Review Claypot Curry Killers

“Mrs. Chew, karinya terasa berbeda, apakah kau menambah bumbu baru?”, seorang ibu-ibu gemuk langganan warung makan pinggir jalan milik Chew (Pearlly Chua) bertanya sambil melahap daging di semangkuk kari. Chew tampak kebingungan menjawab, namun dengan dingin dia merespon, “Iya, saya menambah bumbu baru, kenapa memang?”, dan sang pelanggan menjawab, “Tidak apa-apa, kari ini enak sekali”. Setelah percakapan itu, Chew tampak memperhatikan dengan hati-hati para pelanggannya yang memesan kari di warungnya, berharap cemas “resep” baru di kari buatannya tidak bermasalah, sebaliknya semua orang yang datang tampak lahap memakan kari tersebut. Dari warung makan kecil di pinggir jalan, Chew sekarang sudah memiliki restoran sendiri, tentu saja berkat kari spesialnya yang terkenal itu. Hanya dibantu oleh ketiga anak perempuannya, tidak ada pekerja lain, restorannya bisa dibilang laris manis, selalu penuh pelanggan. Tidak hanya penonton yang pada akhirnya bertanya-tanya apa resep rahasia Chew, tapi juga seorang koki selebritis yang dengan segala cara ingin mendapatkan resep kari tersebut.

“Claypot Curry Killers”, meneruskan tradisi film-film slasher di INAFFF, jika tahun lalu ada “Reykjavik Whale Watching Massacre” dari Islandia dan “Dream Home”, yang juga disiapkan sebagai surprise movie. Kali ini giliran Malaysia, bersama sutradara James Lee ingin mencoba menghadirkan hidangan berdarah dalam semangkuk kari. Walaupun saya mendengar bisik-bisik film ini jelek, didorong rasa penasaran seperti apa sih film slasher buatan Malaysia, saya tetap membeli tiket dan menekan ekspektasi serendah-rendahnya. Ternyata James Lee adalah seorang bajingan dan “Claypot Curry Killers” tidak sejelek apa yang diperkirakan, ekspektasi saya digorok, ternyata film ini masuk dalam kategori: film bangsat. Jadi, tampaknya negeri tetangga sedang meninggalkan horor setan-setanan, dan mulai beralih menakuti penonton dengan bergalon-galon darah, nah selain “Claypot Curry Killers”, Malaysia juga sedang menyiapkan film gore dengan embel-embel 3-D, termasuk mengklaimnya sebagai film tiga dimensi pertama di Asia Tenggara. Hebat!

Kembali ke “Claypot Curry Killers”, film yang “sukses” dilarang tayang di Malaysia ini bukanlah film slasher pertama James Lee, sebelumnya sutradara yang membuat “Tolong! Awek Aku Pontianak” tersebut, juga pernah mengangkat genre yang sama lewat Histeria pada tahun 2008. Resep Lee kali ini memang akan banyak dijumpai di film-film slasher yang sudah lebih dahulu bermunculan, termasuk mengingatkan kita dengan Rumah Dara buatan The Mo Brothers. Jangan buru-buru bilang jiplak, saya tidak peduli, dan jangan buru-buru bilang jelek jika belum nonton karena alasan ini film Malaysia. Kesampingkan urusan Malaysia yang selalu jadi headline berita dengan kebiasaannya mengklaim ini dan itu milik Indonesia, saya datang ke INAFFF untuk menonton dan terhibur, tidak peduli darimana negaranya, jika bagus akan saya bilang bagus dan sebaliknya jikalau jelek pun, akan saya bilang jelek, se-simple itu. Sesederhana itu juga dan tidak muluk-muluk, Lee sanggup mengesekusi “Claypot Curry Killers” tidak tanggung-tanggung, saya pikir wajar jika badan sensor sana tidak meluluskan film ini, karena Lee tidak punya “malu” dalam soal menghajar penonton dengan adegan-adegan sintingnya.

Review Claypot Curry Killers

Dari awal “Claypot Curry Killers” sudah menyajikan hidangan lezat penyiksa mata serta manjur membuat perut yang baru saja saya isi ini (bukan dengan kari) agak-agak mual. Ya, Lee memang sudah brengsek semenjak menit pertama, belum apa-apa film ini sudah memaksa penonton untuk melihat adegan tusuk-tusukan yang menggairahkan, sekaligus sambil berkenalan dengan Mrs. Chew dan ketiga anak perempuannya. Lee memang tidak perlu repot-repot menyembunyikan rahasia kelam keluarga Mrs. Chew, karena memang tidak ada yang disembunyikan dari penonton, termasuk rahasia resep makyus kari buatan Chew. Lee akhirnya bisa fokus bagaimana membuat penonton penasaran dan mengurung kita dalam ketegangan dan siksaan nikmat selama 100 menit. Segala macam kata-kata kotor dan sumpah serapah menjadi teman paling setia ketika film ini bergulir dari menit ke menit, pertanda suguhan Lee berhasil memikat saya untuk ikut marah, muak, girang, dan juga sesekali tertawa. Padahal yang saya tonton itu tidak ada lucu-lucunya, kecuali ketika Lee menyempilkan komedi-komedi kelam bercampur sarkasme (dan menurut saya komedi-nya termasuk jenius). Bagaimana bisa lucu ketika layar berisi potongan-potongan tubuh yang tampak real dengan warna darah yang memanjakan mata, atau ketika Chew bersama anak-anaknya tengah beraksi mencari “daging” untuk dimasak esok hari.

Slasher yang menyenangkan, itulah “Claypot Curry Killers”, dan kita tidak hanya terus dihidangkan manisnya kesadisan di film ini, tapi juga diajak ikut masuk dalam kehidupan keluarga Chew, lewat drama yang juga coba dibangun oleh Lee. Walau jika boleh milih, saya menginginkan lebih banyak adegan berdarah ketimbang selipan kisah keluarga dan cinta. Tapi seperti juga porsi komedinya, untuk drama, Lee juga tidak asal taruh, dia tahu kapan harus menceritakan kehidupan keluarga Chew, sekaligus dengan sangat baik hati membiarkan kita sedikit bernafas sambil menjaga rasa penasaran penontonnya. Beberapa saat saya memang sempat berpikir kalau Lee ingin mengkhianati penonton, dengan terus menghadirkan drama, tapi saya salah, dia tidak lupa dan “Claypot Curry Killers” ternyata masih menyimpan banyak kejutan-kejutan sintingnya, termasuk kembali mengajak saya bermandikan darah dan kuah kari. Film ini tidak saja hadirkan adegan-adegan sadis yang sedap dipandang, jangan lupakan juga bagaimana Pearlly Chua yang berperan sebagai ibunya anak-anak, sanggup menampilkan performa akting yang tak kalah sinting, dalam mewujudkan karakter seorang ibu yang penyayang, tapi juga misterius, dingin, hampir tidak punya emosi, dan “berhati” iblis.

“Claypot Curry Killers” benar-benar sudah membuat saya “kenyang”, James Lee dengan berani menyajikan tingkat kesadisan yang tidak mengecewakan, walaupun ada beberapa adegan yang tidak lagi bisa dikatakan baru, namun Lee masih bisa memolesnya menjadi menarik dan tetap terlihat sinting. Tidak hanya asyik bermain-main dengan darah, film ini ternyata juga memperhatikan cerita, peduli dengan karakter-karakternya, membuat saya berbalik peduli dengan Chew dan keluarganya. Ikut girang ketika ada orang yang berniat mengganggu kedamaian keluarga Chew dan kemudian orang tersebut mati. Lee secara mengejutkan juga menyisipkan adegan-adegan lucu yang tidak murahan, apalagi ketika munculnya dua karakter Tony dan Tiger, yang saya pikir kesalahan editing, ternyata Lee punya selera humor yang sinting dibalik adegan-adegan sadis yang dibuatnya. Slasher yang menyenangkan dan menghibur, membuat meringis, merinding, sekaligus bisa juga menghadirkan tawa ditengah-tengah teriakan penonton. Jadi, siapa yang mau kari?

Rating 3 Tengkorak