Saya tak pernah bosan dengan yang namanya found footage—seperti saya juga tidak pernah bosan dengan zombie—walau kebanyakan orang yang menonton “The Devil Inside” akan mencibir “Paranormal Activity banget…”, yah kedua film horor tersebut memang dikemas serupa, tapi bukan berarti sama isi, dan found footage atau disebut juga dengan mockumentary bukan milik franchise “Paranormal Activity” (PA). Jauh sebelum PA, sudah banyak film yang disuntik dengan formula “dokumenter palsu”, seperti juga “Blair Witch Project”, PA bisa dibilang generasi berikut film sejenis yang sukses membangkitkan genre ini, bisa dibilang meng-komersilkan mokumenter, jadi wajar jika orang-orang lebih mengenal PA ketimbang film mokumenter lain seperti “Lake Mungo” atau “Noroi”, film mokumenter dari negeri sakura. “The Devil Inside” pun awalnya diniatkan untuk menjadi “…the next Paranormal Activity” sama-sama berbujet mikro, dibawah bendera anak perusahaan Paramount Pictures, bernama Insurge Pictures, yang fokusnya mencari/mendanai bibit-bibit potensial, film-film ber-bujet kecil yang menjanjikan keuntungan berlipat-lipat. “The Devil Inside” yah walau mengantongi banyak review negatif dari kritikus tapi bisa dikatakan sukses dengan mengandakan bujet $1 juta-nya menjadi hampir $100 juta. Jadi kalau ingin mengandakan uang, jangan percaya dukun, bikin film lebih “waras”.

Berusaha “tutup mata” dan juga “tutup telinga” dari respon negatif dan rating ancur lebur di berbagai media mengenai “The Devil Inside”, hasilnya adalah film besutan William Brent Bell (Stay Alive, 2006), di mata saya tidak seburuk penilaian mereka, saya justru bisa menikmati perjalanan mistis film ini, well ending-nya yang katanya jadi “ending terburuk sepanjang masa” juga tidak terlalu mengganggu saya, karena saya pikir ending itu, mau itu diselipkan twist/tidak hanyalah sebuah bonus, paling penting adalah bagaimana sebuah film bisa mengajak penontonnya betah duduk di kursinya dan menikmati perjalanan dari A ke B. Ending-nya jelek bukan berarti jadi akhir dunia dan saya gerutu selama dua minggu ke depan. “The Devil Inside” saya akui tidak menawarkan sesuatu yang baru dalam dunia pengusiran setan, lagi-lagi korban kerasukan yang kebanyakan wanita tiba-tiba punya kekuatan “lebih”, atau bisa melipat-lipat tubuhnya seperti orang tak bertulang. Gambaran-gambaran orang kerasukan di “The Devil Inside” memang tak ada yang tak pernah saya lihat di film sejenis yang bertema exorcist, tapi bukan berarti film berdurasi 80 menitan ini tidak punya greget, salah juga jika bilang tidak ada “kejutan manis” di film ini, William saya akui mampu mengajak penonton untuk kepo berjamaah dan di saat penonton sedang lengah, William juga cermat menyelipkan kejutan-kejutan manisnya.

“The Devil Inside” berfokus pada misteri seorang wanita bernama Maria Rossi, yang pada 30 Oktober 1989 melakukan pembunuhan terhadap tiga orang anggota gereja. Media heboh! dan menyimpulkan pembunuhan itu terjadi ketika ritual pengusiran setan sedang berlangsung, terhadap Maria. Karena dinyatakan tidak waras, Maria tidak dijebloskan ke penjara melainkan ke rumah sakit jiwa, anehnya tidak di rumah sakit setempat tapi jauh ke Itali. 20 tahun kemudian, anak perempuan satu-satunya, Isabella (Fernanda Andrade) berniat untuk mencari tahu kebenaran apakah benar ibunya kerasukan atau murni tidak waras. Bersama dengan seorang sutradara film dokumenter, Isabella pergi ke Roma, Itali, mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan sang Ibu sekaligus membuat dokumenter tentang exorcisms. Dibantu oleh dua orang pendeta, Ben (Simon Quarterman) dan David (Evan Helmuth), Isabella tidak saja masuk ke dalam dunia yang selama ini tidak diketahuinya, ritual tentang pengusiran setan tidak seperti apa yang ada di buku dan film, jauh lebih mengerikan dan seperti kata tagline di film ini, “No soul is safe”. Bersiaplah!!

Saya bukannya mau nakut-nakutin, tapi “The Devil Inside” memang punya momen-momen dimana saya sendiri sukses memegang kursi saya erat-erat, menyedihkan memang ketika seharusnya ada seseorang cantik di sebelah yang bisa saya pegang tangannya erat-erat ketika saya ketakutan (Oh, Tuhan kenapa jadi curhat). Kemasan “dokumenter palsu” yang membungkus keseluruhan film juga tidak memalukan, toh walau banyak ngobrol-nya tapi saya bisa menikmati setiap fakta yang keluar dari mulut para nara sumber, Isabella dan kawan-kawan. Level realistiknya juga sanggup menumpuk rasa penasaran, seperti apa yang pernah dilakukan “Lake Mungo”, tidak saja bercerita lewat kamera si tokoh utama, tapi juga mengandalkan cerita menarik dari berita-berita televisi jadul yang dipoles ala 80-an, lengkap dengan wawancara mengenai ritual pengusiran setan dari para praktisi. Serasa menonton dokumenter beneran. “The Devil Inside” tidak pasif, tapi justru aktif menantang saya untuk sama-sama mencari kebenaran tentang Maria Rossi, sekaligus menantang mental ketika film ini menyodorkan aksi pengusiran setan di depan mata. Ngilu! mengerikan dan Suzan Crowley yang memerankan Maria Rossi juara betul, saya tidak rela duduk semobil dengannya. Sayangnya semua sisi menarik “The Devil Inside” dihancurkan ketika William lebih memilih untuk menutup filmnya tanpa klimaks yang utuh, tapi sekali lagi “The Devil Inside” adalah petualangan yang mengerikan, masih banyak pertanyaan yang sepertinya akan terjawab di sekuelnya, (jika ada).