Jika mau melihat ke belakang, dari jaman keemasan film slasher di tahun 80-an, lalu melompat ke era modern, apa yang kemudian disodorkan oleh film slasher asal Spanyol, “Paranormal Xperience” ini jelas merupakan sebuah “pengulangan”, sajian slasher yang basi, lengkap dengan cerita klise dan juga karakter-karakter-nya yang bodoh. Tapi sebetulnya saya tidak peduli, cerita apalagi jika nantinya ada twist bagi saya hanya bonus “piring cantik”. Karakter bodoh di film slasher pun memang sudah jadi tradisi dan sepantasnya harus ada, yah sekedar untuk jadi korban pertama, atau bahan lelucon, ujung-ujungnya dimatikan juga. Bagi saya, sebuah film slasher sudah pasti harus sadis, banyak darah dan sanggup menempatkan penonton juga sebagai korban, percuma jika sudah buang-buang bergalon-galon darah tapi ketegangan dan setiap irisan benda tajam tidak mampu “membanjiri” penonton dengan ketakutan. Nah inilah yang tidak terjadi dengan “Paranormal Xperience”, sudah klise, hidangan sadis-sadisannya juga melempem, terlalu fokus untuk mengarahkan penonton ke twistnya yang ternyata juga gampang ditebak. Jadi apa yang menarik?

Lima orang—mewakili karakter-karakter yang selalu ada dalam film slasher, yah termasuk “the bitch”—datang ke sebuah kota tambang yang sudah tak berpenghuni, kelima mahasiswa ini berniat mengungkap misteri Dr. Matarga, yang terkenal suka menyiksa orang-orang, bahkan hingga kini ketika dia dikabarkan sudah mati. Awal-nya tak ada yang percaya jika hantu si dokter sadis itu ada, hingga pada akhirnya dia menampakkan dirinya, tapi sudah terlambat bagi Angela dan kawan-kawan untuk melarikan diri, karena mereka sudah masuk “daftar tunggu” untuk mati. Saya tidak berekspektasi apa-apa, bahkan saat melihat cuplikan adegan-adegan di trailer-nya, “Paranormal Xperience” memang tidak menjanjikan sesuatu yang baru. Dari awal, saya sudah bersiap jika ceritanya memang akan dikemas bodoh dan lagi-lagi klise, yah satu-satunya keasyikan yang membuat saya bertahan di dalam bioskop adalah menunggu seperti apa kelima orang mahasiswa ini mati.

“Paranormal Xperience” memang tidak membuat saya untuk menunggu terlalu lama hingga Dr. Matarga memilih korban pertamanya, setelah menyiapkan sederet alasan klise kenapa kelima mahasiswa ini harus tetap berada di tempat yang “salah”, lalu beberapa menit membosankan melihat mereka mengajak kita tur, memperlihatkan jika kota berhantu ini memang tepat untuk sarang orang gila. Sayangnya penantian saya dikhianati, karena “Paranormal Xperience” tidak benar-benar sesadis apa yang saya bayangkan sebelumnya, jika melihat setting lokasi kota mati yang meyakinkan dan salah-satu kamar si dokter yang menyeramkan, sukses membuat saya lumayan merinding dan tak sabar untuk melihat darah menghiasi dinding-dindingnya yang membusuk. Justru, Adegan-adegan yang ditunggu, punya misi suci untuk membuat saya merinding ketakutan sambil bergairah melihat darah tidak satupun kelihatan niat untuk setidaknya membuat mata saya terbuka lebar-lebar. Dengan tampang si Dr. Matarga yang sangar dan sudah psikopat banget, aksi-aksi menyiksanya boleh dibilang tak menghadirkan sesuatu yang baru, tak ada keasyikan, adrenalin dipaksa terlelap ketika melihat satu-persatu korban Dr. Matarga mengerang kesakitan.

Padahal saya sudah pasrah, rela melihat kelima orang ini mati, apalagi si bitch, yang ditempatkan tak hanya jadi bahan lelucon, tapi berpotensi untuk jadi kandidat first blood dari si dokter. Tak hanya karena kelima karakter ini layak untuk jadi korban, lewat kebodohan-kebodohannya, tapi “Paranormal Xperience” memang sedari awal tidak memberikan seutas tali, yang membuat kita terikat dengan mereka, ya bahkan kepada calon heroine yang kita semua tahu siapa. Jadi wajar saja, jika kemudian saya hanya ingin mereka melihat mati semua, ada perasaan lega ketika itu terjadi tapi itu karena saya ingin cepat-cepat keluar dari bioskop. Ketika cerita tidak menjanjikan permainan yang asyik, membangun konflik ala kadarnya, serta kemudian sok ingin menghadirkan sebuah twist yang pintar, “Paranormal Xperience” benar-benar jadi film slasher yang membosankan. Saya bisa melupakan itu jika film yang disutradarai oleh Sergi Vizcaino ini sanggup membuat saya menari-nari melihat suguhan horor-nya yang berdarah-darah, namun Vizcaino tak berhasil “merasuki” saya untuk bisa ikut ketakutan, menjerit, dan bersenang-senang bersama filmnya. Yah, “Paranormal Xperience” tak saja menjadi film yang mudah dilupakan, tapi film yang seharusnya saya lewati dan hindari untuk ditonton. Saya sudah terlanjur nonton, nah sekarang yang baca ini sudah diselamatkan dari teror Dr. Matarga yang basi.