Seorang dewa guntur “dibuang” turun ke bumi setelah melakukan kesalahan yang fatal, tiba di sebuah kabin tak berpenghuni. Untuk bisa kembali ke dunianya, dewa tersebut harus bisa menolong lima mahasiswa bodoh dari kekuatan jahat yang ada di hutan, tanpa kekuatan dewa dan palu ajaib-nya… Oh tunggu dulu, tampaknya saya salah contekan sinopsis. Oke ini yang benar… Seorang pria yang dulunya (katanya) dewa guntur dan teman-temannya tiba di sebuah kabin di tengah hutan, niat liburan mereka agak terganggu oleh suara-suara bising misterius dekat dengan penginapan mereka. Setelah dilakukan pencarian mengikuti sumber suara, mereka menemukan sekumpulan orang-orang berbaju ala militer, lengkap dengan senjata dan kendaraan lapis baja. Ternyata mereka adalah pasukan Korea Utara yang sedang bersiap-siap untuk menginvasi Amerika… Sial! salah lagi. Maaf yang sekarang (baru) serius benar. Curt (Chris Hemsworth), Dana (Kristen Connolly), Jules (Anna Hutchison), Marty (Fran Kranz), dan Holden (Jesse Williams)—fyi, kelimanya adalah mahasiswa—akan pergi berlibur ke sebuah kabin terpencil in the middle of nowhere. Klise? tentu saja, dan seperti formula film horor klise sebelum-sebelumnya, kelima anak muda dari kota ini akan diberi waktu bersenang-senang dulu. Satu-persatu memperlihatkan siapa yang paling bodoh, sedangkan saya sedang asyik “bertaruh” siapa yang paling layak untuk mati duluan. Yup, sudah bisa ditebak liburan menyenangkan langsung berubah menjadi mimpi terburuk, ketika mereka kedatangan tamu tak diundang.

Siapa yang menyangka “The Cabin in the Woods” bisa sangat-sangat klise, mudah ditebak, dan membuat penonton sok tahu jadi seperti dewa ketika mereka berhasil menebak… yah untuk paruh pertama, kita (mungkin) akan merasa lebih pintar dari Drew Goddard dan Joss Whedon, “ah saya sudah sering menonton film-film horor model gini, udah ketebak deh ceritanya mau dibawa kemana, cupu!”—well itu yang ada dikepala bodoh saya ketika film baru mulai merangkak di menit ke-sepuluh. Ya wajar jika saya dan penonton yang sudah overdosis film-film horor akan senyum-senyum sendiri, mungkin akan membuat penonton di sebelah agak geser menjauh atau bahkan ganti kursi, disangka orang gila. Karena “The Cabin in the Woods” jelas seperti mengajak saya bernostalgia kembali ke nuansa horor-horor 80-an, pertama kali menginjakkan kaki di kabin, saya berharap tiba-tiba nongol Bruce Campbell dan para Deadites, tapi ini bukan “The Evil Dead”-kan. Tunggu sampai semua berbalik, menjungkir-balikkan ke-sok-tahuan saya, sambil menampar seratus kali ekspektasi yang menganggap “The Cabin in the Woods” hanyalah film horor biasa dengan yah formula basi berbau busuk-penuh lalat-berlumut-dihiasi oleh ulat-ulat menjijikkan. Siapa yang menyangka pada akhirnya justru Drew Goddard dan Joss Whedon yang paling tersenyum lebar, karena sudah berhasil menulis kata bodoh dan pecundang di masing-masing jidat penonton, “mampus lo!”—kata Goddard dan Whedon.

Serasa menonton film-film dari klan sushi typhoon—Nishimura dan gengnya, tingkat menyenangkan yang tak bisa diuangkap oleh bahasa manusia, ya “The Cabin in the Woods” adalah film sangat tidak serius yang dibuat dengan serius. Lalu, di-goblok-goblokin oleh Goddard dan Whedon, kenapa harus manyun, saya malahan dari awal sudah ikhlas menerima apapun (yup apapun) yang akan disodorkan oleh film yang disutradarai oleh Goddard sendiri ini. Tidak pernah menyangka apa yang kemudian tersaji selama 95 menit durasinya justru melebihi apa yang dibayangkan, bisa saya katakan sebuah kenikmatan yang lebih nikmat dari sekedar “mimpi basah” di siang bolong, atau mimpi dikelilingi oleh personil JKT48. Kenapa lebih baik? ya karena itu semua hanya mimpi, sedangkan “The Cabin in the Woods” menawarkan pengalaman menonton yang nyata, bagaikan sebuah “mimpi basah” para penggemar horor yang menjadi kenyataan. Menakutkan, menggelikan, mengagetkan, dan mengacak-ngacak isi kepala, melumerkan otak seperti es krim yang terkena panas, dan saya tak ada habisnya bersorak-sorai gembira, layaknya baru lulus dari ujian tersusah. Memang tak ada kata yang tepat untuk menggambarkan “The Cabin in the Woods”, selain ya sebuah perayaan bagi film-film horor yang selama ini menemani saya, kita dan para pecandu horor, sebuah tribut unyu dari Goddard dan Whedon untuk horor.

I don’t give a sh*t!—sudah sepantasnya kalian yang membaca review ini tidak perlu peduli jika saya, sekalipun menyebut “The Cabin in the Woods” film bagus ataupun jika ada seseorang yang bilang, film yang diproduksi tahun 2009 dan baru rilis tiga tahun kemudian ini adalah film horor sampah. Stop, sampai disini! tidak perlu baca review ini sampai selesai, tenang tidak ada spoiler bangsat tapi memang tidak ada lagi yang menarik untuk dibaca, tidak perlu peduli saya bilang ini adalah film yang wajib nonton, karena toh seperti apapun saya menggambarkan kejeniusan isi kepala Goddard dan Whedon dalam menghadirkan kisah mengasyikkan dalam “The Cabin in the Woods”, percuma karena kalian memang harus menontonnya sendiri untuk merasakan apa yang saya rasakan. “The Cabin in the Woods” bukan sekedar sebuah film horor, tapi sebuah reminder pada diri saya sendiri kenapa saya begitu menggilai genre yang satu ini, kenapa saya menyukai untuk ditakut-takuti, kenapa saya cinta ketika melihat cewek berteriak-teriak berlumuran darah, karena horor itu asyik, ya dan “The Cabin in the Woods” sudah mempresentasikan asyiknya sebuah film horor tersebut dengan gila—mindblowing, superfu**k! Ini adalah film yang terserah apa mau lo deh Goddard dan Whedon, karena saya tak peduli, silahkan tarik saya, seret saya ke dunia kalian dan saya sudah siap untuk “disiksa”. Film yang memang pantas untuk disumpah-serapahi, film yang wajib diacungi jari tengah, film horor yang yah tanpa sadar membuat saya bisa kembali merasakan kegembiraan, berteriak, lompat-lompat, layaknya anak kecil yang sedang menonton Finding Nemo. “The Cabin in the Woods” adalah horor-pedia! kumpulan “mimpi basah” para penggemar horor yang disatukan oleh Goddard dan Whedon menjadi sebuah atraksi terhebat tahun ini.