“Haywire” bukanlah “Salt” atau “Colombiana”, dan ketimbang memakai aktris yang terkenal untuk berakting sok jagoan, Steven Soderbergh justru lebih memilih Gina Carano yang memang jagoan. Seperti cara uniknya memilih peran utama di film aksi pertamanya ini, Soderbergh juga punya cara unik, yang bisa dibilang sudah menjadi ciri khas di film-film sebelumnya, kali ini ia ingin coba presentasikan dalam sebuah kemasan film aksi. Saya tahu, ketika melihat font ramping bertuliskan “Upstate New York” di awal film, “Haywire” akan menjadi film yang Soderbergh-sekali dan saat itu yang ada di pikiran saya hanyalah membiarkan apa maunya Soderbergh dan tidak mau banyak ngoceh. Well, ternyata sebelum saya banyak omong film terlalu boring dan bla-bla-bla, Soderbergh diwakili oleh tangan dan kaki Gina—yang disini punya peran sebagai Mallory Kane—sudah lebih dahulu membungkam mulut saya dengan jotosan dan tendangan. Beruntung yang dihajar Gina bukan penonton yang berisik dibelakang saya tapi Aaron (Channing Tatum)—kesian Tatum—yang tiba-tiba tidak ada angin tidak ada hujan melempar kopi ke wajah Mallory. Dari sini, adegan yang awalnya hanya obrolan yang bikin penonton bertanya-tanya, berubah 180 derajat, ke adegan pertarungan tangan kosong. Bukan pertarungan biasa tapi seperti saya sedang menonton Ultimate Fighting Championship (UFC).

Tentu saja Tatum diceritakan kalah dari Gina yang memang jagoan UFC, Mallory pun “dibantu” oleh Scott (Michael Angarano), seorang yang berada di waktu dan tempat yang salah, melarikan diri dari restoran dimana keributan terjadi. Di mobil, Mallory menceritakan kepada Scott yang sedang kebingungan bahwa dirinya adalah seorang agen yang disewa pemerintah untuk operasi rahasia dan belakangan diketahui dia dikhinati oleh agensinya dan sedang diburu. Soderbergh memulai ceritanya dengan simple dengan sedikit jotosan yang terasa real ke wajah penontonnya, “Haywire” pun kemudian memang berkembang sederhana, namun terlihat berantakan karena Soderbergh menyajikannya tidak berurutan, kita akan diajak maju-mundur, belum lagi banyaknya karakter yang datang dan pergi memenuhi 90 menitan durasi film ini. Cara Soderbergh bercerita mungkin akan membuat penonton yang mengira ini akan jadi film action macam “Salt”, akan kabur, begitu juga dengan saya, yang jujur bukan penggemar berat film-film Soderbergh, mungkin beberapa filmnya saya suka, termasuk trilogi cowok-cowok ganteng yang gemar mencuri itu.

Berniat pulang, saya tunda karena sejak awal saya sudah terpikat oleh “keseksian” Gina, yup tunggulah sampai “Haywire” mengeluarkan jurus-jurus mautnya, terlebih pitingan yang mematikan itu. Soderbergh tahu bagaimana memanfaatkan skill Gina yang memang berasal dari “habitat” yang keras, “lakukan apapun maumu, Gina”, ya mungkin itu yang Soderbergh katakan, maka tanpa basa-basi Gina menghajar semua orang tanpa pandang bulu. Cowok lawan cewek, mungkin kita akan bilang tidak seimbang, tapi ketika sudah melihat apa yang dilakukan oleh Gina kepada cowok-cowok itu, dari bintang terkenal macam Tatum, Ewan McGregor, sampai Michael Fassbender, hingga sederet figuran dan stuntman, saya justru merasa kasihan pada mereka harus dijadikan lawan tanding Gina yang kekar itu.

Dibalik penyampaian “Haywire” yang tidak biasa, aksi-rasa-Soderbergh, ditambah lagi dialog-dialog yang tidak perlu yang seharusnya diganti acara bag-big-bug, film ini tetap saja akan saya sebut sebagai film yang seru dan menghibur dengan caranya sendiri. Ya saya memang tidak akan banyak melihat terlalu banyak adegan baku-hantam, atau aksi Gina tembak-tembakan, tapi “Haywire” sudah punya cukup dosis untuk membuat saya pusing-pusing serasa habis dipukuli oleh Gina. Tentu saja itu berkat kemasan apik Soderbergh dalam membalut setiap adegan laganya, walaupun tidak banyak, tapi setiap adegan dimana ada Gina sedang beradu jotos, pasti dibuat senyata mungkin oleh Soderbergh. Adegan-adegan brutal itupun tidak mesti dibuat-buat dengan sound effect yang berlebihan, semua serba minimalis tapi tentunya tak mengurangi efek jotosan, pitingan, tendangan yang dipamerkan Gina. Belum lagi dukungan sinematografi yang dengan sigap menangkap setiap adegan laga tersebut makin stylish, atau membuat adegan kejar-kejaran mobil di awal menjadi keren.

“Haywire” makin membuat betah ketika Soderbergh menambahkan citarasa “jadul” atau oldskul ke dalam setiap adegan laganya. Untuk semua usaha itu, Soderbergh patut diacungi jempol karena sudah menghadirkan sebuah film aksi yang berbeda, dengan jagoan yang lain daripada yang lain. Memang butuh sedikit kesabaran untuk menonton “Haywire”, dari mencerna setiap dialog yang keluar dari mulut bintang-bintang besar yang dikumpulkan Soderbergh di film ini, sampai menata-ulang scene agar berurutan dan jelas apa yang sebenarnya terjadi dengan Gina. Jika anda mau sabar, maka ada hadiah dari Soderbergh, film ini dalam mode pukul-pukulan, yup! Gina yang siap memamerkan keahliannya dalam “menaklukan” pria-pria yang sudah menyakitinya, dan semua dikemas dengan seru, nyata, dan stylish ala Soderbergh. Tidak jadi soal jika pada akhirnya Gina memang tidak pandai berakting, apalagi jika sudah diberi dialog-dialog agak panjang, tapi untuk urusan membuat nafas kita jadi panjang terus ngos-ngos-an Gina adalah orang yang tepat. Habisi mereka Gina!