Seri “Underworld” yang dimulai pada tahun 2003 memang tak melulu disambut hangat oleh para kritikus, siapa peduli jika pada akhirnya ketiga filmnya sukses mengumpulkan pundi-pundi dolar sampai 200 juta lebih. Bukanlah Hollywood namanya, jika berhenti ketika sebuah seri yang sebenarnya sudah membosankan tersebut dilihat masih menjanjikan keuntungan, maka formula ampuh Hollywood pun disuntikkan juga ke seri “Underworld” ini, dilanjutkan ke film ke-empat, yup pilihannya hanya ada dua toh: sekuel/prekuel atau di-reboot. Saya sendiri bukan penggemar franchise yang satu ini, satu-satunya yang membuat saya melirik film ini dan sekuel-sekuelnya hanyalah vampire-nya yang keren, manusia serigalanya yang ganas, dan satu lagi pengisi soundtrack yang biasanya terdiri dari kumpulan band cadas, oh satu lagi: Kate Beckinsale sebagai jagoan bernama Selene.

Sempat absen di film ketiga, Kate kembali lagi di “Underworld: Awakening” yang kali ini menceritakan perang manusia melawan para vampir dan lycans (manusia serigala), hasilnya adalah 95 persen bangsa vampir musnah sedangkan manusia serigala dinyatakan sudah punah. Selene sendiri tertangkap dan dijadikan bahan eksperimen sebuah institusi pemerintah, bernama Antigen, yang misi utamanya membuat obat untuk melawan virus yang “mencetak” manusia menjadi vampir dan lycans. Selene berhasil kabur dari fasilitas Antigen, dibantu seseorang yang disebut sebagai “subject 2”, yang belakangan diketahui bernama Eve, ternyata juga adalah anak Selene dan Michael. Eve yang juga melarikan diri dari Antigen begitu diburu oleh mereka, Selene pun harus susah payah melindungi dia, tidak hanya dari Antigen tetapi dari manusia serigala yang ternyata tidak punah tapi bersembunyi di got-got bau, celakanya musuh bebuyutan para vampir ini justru semakin kuat. Perang antara vampir dan manusia serigala pun berlanjut.

“Underworld: Awakening” bisa dibilang hanya pengulangan apa yang pernah seri ini sodorkan di film-film sebelumnya. Bedanya kali ini Måns Mårlind dan Björn Stein sepertinya terpengaruh gaya bercerita Paul W.S. Anderson dalam “Resident Evil”, terlebih seri-seri terakhirnya yang makin tidak berkesan itu, yang muncul hanya untuk memuaskan mata dengan tampilan slow-motion dan 3-D. Formula hiburan tak permanen tersebut pun menginfeksi “Underworld: Awakening” yang sekarang juga dikemas dengan balutan tiga dimensi, sayangnya ketika memakai kacamata 3-D—sampai sekarang saya selalu terganggu dengan kacamata ini—saya tidak merasakan sensasi yang “wah”, bisa dikatakan adegan-adegan yang dipaksa untuk “keluar” dari layar bioskop itu tampak biasa saja di mata saya. Ya film terakhir “Resident Evil” yang berembel-embel “Afterlife” itu justru malah lebih baik, karena memang katanya di-shoot dengan kamera khusus 3-D.

Untungnya, walau dengan cerita yang begitu-begitu saja, cenderung bikin bosen, “Underworld: Awakening” masih dengan baik hati menyisakan sajian-sajian aksi yang menarik dan juga menghibur. Dibandingkan dengan film-film sebelumnya, dosis aksi di film yang ke-empat ini bisa dibilang mampu ditingkatkan oleh Måns Mårlind dan Björn Stein, menjadikannya film horor-aksi yang punya cukup nyali untuk mengajak penontonnya “bermain” di tengah ketegangan yang berkecamuk di antara sisa-sisa vampir dan para manusia serigala yang makin kuat dan besar. Aksi-aksi Selene pun didukung oleh efek-efek visual yang cukup mumpuni untuk menjaga saya tetap betah melihatnya berjibaku dengan ganasnya para manusia jejadian berbulu, dengan gigi-giginya yang tajam itu. Para lycans pun semakin percaya diri menunjukkan taringnya, ketika mereka dibalut makin “garang” oleh tempelan CGI yang cukup oke. Måns Mårlind dan Björn Stein pun bisa dibilang mampu menempatkan bagian-bagian aksi itu di tempat yang tepat, yah ketika filmnya semakin condong ke arah yang membosankan, kita langsung disajikan aksi tembak-tembakan, pukul-pukulan, dan rentetan aksi slow-motion.

“Underworld: Awakening” memang sanggup untuk menutupi kecacatannya dari segi cerita, dengan berbagai aksi-aksi yang punya level hiburan yang bervariasi juga. Untuk urusan akting, film ini tidak menampilkan hal yang menonjol, begitu pula dengan Kate Beckinsale, yang sepertinya memang tidak dipaksa berakting macam-macam, Selene hanya cukup memamerkan ke-charming-annya sebagai seorang vampir yang jagoan, aktingnya ditentukan dari bagaimana cara Selene menembak dan menghabisi manusia-manusia serigala. Menikmati “Underworld: Awakening” memang tidak perlu banyak ngomel tentang cerita atau akting, toh film ini dibuat untuk menghibur penonton dengan suapan aksi-aksi Selene dan kawan-kawan, lupakan cerita maka saya sendiri justru lebih enjoy, dan setelah keluar dari dalam bioskop, saya dengan cepat melupakan film ini. Well, melihat akhir “Underworld: Awakening” sepertinya seri ini belum akan berakhir, semoga saja masih ada Kate Beckinsale, karena dia satu-satunya yang bisa menjadikan Underworld ini terlihat lebih “hidup”, dengan tampangnya yang dinginnya itu.