Cinta nga kaya saham, yang bisa seenaknya ditahan dan “dilepas”, isi hati siapa yang bisa spekulasi. Menahan cinta adalah kerugian, tapi mengungkapkannya pada orang yang dicintai adalah keuntungan buat hati. “Sang Pialang” sebetulnya lagi-lagi bicara soal cinta, template-nya sudah tersedia di film-film Indonesia sebelumnya, jadi apa yang beda? Kita dibawa untuk tur ke dunia sekuritas, main-mainan saham, sekaligus ngomongin cinta. Bukan lagi di dunia sekolah, bukan lagi tentang anak desa bertemu anak kota, tidak lagi bicara cinta anak-anak gaul dan ABG, “Sang Pialang” memberi sebuah alternatif baru. Walaupun bentuk hati tetap sama, jumlah huruf “cinta”-nya pun tetap tak berubah, “dunia”-nya berbeda—kita tidak saja dibocorkan informasi tentang seperti apa sih permainan bursa saham lokal, tidak banyak, sekaligus juga diberi ruang untuk mengintip kelakuan para pialang ini ketika berurusan dengan yang namanya cinta. Hati tidak bisa berpikir, untung-rugi urusan kepala.

Abimana Aryasatya sekali lagi bermain sebagai Abimana Aryasatya…eh Mahesa, yah tahu kan apa maksudnya hehehe. Mahesa ini seorang pialang yang “lurus”, sahabat-sahabatnya bilang konservatif, termasuk Kevin (Christian Sugiono) yang berbanding terbalik dengan Mahesa. Persahabatan mereka baik-baik saja, sampai pekerjaan jadi lubang menganga yang semakin terbuka lebar diantara persahabatan keduanya, dan ditambah ada cinta yang diperebutkan. Mahesa dan Kevin sama-sama suka dengan satu-satunya perempuan di geng mereka, Analea (Kamidia Radisti). Sinar Mahesa pun mulai redup di perusahaan tempat dia bekerja, padahal dia selalu jadi yang nomor satu dalam urusan pekerjaan di Barata Sekuritas, yang pemiliknya adalah ayah Kevin sendiri, Rendra (Pierre Gruno). Belum lagi konflik internal dengan sang Ayah. Sedangkan Kevin yang menghalalkan segala cara untuk bisa berhasil, karirnya justru semakin menanjak, kesempatan untuknya merebut Analea.

Akhirnya ada lagi film Indonesia ber-genre drama cinta yang bukan ujung-ujungnya batuk darah, mengeskploitasi penyakit yang kadang tanpa riset yang benar, ah yang penting nama penyakitnya keren dan berpotensi hujan air mata di beberapa adegan. Terserah, jika lama-lama mau ditinggal penonton, kita tidak bodoh. Walaupun di-set dalam dunia saham-sahaman, jangan dulu ciut, “Sang Pialang” tidak serumit angka-angka yang terpajang di layar komputer Mahesa, ini tetap film ringan. Saya pikir pun awalnya, “Sang Pialang” bakal mengajak saya nyemplung dan menyelam lebih dalam ke dunia para pialang ini, tapi nyatanya tidak lebih dari main-main di pinggirannya, basah-basah sedikit. Setidaknya label “keren” sudah menempel pada film ini, isinya main saham, ngomongin uang bermilyar-milyar, makan enak setiap hari, pesta tiada akhir, mobil mewah, baju bagus, gadget mahal, ke kantor diantar helikopter. Kurang keren apalagi nih “Sang Pialang”? sayangnya untuk film yang berdurasi hampir dua jam, tampil keren di mata saja tidak cukup, ujung-ujungnya yah bosan dijejali terus-menerus kehidupan “mewah” para pialang ini, sudah cukup pamernya!

Bicara soal cerita, paruh pertama “Sang Pialang” bisa dibilang asyik, kita dikenalkan dengan Mahesa dan persahabatan, disodorkan sebuah buku “sekuritas for dummies”, lalu mulai ditawarkan konflik-konflik kecil yang menyulut konflik utama di film ini. Cerita masih mengalir nyaman, tanpa sekalipun saya gerutu, semua masih aman dan saya penasaran mau dibawa kemana film ini dengan konflik-konfliknya. Berlanjut ke paruh kedua, “Sang Pialang” mulai “nakal” menahan-nahan konflik, punya banyak alasan untuk memanjang-manjangkan konflik yang sebetulnya bisa segera selesai. Cerita akhirnya terjebak berputar-putar di situ-situ saja, sebetulnya punya dua saja konflik utama sudah cukup, tapi “Sang Pialang” memilih untuk tidak memberikan perkembangan baru. Penonton digantung untuk menunggu konflik selesai, saya pun mulai merasakan filmnya lama. Itupun setelah ada keinginan untuk mengakhiri satu persatu konflik, film yang disutradarai oleh Asad Amar, dengan cerita yang ditulis oleh Titien Wattimena dan Anggoro Saronto ini, dengan sok asyik menggampangkan konklusinya. Sudah menunggu lama, ternyata begitu doang. Seperti Gustom di film ini, saya merasa ditipu hahahaha. Sayang memang, sudah tampil keren, “Sang Pialang” justru tidak benar-benar memikat saya dengan cerita.