Agak pesimis sih awalnya, melihat nama sutradara yang tercantum di poster “Rayya, Cahaya di Atas Cahaya”. Respon “cemberut” saya cukup beralasan, karena tidak bisa lupa dengan “kengerian” teror “Pocong Keliling” yang disutradarai Viva Westi pada 2010 silam. Terlebih, Mbak Westi adalah partner in crime Nayato, tapi memang tak sepenuhnya kesalahan Westi jika filmnya menjadi bapuk, penulis jagoan manapun jika ditandemkan dengan sutradara jenius yang satu itu, tak akan pernah berhasil, hasilnya tetap akan babak belur. Lupakan beberapa film yang pernah dituliskannya untuk Nayato, ah karena tak satupun judul yang saya ingat (pura-pura tidak ingat), tapi “Pocong Keliling” itu beda lagi, seperti jarum yang tertancap di otak saya dan tidak pernah bisa lepas. Namun terima kasih kepada “Rayya”, jarum tersebut lepas dengan sendirinya, sudah saatnya saya ikut move on. Layaknya karakter-karakter di film “Rayya” yang ingin “membunuh” masa lalu, film ini juga jadi pembuktian untuk Westi, jika ia punya niat untuk “mengubur” film pocongnya, semoga ya tebak-tebak buah manggis saya bukan hanya harapan kosong. Semoga setelah ini Westi memang tak lagi tergoda oleh rayuan pocong-pocong terkutuk itu, lanjut membuat film-film yang seperti “Rayya”, saya sudah terlanjur jatuh cinta dengan “Rayya”, jadi tolong jangan khianati harapan saya, Mbak Westi. Ini bukan ancaman, hahahaha.

“Rayya, Cahaya di Atas Cahaya” mengisahkan seorang selebritis tersohor negeri ini, bernama hmm… Rayya (Titi Sjuman), yang walaupun punya segalanya yang hanya jadi mimpi siang bolong bagi orang lain, dari ketenaran sampai uang melimpah, ya tapi hidupnya ternyata tak sesempurna yang tampak di layar kaca. Dibalik sukses karir Rayya yang gemilang, kehidupan percintaannya justru gagal, dia dicampakkan oleh kekasihnya yang sudah punya istri. Terluka, membuat Rayya jadi “lepas” untuk membuka topengnya, marah-marah kepada semua orang, mulutnya sekarang tidak semanis wajahnya yang sering menghiasi halaman depan majalah-majalah ternama. Padahal Rayya sedang berada di tengah proyek pembuatan buku biografinya, lewat sikap yang diperlihatkan Rayya, bukan tidak mungkin proyek tersebut akan kandas. Status artisnya membuat Rayya bisa seenaknya, bersembunyi dibalik kekalutannya, ia tak segan menyuruh fotografernya ini dan itu, lalu menyuruhnya pulang padahal sesi foto untuk buku belum selesai. Sampai akhirnya Rayya bertemu lawan tanding yang seimbang dalam wujud Arya (Tio Pakusadewo), fotografer oldskul pengganti Kemal, yang sebelumnya dipecat itu. Berdua, sang model labil yang sedang terluka dan fotografernya yang bijak, melakukan perjalanan. Sambil mengisi kamera dengan gambar-gambar indah Rayya, karena memang tugas, Arya menemukan “potretnya” sendiri dalam perjalanan dengan sang artis. Begitu juga Rayya, perjalanan ini jadi pembuktian apakah Rayya berani berpose di depan takdir tanpa air mata lagi.

Tak banyak pikir begitu credit title muncul, “Rayya” adalah salah-satu film Indonesia terbaik yang saya tonton tahun ini, sebuah film yang tak hanya memotret lanskap-lanskap dan kota-kota di Indonesia dengan begitu indah, tapi memajang keindahan ciptaan Tuhan bernama “hati”, diterjemahkan dalam bentuk cerita. “Rayya” memang tampak seperti curahan hati seorang Viva Westi, jika film sudah dibuat dengan hati, tak perlu dipaksa, saya biasanya akan “memeluk” sendiri film tersebut dengan erat. Mengusung jenis film yang jarang dijamah sineas lokal, “Rayya” memadukan sebuah road movie dengan kisah cinta-cintaan lewat pendekatan yang lebih puitis. Iya saya tekankan ini memang film dengan banyak dialog puitis, tapi jangan dulu dibanding-bandingkan dengan “Love Story”-nya Hanny R. Saputra yang tidak ketulungan lebay itu dan jangan langsung keburu “yah film sok puitis…” lalu malas menonton. Ditulis oleh Viva Westi sendiri dan Emha Ainun Najib, dialog-dialog puitis itu justru saling mengisi, membaur dengan cerita dan tidak terdengar kaku di telinga. Westi pun tak egois untuk melulu menyodorkan dialog-dialog puitisnya, ada kalanya dicampurkan dengan dialog-dialog biasa, dia tahu kapan waktu yang pas untuk membacakan bait-bait puisinya, jadi ketika karakter-karakternya mulai mengeluarkan kata-kata indah dari mulutnya, saya pun merasa nyaman, tidak ada ingin nyeletuk “lebay amat”.

Perjalanan “Rayya” memang tak selalu mulus, sama seperti perkenalan awal Rayya dengan Arya, ada jeda antara “film apaan sih nih?” sampai akhirnya saya bisa konek sepenuhnya dengan “Rayya”, ditandai dengan “bangsat juga nih film”. Dengan dialog sok indah-nya dan karakter Rayya yang nyebelin memang perlu waktu untuk saya mengenal film ini, tapi jeda itu tak lama. Karena dengan asyik, Westi mengajak saya untuk duduk di kursi belakang, berebut tempat dengan koper-koper milik Rayya, hanya untuk “ikut” dalam perjalanan yang tujuannya masih nga jelas. Tapi ikut saja tidak cukup, “Rayya” memberikan kita kesempatan untuk tak hanya jadi penonton, tapi juga memberikan saya kesempatan untuk jadi pendengar yang baik, karena dua orang ini memang butuh didengar. Mendengar Rayya meledak-ledak dibalas bijak oleh Arya dan sesekali tawa khasnya, mendengar segala curhatan kegalauan dan ketika keduanya saling jujur membuka masa lalu untuk ditertawai. Ya, tanpa sadar saya memang bukan lagi penonton, tapi juga teman seperjalanan yang ikut mereka dari awal sampai akhir perjalanan. “Rayya” membuka jalan untuk saya peduli pada apa yang terjadi pada dua karakter utamanya, didukung memang dengan kekuatan akting yang luar biasa dari Tio Pakusadewo dan Titi Sjuman, menghasilkan sebuah chemistry yang asyik dan apa adanya. Perjalanan “Rayya” tak sekedar “jalan-jalan” tapi juga petualangan batin, mencari cahaya untuk menerangi kata “ikhlas” dalam lembaran hati mereka masing-masing. “Rayya” bukan sekedar mengunjungi lokasi-lokasi pemotretan yang memanjakan mata, tapi juga mengajak saya bertemu banyak potret individu-individu menarik sepanjang perjalanan. Well, seperti kata Rayya, perjalanan ini adalah Universitas kehidupan, saya banyak belajar dari hanya duduk manis di kursi belakang mobil Range Rover-nya Arya. Terima kasih Viva Westi untuk jalan-jalan serunya, semoga ini bukan yang terakhir.