Review Pulau Hantu 3

Kalau mau mencari film horor yang nakutin, “Pulau Hantu 3” adalah pilihan yang tepat, tunggu dulu bukan menakuti karena film ini seram, tapi ketika keluar dari bioskop saya langsung takut apakah otak saya masih berjalan dengan normal. Sehabis “Skandal” yang bisa dibilang tidak mengecewakan, kenapa Jose Poernomo kembali membuat film macam “Pulau Hantu 3” (PH3) atau saya harus menyebutnya dengan beha, toh film yang katanya horor ini hanya menjejalkan 80 menit durasinya dengan beha dan isinya, dalam berbagai ukuran dan variasi bentuk. Ok, ternyata kemasannya yang demikian “bergizi”, tentu saja karena asupan “susu”-nya, memang sudah menjadi trademark film ini dari yang pertama menyusul kemudian sekuelnya, jadi tampaknya saya akan sia-sia jika ngoceh kenapa film ini banyak sekali wanita-wanita seksi berbikini berkeliaran ketimbang setannya. Sayang, saya tidak menonton Pulau Hantu 1 & 2, jadi tidak bisa membandingkan ketiganya dalam soal kedangkalannya dalam menyajikan kisah horor di pulau.

Nero (Abdurrahman Arif), Kimo (Ricky Komo), Octa dan Gaby (Grace Veronica) baru saja menerima pekerjaan sebagai pegawai resor, di pulau Madara, pekerjaan yang “pas” untuk Nero dan Kimo, karena kebanyakan penghuninya wanita-wanita seksi. Tapi waktu untuk senang-senang tidak bertahan lama, ketika kejadian aneh mulai “bertamu” ke resor tempat dimana Nero dan kawan-kawannya bekerja. Pulau tersebut ternyata menyimpan rahasia yang mengerikan, bersiap menyambut tamunya dengan teror… benarkah? nga juga. “Pulau Hantu 3” sejak awal tidak pernah basa-basi, lihat saja di paruh awalnya film ini sudah menampilkan lebih banyak adegan yang menyorot ke dada-dada terbuka para pemain wanitanya, terlebih ketika Shinta Bachir muncul, ketimbang menyorot misterinya sendiri, toh memang tidak perlu. Perbanyak adegan wanita-wanita berbikini sedang main di pantai, berenang, atau sekedar berjemur, close-up dada mereka yang bergerak kesana-kemari, walaupun tidak ada kaitannya dengan cerita, tidak peduli! Titik.

“Pulau Hantu 3” punya seribu cara untuk membuat penonton lupa dengan cerita, saya pun termasuk orang yang lupa kalau film ini tidak punya cerita untuk dinikmati, untuk apa lagi saya peduli jika film ini tidak peduli dengan penontonnya. Biarlah saya menikmati aksi Shinta Bachir dan pasukannya, dengan “keterbukaan” mereka, kamera pun tidak ada puas-puasnya menggentayangi setiap jengkal tubuh mereka, tidak menyia-nyiakan setiap momen mesumnya, sampai adegan Shinta Bachir naik tangga dengan sudut kamera dari bawah beberapa kali disempilkan, tidak tahu apa hubungannya dengan cerita. Efek slow-motion tidak hanya dimiliki oleh Michael Bay dan Zack Snyder, itu dibuktikan oleh “Pulau Hantu 3” yang bisa memanfaatkan efek gerak lambat tersebut untuk menopang segala bentuk aksi mesumnya. Film ini memang mengerti cara paling benar dalam soal menghibur, tidak dengan horor yang membuat saya lompat dari kursi penonton, cukuplah dengan Shinta Bachir lari pagi dengan balutan pakaian seksi, kamera menyorot tajam ke bagian tubuhnya yang asyik bouncing kesana-kemari, ditambah efek slow-motion.

Karena ini pertama kalinya saya menonton franchise “Pulau Hantu”, saya terkejut bukan main ketika melihat sosok hantunya, setan mangap. Tahu kan video-video hantu di situs youtube, yang biasanya diakhir setannya selalu mangap selebar-lebarnya, setan di film ini seperti itu, mangap terus. Bukannya takut, setiap setan mangap muncul saya justru tidak bisa menahan tertawa geli, setidaknya “Pulau Hantu 3” ada sedikit hiburan, setan mangap lebih lucu ketimbang duo idiot Nero-Kimo, yang tidak pernah menyerah untuk tampil kocak namun selalu gagal. Akting memang sama buruknya dengan cerita dan horor, yang penting punya tubuh montok bisa teriak melihat setan mangap, bisa lari, dan tampil bodoh di depan kamera. Kembali ke setan mangap, nih setan bukan satu-satunya sasaran telur busuk, karena masih ada dua setan lagi, setan mangap perempuan dan setan tengkorak, agak kurang jelas sih setan tengkorak karena mukanya kaya habis ketumpahan oli. Tapi ketiga setan yang dipersiapkan untuk jadi horor, justru kalah bersaing dengan wanita-wanita seksi di film ini yang kedapatan porsi lebih banyak.

Film macam “Pulau Hantu 3” sepertinya percuma punya setting di pulau, tapi tidak bisa mengeksploitasi keindahan lanskap pulau tersebut, oh iya saya lupa, jika ada “keindahan” lain yang sayang untuk dilewatkan. Tidak peduli jika pada akhirnya ceritanya berantakan dan misteri yang coba dibangun hanya bisa bikin saya mangap, menguap berkali-kali. Saya tidak tahu bagaimana cara menikmati film ini, melihat adegan demi adegan yang disajikan layaknya video klip, film ini seperti lupa kemana arah ceritanya karena sudah terlalu tersesat ingin sok seksi. Saya bukannya tidak suka dengan wanita-wanita seksi di film horor, tidak salah juga menampilkan wanita-wanita berbikini dan berdada besar, itu akan jadi “hiburan” tersendiri”. Tapi tolong jangan jadi asal bikin film horor, kesian tuh setan udah mangap sepanjang film tapi satu orang pun tidak ada yang ketakutan, apalagi melihat cara penampakannya yang murahan, karena film ini toh lebih fokus menyajikan “penampakan” lain. Ok pertarungan antara setan di “Pulau Hantu 3” seharusnya bisa jadi epik dan menyelamatkan film ini, sayangnya sejak awal film ini memang sudah memiliki niat baik untuk membuat saya muak, mual, dan muntah, 3M. Bravo!

Rating 4 Kancut