patriot.

Shane Black sepertinya berpikir keras untuk menciptakan Iron Man paska kejadian di film “The Avengers”, tentu dengan segala macam link yang menghubungkan “Iron Man 3” dengan film gabungan superhero-superhero Marvel tersebut. Saya hargai apa yang dilakukan Shane, usahanya untuk membuat film ini jadi lebih personal, semua mengarah ke Tony, itu yang membuat “Iron Man 3” bukanlah “The Avengers 2”. Hey jadi jangan lagi tanya kenapa Thor, Hulk, Captain America tidak terlihat membantu Iron Man yang sedang diserang habis-habisan. Well, adakalanya seorang superhero harus melakukannya sendiri, lagipula jika semuanya ngumpul lagi, judulnya sudah pasti “The Avengers 2” dong. Sekali lagi “Iron Man 3” adalah film yang menjungkir-balikkan citra nyeleneh Tony Stark, dia masih “Tony Stark” hanya saja dibentuk jadi lebih dewasa oleh Shane. Memberikan status bahwa Tony Stark juga manusia biasa, bisa terluka dan sakit dibalik armor-nya yang tebal itu. Perubahan itu tidak tiba-tiba langsung “brak!”, namun perlahan kita diajak untuk melihat perubahan dalam diri Tony, saya juga tidak mau melihat orang yang saya kenal kok berubah asing. Shane melakukannya dengan cukup baik, walaupun tak jarang agak terpeleset di beberapa adegan. Kita tahu Tony Stark dibalik jubah Iron Man-nya adalah orang yang jenius, disini kita melihat dia tidak sekedar lebih jenius, tapi orang yang baik, ada “Captain America” dalam diri Tony, jadi salah jika Steve Rogers bilang dia melakukan semua hanya untuk dirinya sendiri. Seperti apa yang sudah kita lihat di “The Avengers”, di “Iron Man 3”, Tony bisa dibilang sedang digembleng untuk menjadi superhero yang sebenar-benarnya superhero…bukan sebagai hobi dan bersenang-senang saja.

Apa yang akan dilakukan Tony tanpa baju bajanya? ketika dunia membutuhkannya, ketika seorang pimpinan teroris bernama Mandarin (Ben Kingsley) memborbardir kedamaian, menyebarkan teror dan menginfeksi orang-orang dengan rasa takut. Ya, “Iron Man 3” mengorkestrakan drama kebangkitan seorang Tony Stark sebagai tak saja pahlawan super, tapi juga manusia, dengan cukup gemilang di beberapa adegan dan agak membosankan di fase intro-nya. Jika melirik dua film sebelumnya, seri ini bisa dibilang melakukan pendekatan yang agak nekat, seperti yang saya singgung di paragraf sebelumnya, berani mengeskplor karakter Tony Stark, tak saja permukaan tapi juga lebih mendalam ketimbang seri-seri sebelumnya. Hebatnya lagi ketika film ini terlihat begitu fokus pada sang jagoan, Shane Black masih mampu membagi-bagi durasi filmnya untuk karakter lain, tak sekedar numpang lewat, termasuk karakter yang dimainkan Gwyneth Paltrow, punya porsi tampil yang menarik perhatian saya, cukup mengejutkan melihat Pepper Potts. Dengan plot yang terkesan complicated, tapi tak sekompleks itu sebenarnya, “Iron Man 3”, hadir tanpa berusaha kelihatan terbebani oleh dua film sebelumnya, hasilnya memang tampak pada asyiknya Shane menyajikan film ini dari babak ke babak, misinya hanya bagaimana seri kali ini jadi terlihat benar-benar berbeda. Mewarisi franchise yang sebelumnya dipegang oleh si Happy Hogan, maksud saya Jon Favreau, Shane sudah sukses untuk tidak terkesan mengikuti bayang-bayang Favreau, ini “Iron Man” versinya sendiri. Terlepas review ini yang tampak memuji-muji bagaimana Shane membesut “Iron Man 3”-nya, sekali lagi saya jujur kurang sreg dengan seri yang satu ini. Tapi saya tetap terhibur, well dengan segala balutan aksi menggila yang membungkus sebuah curhat terselubung dari Tony Stark, ini adalah “Iron Man” paling personal setelah film kedua. “Iron Man 3” tetaplah seperti film Iron Man yang saya kenal, lucu (walau jokes-nya beberapa tampak berlebihan), gila-gila-an, pamer teknologinya yang sinting, hanya saja kali ini kita diajak untuk lebih peduli (lagi) pada Tony, jadi Steve Rogers itulah jawaban dari pertanyaan ngeledek lo di “The Avengers”, nice job anyway, terima kasih Shane Black yang sudah membuat saya tertipu lagi dan lagi dan lagi dan lagi dan lagi.