Sebuah lagu tidak saja jadi bahan pemacu mood untuk lebih gembira, mengingatkan lagi rasa manis dari kenangan berbungkus masa lalu. Adakalanya, lagu juga menjadi trigger sempurna untuk menghadirkan… lagi rasa pahit. Punya lagu seperti itu? saya punya, begitu juga dengan Pat Solitano Jr. (Bradley Cooper), tembang lawas “My Cherie Amour” milik Stevie Wonder bisa kapanpun meruntuhkan mentalnya. Lagu pernikahannya tersebut terpasang ketika Pat memergoki istrinya sedang selingkuh dan Pat hampir menghajar pria tersebut hingga tewas. Karena Pat dinyatakan punya gangguan kejiwaan, dia terhindar dari hukuman penjara tapi tetap harus menjalani perawatan selama delapan bulan di sebuah institusi khusus. Setelah diperbolehkan pulang, Pat kembali tinggal bersama orangtuanya, Patrizio “Pat Sr.” Solitano (Robert De Niro) dan Dolores Solitano (Jacki Weaver). Walau beberapa kali “kumat”, kedua orangtuanya, tetap sabar dengan kondisi Pat, termasuk ayahnya yang ingin Pat ada dirumah ketika tim kesayangannya, Philadelphia Eagles, bermain. Ayahnya percaya jika Pat ikut menonton, Eagles pasti menang. Namun yang ada di kepala Pat hanya bagaimana caranya dia bisa kembali ke pelukan Nikki, mantan istrinya. Di saat Pat sedang menjalani strategi rekonsiliasi dengan Nikki, lalu datanglah Tiffany Maxwell (Jennifer Lawrence) dalam kehidupan Pat. Keduanya klop dari berbagai sisi, saling membutuhkan dan punya masalah pelik dalam kehidupan. Hanya tinggal menunggu waktu saja, ketika percikan di mata menjadi api cinta yang berkobar-kobar.

Diadaptasi dari novel dengan judul serupa karangan Matthew Quick, “Silver Linings Playbook” sebetulnya punya pola yang mirip-mirip dengan film sejenis yang berada dalam koridor komedi romantis. Apalagi film cinta-cintaan yang didasarkan pondasi cerita seseorang yang sakit hati dan menemukan orang lain sebagai penyembuhnya. Sudah banyak, namun oleh David O. Russell (The Fighter) kisah yang sepertinya basi dan klise disuguhkan berbeda, menjelma menjadi sajian komedi romantis yang agak gila, dan menceritakan perkembangan sebuah relationship dengan unik sekaligus ya sedikit absurd jika bisa dibilang begitu. Menyutradarai film yang skripnya ternyata juga ditulis oleh David O. Russell sendiri, sepertinya memberikan ruang bebas bagi dirinya untuk mengembangkan proses transformasi sebuah tulisan ke dalam media gambar bergerak. Hasilnya “Silver Linings Playbook” justru asyik sendiri, beberapa bagian yang seharusnya mampu menggerakkan emosi penonton, malah kok hampa. Momen yang sebetulnya bisa menyentuh hati penonton, justru terkesan melupakan penontonnya. Entah saya yang sedang tidak dalam kondisi terbaik untuk menonton atau memang ada yang salah dengan cara David O. Russell menyajikan film ini, Well, bukan berarti “Silver Linings Playbook” saya simpulkan film jelek, saya masih suka dengan film ini tapi jujur kok rasa-rasanya mudah dilupakan dan bukan tipikal film yang asyik untuk ditonton lagi… saya tidak dapat chemistry yang saya inginkan.

Sekali lagi “Silver Linings Playbook” bukanlah film yang jelek, film bagus yang tetap masih punya kekurangan. Sama seperti karakter-karakter di film ini yang memang sengaja ditampilkan sebagai sosok yang tidak sempurna. Tidak saja Pat dan Tiffany yang diperlihatkan bermasalah, tapi hampir semua karakternya memiliki masalah, inilah yang menjadikan “Silver Linings Playbook” adalah film komedi romantis yang selain tidak fake tapi juga lebih hidup. Sebuah film yang memberikan wawasan yang tidak muluk-muluk, jika hidup itu tidak lurus-lurus saja, lihat saja alat pendeteksi detak jantung, kalau garisnya lurus berarti sama saja mati. Jalan cerita yang film ini sodorkan pun tidak terjebak pada cara-cara yang biasa diperlihatkan rom-com lain, bagaimana karakter yang dimainkan Bradley Cooper dan Jennifer Lawrence saling bertemu untuk pertama kalinya, hingga akhirnya mereka memutuskan untuk saling membantu, ditampilkan oleh David O. Russell sengaja untuk nyeleneh, kasar, namun lembut diantara ke-absurd-an dan canggungnya hubungan Pat dan Tiffany. Dengan durasi yang sebetulnya melelahkan, 122 menit malah jadi tidak terasa, karena film tampil mengasyikkan, apa adanya, tidak berlebihan, serta diselipi komedi-komedi kocak yang mampu mengisi keseriusan saya menonton dengan tawa-tawa lepas.

Bradley Cooper, Jennifer Lawrence, Robert De Niro, Jacki Weaver, dan bahkan Chris Tucker dengan porsi menghiburnya, sudah menampilkan aksi akting yang tidak saja mempesona tapi juga memberikan nyawa kepada karakter-karakter yang mereka mainkan. Ya, “Silver Linings Playbook” hidup karena karakter-karakternya tersebut. Pat cocok sekali dimainkan oleh Bradley Cooper yang memang terbiasa dengan film-film bernuansa komedi, dengan aktingnya yang suka meledak-ledak itu, kemudian ditambah sisi charming-nya, bisa dibilang Bradley membawa karirnya setingkat lagi lebih tinggi dengan perannya sebagai Pat. Lawan mainnya, Jennifer Lawrence tidak saja kemudian mengimbangi aksi Bradley, namun mampu jadi daya tarik tersendiri dari film ini. J-Law memang lebih berkilau di “Silver Linings Playbook” ketimbang pemain lainnya, semua terasa biasa ketika dia absen dari layar, tapi berubah drastis saat dia kembali muncul, dengan segala pernak-pernik sumpah serapah yang masuk dalam setiap dialognya. Namun, sama seperti karakter Pat dan Tiffany yang saling ketergantungan satu sama lain, semua karakter saling membutuhkan. Jika terus saja soal Pat dan Tiffany tentu saja tidak asyik, kecuali dari awal film ini memang tidak memperkenalkan siapapun kecuali mereka. Karakter ayah, ibu, kakak, teman bukan jadi karakter yang hanya numpang lewat tapi menyempurnakan. Sayangnya seperti yang saya singgung sebelumnya, walaupun saya memberikan Pat dan Tiffany poin besar untuk chemistry mereka yang ngehe, “Silver Linings Playbook” bukan tipe film yang mudah “klik” dengan saya, agak sulit untuk memaksa dibuat “nyambung”.