“Jangan sok pintar, tak perlu repot mencari-cari kesalahan dalam film, tak perlu pusing dulu mencoba menjawab semua pertanyaan, nikmati saja permainan yang akan disodorkan oleh Joko Anwar”. Formula sederhana itulah yang saya terapkan ketika menonton “Modus Anomali”, walaupun keinginan untuk menebak-nebak siapa orang yang berada di balik semuanya, memang secara naluri muncul begitu saja ketika film bergulir dari menit ke menitnya. Namun saya mencoba untuk memasrahkan diri saya untuk “dibodohi” Joko, membiarkan “apa maunya” si sutradara yang tiga tahun lalu membuat “Pintu Terlarang” itu. Semaksimal mungkin saya mem-block setiap interupsi dari otak yang terus berteriak “siapa?”, “kenapa?”, dan pertanyaan-pertanyaan tolol lainnya, agar nantinya saya bisa leluasa membiarkan Joko menjawab semua pertanyaan yang sudah menumpuk di kepala, tentu saja pada akhirnya saya bisa menikmati “Modus Anomali” tanpa perlu menyuntikkan obat penenang karena terlalu stress memikirkan ini-itu.

Ah tapi tak perlu ketakutan lebih dahulu karena berpikir nantinya tidak akan ngerti sama filmnya, lagipula ini bukan ujian nasional. Tapi seperti juga ujian sekolah dulu, sebaiknya “belajar” seperti apa film Joko Anwar itu memang perlu, setidaknya jadi tidak kaget ketika menonton “Modus Anomali”, tidak belajar pun sebetulnya film ini masih asyik untuk ditonton. Apa yang “mengerikan” di film ini justru datang dari “bagaimana” Joko menyajikan sebuah thriller yang tak hanya seenaknya mengorek-ngorek otak penonton sampai berantakan, tapi berbeda dengan “Pintu Terlarang”, kali ini Joko dengan “baik hati” menuntun penonton yang otaknya sudah kusut (seperti saya) untuk mengerti filmnya, membantu penonton untuk mengumpulkan sisa-sisa otaknya yang berceceran tumpah ke bangku penonton di sebelahnya. Singkat kata, ini adalah film thriller sederhana dari Joko, mudah dicerna tapi tetap dibungkus berkelas dan Joko sekali lagi bisa “mendongengkan’ ceritanya untuk nyaman dilihat dan kali ini juga dimengerti.

Jika dibandingkan dengan “Pintu Terlarang”, film ke-4 Joko Anwar ini memang tidak se-mindblowing apa yang saya bayangkan. Menunggu selama tiga tahun untuk film terbaru-nya Joko, ya wajar jika saya mengumpulkan ekspektasi menggunung untuk film ini. Tapi tak memenuhi ekspektasi tersebut tidak serta merta membuat saya ngambek terus keluar dari bioskop cepat-cepat. Sebaliknya, “Modus Anomali” sejak dari menit pertama sudah sukses merantai saya ke bangku penonton, dalam hati saya sudah pasrah “disiksa” oleh film ini. Tapi santai, “Modus Anomali” tidak akan buru-buru menjejali kita dengan adegan-adegan menyiksa mental atau menantang nalar. Joko perlahan terlebih dahulu ingin menyeret penonton untuk ikut masuk ke dalam “permainan”-nya, ber-setting di hutan, bersama dengan seorang bernama John Evans (Rio Dewanto). Siapa John Evans? Apakah ada hubungan keluarga dengan sutradara “The Raid”? kita semua tidak tahu, kita semua dibuat jadi bodoh (pada awalnya), sama seperti John yang tiba-tiba muncul dari gundukan tanah, menemukan dirinya dikubur hidup-hidup dan hilang ingatan. Nama John Evans pun baru diketahui setelah dia baru ingat kalau dia punya dompet, dengan identitas didalamnya.

Saya tidak akan banyak-banyak bercerita, bukannya pelit tapi tidak mau lebih dulu meng-ekspos kejutannya (bilang saja malas nulis), walaupun sebenarnya gatel juga kalau tidak spoiler di review ini. Selama paruh awal setelah kita dijejali oleh keindahan hutan yang menjadi lokasi syuting film ini, lengkap dengan aneka serangga yang dipotret indah, kemudian diperkenalkan dengan protagonis yang amnesia, Joko kemudian menginginkan penonton untuk “lebih dekat” dengan si John Evans, didukung oleh pergerakan kamera yang sangat “intim”, digawangi oleh Gunnar Nimpuno dengan sinematografi-nya yang apik, melekatkan kita tak hanya dengan protagonis tetapi juga dengan hutan sebagai arena bermain di film ini. Joko membiarkan pengetahuan penonton untuk berkembang bersama si pria amnesia, jika dia tidak tahu apa-apa, kita pun ikutan bego bersamanya. Jelasnya, kita seperti orang yang menguntit di belakang protagonis, lengkap dengan kaca-mata kuda yang menutup akses kita untuk melihat sekeliling, karena ruang yang diberikan kamera memang sesempit ingatan yang dimiliki John. Yah, Joko tahu betul bagaimana mengajak penontonnya bermain-main, dan “Modus Anomali” adalah permainan yang mengasyikkan dari awal sampai selesai.

Durasi film yang hanya 86 menit, benar-benar diatur dengan baik oleh Joko, tak hanya menyodorkan aksi lari-larian sang protagonis kesana-kemari, selagi lelah berlari, penonton juga diperlihatkan perkembangan karakter yang walaupun tak disadari secara jelas tapi ada pada diri John Evans, dari hanya seorang pria yang malang tidak ingat apa-apa berubah menjadi seorang suami dan ayah yang ingin balas dendam, dari pria yang tadinya hanya bisa bersembunyi, sekarang berubah menantang “sang musuh” untuk keluar, lengkap dengan sederet sumpah serapah dalam bahasa Inggris. Apakah saya spoiler? semoga tidak banyak hahahaha. Oh ya “Modus Anomali” memang berbahasa Inggris, apapun alasannya, penggunaan bahasa selain bahasa Indonesia ini sama sekali tidak mengganggu asyiknya saya menonton, toh pada akhirnya memang jadi pas dengan dunia antah-berantah (bukan Indonesia) yang menjadi setting “Modus Anomali”. Apalagi yang pas di film ini? atau bisa dibilang sangat pas, tentu saja dukungan musik pengiring atau score yang memandu mood kita untuk naik turun dengan nyaman. Menempatkan musik yang tepat disaat Joko sedang asyik-asyiknya mengajak penonton untuk tegang berjamaah. Efek-efek suara yang menemani saat-saat kebersamaan kita dengan John di hutan pun dibuat sedemikian apik, yup seketika saya sepertinya sedang berada di hutan beneran, bravo untuk departemen musik dan suara.

Terima kasih untuk Joko Anwar, karena saya tidak perlu repot banyak berpikir, seperti sewaktu menonton “Pintu Terlarang”, ketika saya sudah buntu, Joko ada disana untuk menuntun saya menyusun teka-teki, well sekilas “Modus Anomali” jadi seperti sebuah film thriller for dummies. Tapi tentunya film yang diproduseri lagi oleh Sheila Timothy ini tidak begitu saja dicap sebagai film “mudah”, walau Joko sudah dengan baik hati memberi “kunci jawaban”, tetap saja film ini tidak berhenti menantang saya untuk kembali berpikir, pertanyaan “kenapa?” itu tetap saja ada. Tidak perlu bilang lagi kalau “Modus Anomali” juga punya banyak cara untuk mengejutkan saya, porsi dag-dig-dug itu dimainkan dengan baik, bersama permainan akting matang dari seorang Rio Dewanto. Di hutan, dikelilingi banyak pertanyaan dan ketidakpastian, satu-satunya yang saya harapkan hanya Rio, dan dia sukses menuntun saya untuk tidak tertidur dan tertinggal di hutan sendirian. “Modus Anomali” memainkan permainannya dengan “sinting”, walau tidak se- wah “Pintu Terlarang” atau “Kala”, Joko sekali lagi memberikan sebuah totalitas, kemampuan terbaiknya untuk “memuaskan” saya yang haus akan thriller lokal yang sakit. “Modus Anomali” tentu saja tepat jika dibilang “sakit”.