Sebelum tayang di kampung halamannya, Indonesia, “The Raid” atau yang sebelumnya diberi judul “Serbuan Maut” ini, sudah menyerbu lebih dahulu festival-festival film di luar negeri, salah-satunya Toronto International Film Festival (TIFF) 2011. Bahkan film yang disutradarai oleh Gareth Huw Evans (Merantau) ini survive jadi yang paling badass alias juara diantara film-film keren lain dalam program “Midnight Madness”-nya TIFF, menang penghargaan “People’s Choice Award” ngalahin film-film seperti “Livid”, “Kill List”, “The Incident”, dan “You’re Next”. Gempuran hype gila-gilaan “The Raid” pun akhirnya sampai ke tanah air lewat media sosial twitter, semua penonton yang baru saja selesai menonton film ini di TIFF langsung menghajar dengan sederet kata-kata pujian, tentu saja saya hanya bisa ngiler didepan layar monitor, membayangkan sekeren apa sih “The Raid”. Syukurlah ada INAFFF, festival tahunan yang menjejalkan kita dengan film-film fantastik (horor, thriller, sci-fi) ini menyelipkan “The Raid” sebagai film penutupnya tahun ini. Tidak peduli dengan hype dan tetek bengek Mike Shinoda, tidak sempat untuk menurunkan ekspektasi sebelum film dimulai (kencing pun saya tidak sempat, karena terlalu excited), ternyata “The Raid” sukses melibas bayangan saya selama ini, film ini jauh lebih keren dari perkiraan, ekspektasi itu dihajar bertubi-tubi.
Kalau trailer “The Raid” yang diputar di INAFFF 2011 sanggup membuat adrenalin ini melompat-lompat kegirangan melihat sekumpulan adegan yang terlihat gila (serius, saya tidak pernah bosan berulang kali melihatnya), keseluruhan film dengan total durasi 100 menit ini ternyata berhasil melipatgandakan kegirangan saya tersebut, berlipat-lipat, bisa dibilang segala hype dan rasa penasaran itu terbayarkan sudah. Menonton “The Raid” itu tidak perlu memikirkan ceritanya, Gareth yang merangkap sebagai penulis sudah dengan baik hati menyuguhkan sebuah plot yang simple, jalinan cerita yang pada akhirnya tidak perlu kerja otak yang keras untuk mencernanya. Gareth punya perintah jelas, dari awal saya duduk di bangku bioskop, untuk menikmati deretan sajian action-nya. Toh film ini akan lebih banyak bercerita dengan jotosan, tendangan, darah dan hamburan peluru, jadi memang tidak perlu cerita yang masuk akal juga, makin konyol makin bagus.
Sekelompok pasukan khusus, atau lebih kerennya disebut tim SWAT, dipimpin oleh Jaka (Joe Taslim) diberi tugas untuk menyerbu markas gembong narkoba bernama Tama (Ray Sahetapy). Target mereka adalah sebuah gedung apartemen yang tidak terjangkau oleh tangan-tangan hukum, selain menjadi tempat nyaman bagi Tama untuk menjalankan aksi bisnis kotornya, apartemen ini juga dijadikan tempat perlindungan bagi penjahat-penjahat kelas kakap, pembunuh, pemerkosa, preman, pencuri, sampai “pelanggan” produk candu Tama, sayangnya tidak ada koruptor disini. Bisa dibilang Jaka, Rama (Iko Uwais), dan teman-teman SWAT-nya, yang sudah dilengkapi persenjataan lengkap sedang melakukan misi bunuh diri. Penyerangan diam-diam mereka dimulai dengan begitu mulus, tampak aman dan lantai demi lantai berhasil dijajaki tanpa diketahui Tama dan anak buahnya. Sayangnya keberuntungan para penyerbu habis hanya sampai di lantai 6, selagi terjebak dari kepungan anak buah Tama, sekarang mereka harus memikirkan bagaimana caranya bertahan hidup sekaligus menyelesaikan misi menangkap Tama.
“The Raid” punya cara terliar untuk menghibur penontonnya, mereka yang juga seperti saya, haus akan atraksi laga dalam sinema Indonesia. Setelah “Merantau” rilis di tahun 2009, saya pikir genre serupa akan bermunculan, setidaknya bersaing diantara judul-judul yang masih saja menawarkan horor yang bentuknya itu-itu saja, membosankan sekaligus memuakkan. Bukannya tidak ada film laga, ada kok, “Pirate Brothers” salah-satunya dan yang paling dibuat dengan “benar”, hasilnya tidak mengecewakan, sedangkan sisanya itu hmm sepertinya tidak perlu dibahas lagi, kalian tahu film siapa yang saya maksudkan. Jika di “Merantau”, Gareth hanya memamerkan aksi-aksi martial arts khususnya silat yang diperagakan dengan luar biasa oleh Iko Uwais, “The Raid” punya lebih banyak lagi aksi pukul-pukulan yang dicampur dengan parade tembak-tembakan yang seru. Tanpa banyak basi-basi dan sedikit punya waktu untuk memperkenalkan karakter-karakternya, Gareth lebih memilih untuk mengejutkan penonton dengan rentetan action di awal film, langkah yang tepat untuk mengunci kita terkurung di tempat duduk melihat bagaimana Gareth membuang-buang peluru dan menghujani apartemen dengan darah.
Belum apa-apa, dan “The Raid” sepertinya juga baru melakukan pemanasan, saya sudah mengumpulkan kata-kata kasar yang tidak pantas dituliskan disini. Well saya akan merasa seperti orang bodoh jika diam saja melihat setiap kegilaan di film ini, dan justru malah merasa berdosa jika tidak menyarangkan sederet kata-kata sumpah serapah setelah Iko dan kawan-kawan selesai melakukan atraksi akrobat membunuh lawannya. Gareth tidak pernah berhenti mengejutkan penontonnya, opening film ini belum ada apa-apanya jika dibanding dengan apa yang akan Gareth suguhkan setelahnya, brutal, brutal, dan brutal. “The Raid” seakan menyeret-nyeret kita sepanjang lorong apartemen yang pekat dengan bau amis darah bercampur pesing, namun semua itu menyenangkan. Tumpukan senjata api di film ini tampaknya juga hanya jadi pelengkap keseruan “pesta” di apartemen milik Tama, karena yang kita inginkan justru aksi-aksi tangan kosong dan Gareth tahu sekali apa yang penonton mau, “The Raid” pun berubah dari suara bising peluru yang keluar dari moncong senapan mesin, seketika dipenuhi suara hantaman pukulan ke tubuh, bag-big-bug dan diakhiri dengan renyahnya suara tulang yang patah dimana-mana.
Gareth oh Gareth, dia tidak saja tahu bagaimana mengumpankan banyaknya porsi laga di “The Raid”, tangan kosong ayo! main tembak-tembakan juga hayo, tapi juga bagaimana dia sanggup menampilkannya menjadi berkelas. Tidak ada yang tidak spektakuler dalam setiap adegan laga yang ditawarkan ke hadapan mata-mata penonton yang terus meminta lebih banyak bag-big-bug-crot. Semua itu dikemas dengan koreografi fantastis, diarahkan oleh Gareth, Iko Uwais dan Yayan Ruhian, yang di film ini berperan sebagai orang paling badass bernama Mad Dog, dari namanya saja sudah sangar. Mau pertarungan dengan senjata tajam, satu lawan satu, atau satu orang lawan penjahat satu kampung, film ini tak pernah membiarkan penontonnya untuk menoleh ke arah lain, walaupun ada pocong yang melintas, mata kita akan dipaksa atau bahkan dipaku untuk tetap menatap layar, ketika Iko dan Yayan mulai pamer skill “menari” mereka. Iya saya sebut menari, karena gerakan yang ditampilkan oleh “The Raid” memang indah seakan sebuah tarian. Semua disajikan dengan “gemulai”, arah pukulan dan tendangan, dan bagaimana pada akhirnya seseorang terbunuh dalam pertarungan betul-betul disiapkan dengan serius untuk menjadi hiburan. Sebuah hiburan yang tidak sekedar lewat saja, tapi dibalas dengan tepuk girang mereka yang menonton, termasuk saya yang kegirangan sambil melompat-lompat.
Apa saya sudah sebut, adegan laga di “The Raid” itu spektakuler? kata itu juga wajib deh disematkan untuk jajaran cast-nya, ketika mereka pada akhirnya diberi kesempatan oleh Gareth untuk “akting”, bukan saja mukulin atau nembak orang. Apalagi ketika beberapa pemain mulai mengeluarkan dialognya masing-masing, yup “The Raid” tidak saja punya aksi baku hantam yang seru tapi juga dialog-dialog seru, terutama yang keluar dari mulut bajingan macam Tama dan Mad Dog. Hiburan tersendiri ketika orang-orang ini mulai berkoar, konyol, dan lucu, anehnya pantas dengan tampilan karakter yang walau sangar dan sinting tapi tidak digambarkan dengan serius. Bohong juga jika saya bilang film ini tidak membosankan, tunggu dulu jangan terburu-buru kabur, porsi membosankan itu pun hanya satu persen dari total 99% kadar awesome di “The Raid”. Masih ada drama dalam film ini, diantara setumpuk mayat yang berserakan di lorong-lorong apartemen, bagian yang menurut saya membosankan tapi perlu ada dalam cerita, setidaknya jika ada yang bilang “The Raid” tidak punya cerita, berarti orang itu hanya pernah menonton trailernya saja. Gareth pun tidak akan berlama-lama, larut dalam drama dan melupakan apa yang sudah dimulainya, cukup waktu baginya untuk memberi kita ruang bernafas setelah lelah memompa keras adrenalin bersama setiap kegilaan “The Raid”. Beristirahat sejenak dulu sebelum Gareth dan pasukan SWAT-nya menyeret kita kembali untuk ikut “bermain”. Setelah semua selesai, saya hanya bisa bilang “puas”, menggila dari awal sampai akhir, film Indonesia terbaik yang saya tonton tahun ini dan wajib ditunggu rilisnya tahun depan.
chliez
Wawww…sungguh review yang sangat menyiksa saya utk menantikannya…!
baru rilis 2012 nanti? busyetttt…dahhh!!!
Tapi utk urusan review film Raditherapy emang jagonya…Bravo mas Radit!
raditherapy
klo nga salah rilisnya mundur jadi April 2012, tapi tetep ini film wajib nonton
thaaaank youuuu yaaa chlie
si kuncung
nah ini die film horror yang ane tunggu tayangnye.
chliez
Jujur ketika membayangkan The Raid & Merantau bertahun2 lalu saya langsung membandingkannya dengan Ong Bak (2001, Thailand movie yang langsung menjadi tolok ukur standar film2 action bagi saya).
Karena sama2 mengangkat beladiri lokal yaitu Muaythai & Pencak Silat.
Sekaligus saya berharap Iko Uwais bisa jadi “Tony Jaa”-nya Indonesia yang sukses besar mengangkat nama beladiri negaranya.
Namun entah kenapa setelah melihat kedua film lokal kita (the Raid & Merantau) level koreografi ketegangannya saya rasa masih dibawah Ong Bak (bukan Ong Bak 2&3 lho) bahkan oleh Tom Yum Gong saja jelas habis.
Entah karena dana atau faktor lain2nya saya kurang tahu. tapi meskipun begitu ini angin segar bagi perfilman kita karena sudah menggeliat naik tingkat. Jelas saya tidak meragukan hal itu.
Saya masih ingat, begitu Luc Besson menonton Ong Bak yang koreografi actionnya luar biasa itu beliau segera tertantang utk membuat “B13/district13”. Hasilnya? seperti saya bilang belum bisa menyamai keganasan Ong Bak.
Saya malah merasa Merantau adalah Ong Bak versi Indonesia yang dirubah plotnya gara2 si Gareth Evans melompat2 habis nonton film action kebanggaan Thailand tersebut.
So, seandainya “Berandal” yang digadang2 jadi sequel the Raid dengan gelontoran dana melimpah bisa “menyamai” level Ong Bak….Alangkah gembiranya seluruh penggemar film action di seluruh Dunia…!
Maju terus Gareth,,,!!!
Dhian
Saya malah sama sekali ngak merasa film ini luar biasa.
Dialognya kaku, aktingnya pas-pas2an, ceritanya juga biasa saja.
Yang bagus hanya aksi aksinya.
Along
@chliez ,Ong Bak film tarung paling lebay sejagat
@Dhian ,Dunia menyambut, tapi kamu beda sendiri. Anti mainstream atauu ?
Tri Fajar
@Along
Bukan anti-mainstream tapi emang gitu kenyataannya, secara aksi memang HEBAT tapi kalo diliat dari dialog seolah-olah seperti dialog Bahasa Inggris yg diterjemahkan ke Bahasa Indonesia pake Google Translate terasa KAKU, gak sesuai ama gaya bicara orang Indonesia. Karena setelah kucoba nonton dengan subtitle Bahasa Inggris, ternyata dialognya jadi keren. Menurutku sih pengarahan di mobil boks itu dihapus aja, bikin rasa penasara jadi berkurang.