Persahabatan Genta, Arial, Zafran, Riani dan Ian, yang tak pernah kelewat satu weekend-pun untuk ketemuan itu, mengingatkan saya, dulu sebelum kita semua disibukkan oleh urusan pekerjaan dan kehidupan pribadi (sekarang sudah ada yang berkeluarga dan punya anak pula), saya dan ketiga sahabat dari SMA pun melakukan ritual yang sama. Setiap minggu ketemuan, jalan, atau hanya sekedar ngumpul di rumah saya, ritual itu berlanjut sampai kita semua kuliah. Bedanya sama kelompok Genta, saya tidak punya sahabat cewek, enak kali yah ada sosok Riani sebagai sahabat, tapi bisa jadi ujung-ujungnya dimodusin buat jadi lebih dari sekedar sahabat ha-ha-ha. Ah tidak ada cewek pun tak apa-apa, saya sudah nyaman dengan mereka, saya yang sering punya masalah cinta (kelepasan), tidak sungkan-sungkan buat cerita ke mereka. Sahabat-sahabat saya itu bisa dibilang pelarian dari semua masalah hidup, “tempat sampah” untuk curhat-curhat saya, walau pertama kalinya agak aneh curhat kok ke cowok. Saya bisa cerita apa saja ke mereka, walau terkadang responnya tidak serius, malah diledekin, tapi saya senang karena setidaknya ada yang mau dengar dan itulah cara mereka untuk bilang “peduli”. Saking pedulinya, urusan berantem sama sahabat sudah menjadi bumbu yang menambah gurih persahabatan kita, untungnya belum sampai yang namanya pukul-pukulan. Menonton “5 cm” benar-benar membuat saya kangen dengan mereka, kangen bisa lebih sering ngumpul kaya dulu.

Ah! akhirnya Rizal Mantovani membuat film yang tak perlu saya review dengan kondisi kepala cenat-cenut, sebaliknya sekarang saya bisa menulis review sambil cengar-cengir sendirian, sambil juga membayangkan senyum Raline Shah (eh). Untuk sekarang, saya akan melupakan pernah menonton, “Taring”, “Air Terjun Pengantin” dan “Jenglot Pantai Selatan” yang menggelikan itu. Mari kita pisahkan “5 cm” dari jejak rekam film-film Rizal yang belakangan memang lebih terlihat betah di koridor film horor-seksi (apapun sebutannya), saya sedang tidak ingin membanding-bandingkan film yang jelas dibuat “seenaknya” dengan “5 cm” yang saya lihat memang dibuat “enak”, salah-satu film Rizal yang dibuat benar serta ditambahkan hati kedalamnya. Merasa tak pantas saja jika “5 cm” kemudian kok pembandingnya film gituan, walau tidak saya pungkiri jika film yang diadaptasi dari novel laris berjudul sama karya Donny Dhirgantoro ini, tidak lepas dari yang namanya nilai minus. Seperti nasionalisme instant yang tiba-tiba saja muncul di bagian akhir film, agak terganggu melihat Genta, Arial, Zafran, Riani dan Ian yang dari awal dibentuk asyik oleh cerita untuk tak jadi sok nasionalis, jadi seperti anak sekolah yang “dipaksa” membacakan teks proklamasi pada saat upacara bendera. Sah-sah saja sih memasukkan unsur cinta tanah air, apalagi yah setelah Genta dan kawan-kawan menjadi saksi indahnya negeri yang mereka injak sejak lahir dari puncak Mahameru. “5 cm” punya niat bagus untuk mengajak penonton lebih cinta pada Indonesia, tapi caranya terlalu “tiba-tiba”, apakah iya penonton akan jadi lebih nasionalis setelah melihat adegan singkat-maksa itu, well saya secara pribadi tak perlu film ini untuk punya alasan kenapa cinta negeri ini. Tapi yang jelas lewat “5 cm”, saya kembali ingat kenapa saya cinta film Indonesia.

Ketika nasionalisme singkat itu didorong ke depan, kisah persahabatan yang dari awal jadi sorotan pun seperti kena dorong ke jurang, hilang. Setelah itu “5 cm” pun tampak kebingungan menentukan ending yang tepat, hasilnya justru malah anti-klimaks. Dengan kekurangan yang tersebar disana-sini, saya lalu tidak serta-merta membenci “5 cm”, seperti yang saya mention di paragraf sebelumnya film ini adalah reminder—mengingatkan saya kenapa cinta dengan film Indonesia, apalagi ketika Rizal sanggup menghadirkan sebuah keindahan dalam filmnya, ya lewat keagungan ciptaan Tuhan yang berhasil dibingkai cantik oleh “5 cm”, tentu saja berkat kelihaian seorang Yudi Datau (Arisan! 2) dibalik kameranya. Tidak salah ketika saya menyebut Rizal sudah mengajak saya melihat “surganya” film Indonesia. Lanskap gunung Semeru benar-benar dieksploitasi untuk satu tujuan, yaitu memanjakan mata penonton, setiap langkah menuju puncak Mahameru  dari saat melewati hamparan padang ilalang yang luas, hingga menjejakkan kaki lebih tinggi dari samudera awan, benar-benar dibuat mengesankan. “5 cm” jelas unggul dalam segi teknis, terutama sinematografi, ketika tiba saatnya untuk film ini memamerkan apa yang menjadi keunggulannya, dipastikan “5 cm” tak pernah menyia-nyiakan setiap menitnya, selamat menikmati keindahan “5 cm”.

“5 cm” punya banyak waktu untuk memperkenalkan Genta, Arial, Zafran, Riani dan Ian, untuk urusan perkenalan itu, saya bisa bilang film ini melakukannya dengan lancar dan tidak terbata-bata, tidak seperti Arial yang gugup berkeringat dingin saat ingin kenalan sama cewek, secara tidak langsung juga meledek saya. Ah tapi melihat Genta dan kawan-kawan saya memang seperti sedang berada di depan kaca, karakteristik saya sendiri yang sekarang dibelah menjadi lima orang yang berbeda, Genta yang kreatif, Arial yang pemalu, Zafran yang puitis, Ian yang tukang main dan doyan mie instant (bokepnya?) dan Riani yang selalu rapih saat memendam rasa, ha-ha-ha serius. Rizal bisa mengemas paruh pertama ini untuk jadi asyik, karakter-karakternya pun dapat ditampilkan tidak kaku, dan satu poin pentingnya, chemistry pun bisa dibangun dengan baik. “5 cm” pun mampu untuk menyempilkan beberapa humor menyegarkan yang tidak berlebihan, urusan itu diserahkan pada duet kocak Zafran dan Ian, dimainkan oleh Herjunot Ali dan Igor ‘Saykoji’, yang selalu sukses membuat penonton tertawa lepas. Terlepas dari tidak asyiknya sempilan “mendadak nasionalis”-nya, “5 cm” masih bisa menutupi kekurangannya dengan menyuguhkan kelebihan dalam mengeksplorasi gunung Semeru, keindahan film ini menaklukkan hati saya, sebuah perjalanan yang mengesankan.