Mengantongi pendapatan lebih dari $300 juta untuk film pertama di tahun 2009 silam, memang tidak perlu seorang ahli nanotechnology untuk menebak “G.I. Joe: The Rise of Cobra” akan menelurkan sebuah sekuel, walaupun filmnya mendapat respon sangat negatif dari para kritikus. Well, bersikap masa bodoh dengan para kritikus, akhirnya butuh waktu 4 tahun untuk para “Joe” kembali ke layar lebar. Dengan embel-embel “Retaliation”, formula yang diusung sekuelnya tak banyak berubah dari pendahulunya, sebuah popcorn movie bergenre aksi yang fokusnya lebih kepada menyodorkan ledakan visual efek disana-sini ketimbang cerita, tak peduli pada dialog-dialog pintar, hanya buang-buang peluru sebanyak mungkin. Akting pun jadi nomor sekian, tampang dan bentuk tubuh yang jadi andalan. Nah karena ini sekuel, Jon M. Chu (Justin Bieber: Never Say Never) yang mengambil posisi Stephen Sommers sebagai sutradara, tentu harus bisa membawa para Joe ke level aksi yang lebih tinggi. Dengan skrip yang ditulis oleh Rhett Reese dan Paul Wernick, saya akui “Retaliation” memang punya lebih banyak aksi-aksi yang diperlukan untuk sebuah sekuel, menghamburkan bujetnya yang sekarang lebih sedikit daripada film sebelumnya. Sayangnya, untuk film yang sebetulnya hanya perlu duduk dan menikmati serangkaian aksi bombastisnya yang tak berotak itu, “Retaliation” malah tampak kesulitan memenuhi satu saja kriteria sebuah film menghibur.

Untuk memulai perjalanan melelahkan “Retaliation” selama 110 menit nanti, film ini tak perlu buang-buang energi untuk memikirkan sebuah plot yang cerdas, toh yang para Joe butuhkan hanyalah alasan untuk balas dendam sambil iseng-iseng menyelamatkan dunia dari kejahatan Cobra Commander dan antek-anteknya. Ya, setelah berhasil “menyelinap” masuk gedung putih, Zartan (Arnold Vosloo) yang sekarang duduk di kursi Presiden Amerika Serikat langsung bergerak cepat, para Joe yang selama ini ditugaskan untuk misi-misi berbahaya, menjaga perdamaian dunia, dan dicap sebagai pahlawan, justru dijadikan target untuk dihancurkan. Duke (Channing Tatum), Roadblock (Dwayne Johnson), Flint (D.J. Cotrona) dan Lady Jaye (Adrianne Palicki) dikhianati, para Joe diskenariokan mencuri sebuah hulu ledak nuklir dari Pakistan, karena dianggap ancaman, mereka pun diserang habis-habisan. Tidak ada yang tersisa, Roadblock dan kawan-kawan pun harus bisa mengembalikan nama baik Joe, sambil mencari dalang dibalik penghianatan besar-besaran tersebut. Situasi makin genting, ketika Cobra Commander berhasil dibebaskan dan bersiap menjalankan rencana “besarnya”. Takdir dunia pun ada ditangan anggota Joe yang tersisa, termasuk juga Snake Eyes (Ray Park).

“Retaliation” memang tahu bagaimana cara untuk memancing penonton datang berbondong-bondong ke bioskop, tidak mengajak karakter-karakter lama di tim G.I Joe untuk main di sekuelnya, film ini justru menghadirkan karakter baru yang dimainkan oleh bintang-bintang yang sudah tidak asing lagi untuk menemani si Duke, seperti Dwayne Johnson, serta dengan sudah payah mengajak pahlawan Amerika lainnya, John McClane…maaf maksud saya Bruce Willis untuk ikutan beraksi menyelamatkan dunia dari bisa beracun Cobra Commander beserta anak buahnya. Sah-sah saja untuk menempatkan karakter baru, tapi “Retaliation” tak cermat dalam men-treatment karakter-karakter tersebut, porsi pengenalan yang serba kurang dan seperti tidak peduli apa mau penontonnya, karakter Roadblock dan kawan-kawan dibiarkan “main” asyik sendiri. Alhasil mereka tampak seperti mainan saja, parahnya mainan-mainan yang tidak saya pedulikan lagi nasibnya, mau hidup terserah, mau mati terserah. Menempatkan bintang baru ternyata tak membuat “Retaliation” lebih bersinar, ditangan Jon M. Chu talenta besar seperti Dwayne Johnson dan Bruce Willis, bahkan Channing Tatum diredupkan, semua disia-siakan, padahal hadirnya The Rock dan kawan-kawan berototnya bisa saja membuat “Retaliation” menjadi sebuah film action yang gila-gilaan seperti serial animasinya. Sayang film ini sudah telanjur salah strategi sejak awal film.

Tidak hanya karakter-karakter dalam film yang sudah disia-siakan, kebanyakan durasi film juga dihabiskan dengan adegan-adegan yang porsinya dimanfaatkan untuk memanjang-manjangkan cerita saja. Kenapa tidak memperbanyak adegan-adegan aksinya yang walaupun beberapa tersaji cukup menghibur, tapi apabila dibandingkan dengan film G.I. Joe sebelumnya, deretan aksi-aksi dengan polesan CGI tersebut terkesan biasa sekali. Tidak cukup gila-gilaan untuk membuat saya tercengang, seperti misalnya atraksi penghancuran menara Eiffel di film pertama yang bisa dikatakan cukup memorable tersebut. Di sekuelnya hampir tidak ada yang istimewa, adegan di pegunungan itu bolehlah, tapi sisanya “zzzzzzz” sekali. Termasuk adegan penutupnya yang seharusnya eksplosif tapi terkesan seperti adegan yang kekurangan dana. Semua di “Retaliation” memang serba tanggung, maunya membuat adegan aksi gila-gilaan, jatuhnya malah murahan jika film ini berpatokan pada film-film aksi zaman sekarang, apalagi dibandingkan dengan predesornya. Walaupun dibungkus oleh visual efek yang niat, tapi tetap tak bisa menyelamatkan “Retaliation” dari statusnya sebagai film hiburan yang gagal. Yah satu-satunya yang bisa diacungi jempol adalah tata suaranya, benar-benar sudah disiapkan untuk “meledakkan” telinga penonton, termasuk juga musiknya yang terkadang lebih hebat dari adegannya sendiri. Untuk mereka yang berharap “Retaliation” akan punya presentasi yang lebih unggul dari film pertama, simpan ekspektasi tersebut jauh-jauh, “Retaliation” sudah kalah perang sejak awal.