Sempat mencuri perhatian di “Catatan Harian Si Boy” dengan perannya sebagai Andi, seorang Abimana Aryasatya atau yang akrab dipanggil Abimana ini, adalah salah-satu aktor Indonesia yang punya kemampuan akting mumpuni. Luwes saat memainkan karakter yang diberikan kepadanya, penjiwaannya pas, dan karakter apapun jadi terlihat asyik. Namun sayangnya, setelah CHSB, kemudian Keumala, Republik Twitter, sampai film terakhirnya Sang Pialang, karakter yang Abimana mainkan bisa dibilang masih dalam koridor “aman”-nya, karakter yang terkesan justru dibuat memang “khusus” untuk Abimana. Saya ingin melihat apa Abimana bisa berperan sebagai karakter yang bukan dia banget, nah “Belenggu” langsung menjawab pertanyaan saya tersebut. Dan “BAM!”, saya seperti tiba-tiba ditabrak oleh sebuah Merc (Mercedes-Benz) klasik, terhentak kaget karena ulah Abimana, aktingnya sebagai Elang benar-benar seperti meludahi pertanyaan saya, walau cukup disayangkan filmnya sendiri tidak terlalu memuaskan, fiuh.

Saya sebetulnya gatal ingin menyebut beberapa judul film yang masih satu atap dengan “Belenggu”, punya kemiripan di twist-twist-nya. Tapi menyebut judul film tersebut satu-persatu sama saja mengungkap kejutan yang disekap rapat-rapat oleh film ini. Saya usahakan agar tidak spoiler ya, walaupun kayaknya agak sulit. Iya saya pun tidak suka terperangkap “jebakan betmen” alias spoiler, apalagi jika ada orang tidak berperikemanusiaan menceritakan isi film yang plotnya seragam dengan “Belenggu”, bisa ngamuk. Karena keasyikan menonton film semacam ini salah-satunya justru faktor tebak-tebakan, kalau sudah tahu buat apa nebak lagi. Sama saja seperti sedang main petak umpet, tapi yang ngumpet bersembunyi di balik kaca, kita yang jaga tidak perlu repot-repot lagi mencari, tidak asyik kan?? Oke saya usahakan tidak spoiler yah. “Belenggu” berfokus pada seorang bernama Elang, yang tinggal di sebuah apartemen dan sehari-hari berkerja di sebuah bar. Di tengah ramainya berita tentang seorang pembunuh yang masih berkeliaran, Elang kemudian mencurigai tetangganya Guntur (Verdi Solaiman) adalah orang yang dicari tersebut. Sambil kemudian mencari bukti atas kecurigaannya, Elang pun berusaha melindungi Djenar (Laudya Chintya Bella) dari suaminya itu.

Masalah semakin pelik ketika muncul Jingga (Imelda Therinne), perempuan yang selalu hadir dalam mimpi Elang. Di lain sisi, kecurigaannya lama-kelamaan jadi membelenggu akal sehat Elang, membuatnya paranoid sendiri. Kita yang sedang asyik mencerna satu-persatu adegan yang disodorkan Upi pun akhirnya ikut-ikut terbelenggu. Mau tidak mau—walaupun saya sudah bisa menebak mau kemana arah film ini, jenis film thriller psikologis seperti “Belenggu” selalu bisa membuat saya duduk manis membuka layer demi layer misterinya, sambil menyaring tiap petunjuk yang sayangnya disembunyikan Upi tidak terlalu rapih. Saya suka main puzzle, “Belenggu” punya permainan puzzle yang sebenarnya menarik, awalnya, tapi paruh pertama film ini kok rasa-rasanya semakin terlihat berantakan, bukan teka-teki yang “diberantakin” dengan cara yang asyik. Tumpukan puzzle-nya Upi susun tanpa mempertimbangkan apakah penonton juga sama-sama kegirangan, atau malah seperti saya yang duduk bosan melihat Upi asyik sendiri. Ingin film terlihat cerdas sah-sah saja, tapi jangan kemudian membodohi saya dengan teka-teki acak yang maksa untuk terlihat ngejelimet, kompleks? tidak juga.

Saya berusaha keras untuk menikmati 40-50 menit awal film, tapi susah bukan main, mungkin saya terlalu bodoh untuk film jenis ini. Sebaliknya sangat mudah bagi saya jatuh cinta pada segi teknikal “Belenggu”, khususnya pada departemen artistik yang sudah membangun dunia dimana Elang tinggal menjadi believeable, dengan masih mencirikan film khas Upi lewat gaya fashion yang ber-vintage-ria, dipadu-padankan dengan racikan tata kostum serta pernak-pernik pendukung di sekelilingnya yang berbau kebarat-baratan. Gaya mix and match “Belenggu” bisa dibilang masih enak dipandang, tidak sekonyol “Serigala Terakhir” itu. Okay! sisi artistiknya yang nyeni sekali, ditambah pengambilan gambar yang sukses bikin saya ileran. Kemudian dipasangkan dengan tata suara yang membuat dua kuping saya jingkrak-jingkrak, ditambah musiknya yang mengiringi tiap adegan dengan ritme yang pas, membelenggu mood serta emosi saya untuk ikut bereaksi sesuai keinginan filmnya. Semua bagian teknis sangat-sangat mendukung tone film ini yang memang punya warna misterius, gelap, kelam, sekaligus ya berdarah-darah.

Abimana Aryasatya melengkapinya dengan bermain sakit, sakit, sakit. Saya rela memberikan potongan dua jempol saya kepadanya. Tidak lupa Imelda Therinne juga memperlihatkan akting juara-nya, serta para pemain pendukung: Laudya Cynthia Bella, Verdi Solaiman, Bella Esperance, Jajang C Noer yang porsi masing-masing sudah menyempurnakan arti kegilaan di film ini, khususnya sang pemain cilik, Avrilla yang bermain sebagai Senja. Yah, kekurangan “Belenggu” kemudian mampu tertutupi oleh kelebihannya yang tak bisa dipandang oleh sebelah mata. Paruh pertama memang “menyiksa”, harus dipaksa-paksa untuk menikmati, toh akhirnya setelah film bergulir di pertengahan, ketika bagian demi bagian terkuak dan masuknya karakter detektif-detektif itu “Belenggu” mulai terasa menghibur. Sepak-terjang film ini dalam mengungkapkan bukti-bukti yang selama ini sudah disembunyikan, saya akui asyik, Upi memaksimalkan bagian yang membuat film ini semakin greget. Cukup disayangkan, lagi-lagi saya harus dikecewakan ketika “Belenggu” membuat saya kembali terlihat seperti orang bodoh, dengan asyik sendiri lagi, Upi memberikan penjelasan-penjelasan yang terlalu detil di akhir. Saya lebih memilih untuk menyimpulkan sendiri, mencari sendiri jawabannya, tapi “Belenggu” lebih memilih untuk menjelaskan bagian “how?” terlalu panjang lebar, sampai saya tertidur di kursi belakang Mercedes-Benz klasik yang Jingga kemudikan dan terbangun sudah dalam kostum kelinci.