Review Absentia

Well hanya di INAFFF 2011, saya bisa menikmati film horor semacam “Absentia” ini, sebuah karya independen dari sutradara Amerika, Mike Flanagan, yang pastinya tak akan pernah bisa disaksikan reguler di bioskop lokal, terkecuali di ajang festival. Berbekal ketidaktahuan film apa yang akan saya nonton, tidak juga menonton trailer-nya, ternyata “Absentia” cukup banyak mempunyai kelebihan, dengan ekspektasi menonton yang saya rendahkan, walaupun melihat deretan award, hasilnya tidak mengecewakan, film ini bisa dinikmati. Sayangnya, kondisi badan saya saat itu sangat-sangat tidak mendukung, sudah pasti mempengaruhi penilaian saya terhadap film ini, tapi untungnya masih tetap mampu menonton hingga selesai. Dalam status si penulis (cie penulis) yang kala itu agak tidak sehat, Mike Flanagan sanggup bikin saya tetap melek, tentunya karena diganjal oleh rasa penasaran yang dari awal sudah melenggang masuk dalam pikiran tanpa permisi.

Sebuah film indie yang tahu harus apa dan bagaimana mengesekusi filmnya, itulah “Absentia”, ketika Mike tidak bisa berbuat banyak untuk urusan visual efek, dia mengerti cerita dan karakter-karakter dalam filmnya adalah tumpuan satu-satunya untuk membuat penonton tetap duduk betah di bangkunya. Lagipula efek berlebihan yang dipaksakan pun justru malah bisa jadi bumerang, contoh buruk penggunaan efek bisa dilihat di “Grave Encounters”, padahal cerita dan cara membangun horornya sudah berada di jalan yang benar. Satu-satunya kelemahan “Absentia” mungkin cara bertuturnya yang lambat, tapi itu pun tidak menjadi masalah bagi saya, tapi bagi mereka yang tidak terbiasa menikmati film dengan alur lamban, kemungkinan akan langsung mencap film ini membosankan. Beberapa momen memang tidak bisa terhindar untuk dikatakan boring, tapi Mike pintar menaruh kejutan-kejutan yang saya jamin bisa membangunkan penonton dari tidurnya.

“Absentia” dibuka dengan kedatangan Callie (Katie Parker) ke rumah kakaknya, Tricia (Courtney Bell), yang kala itu sedang mengandung anak pertama. Kebahagiaan Tricia belum sempurna karena suaminya, Daniel (Morgan Peter Brown), hilang entah kemana, sudah kurang lebih tujuh tahun. Walaupun Tricia menginginkan kehidupan baru dan juga melanjutkan hidup tanpa Daniel, didukung juga oleh Callie, kita tahu Tricia belum bisa melupakan suaminya, kita bisa melihat itu ketika Tricia masih berharap bisa menemukan suaminya yang hilang dengan tetap menempel selebaran mengenai Daniel. Kejadian aneh pun kerap muncul, setelah Tricia pada akhirnya memutuskan untuk menganggap Daniel sudah mati, dengan membuat surat kematian yang sah. Tidak saja Tricia yang mengalami fenomena yang menyerempet ke arah supernatural, yang psikiaternya sebut hanya sebuah halusinasi belaka karena beban bersalah yang ditanggung Tricia, Callie juga menyusul mengalami peristiwa aneh, berkaitan dengan sebuah terowongan yang menghubungkan lingkungan tempat tinggalnya dengan lingkungan tetangga.

Review Absentia

Mike Flanagan yang juga ikut memproduseri dan meng-edit filmnya sendiri ini, mengerti jika penonton biasanya ingin diperlakukan tidak seperti anak kecil, yang semuanya butuh penjelasan. “Absentia”, asyiknya, membiarkan kita untuk ikut menyimpulkan sendiri apa yang sebetulnya terjadi. Lihat saja di awal, bagaimana Mike sengaja untuk tidak memberi penjelasan panjang lebar tentang menghilangnya Daniel, jadi dia bisa lebih leluasa untuk memfokuskan cerita pada dua kakak-beradik, Callie dan Tricia, ya sekaligus mengambil kesempatan itu untuk membangun chemistry diantara keduanya. Banyaknya penjelasan yang tersembunyi dengan baik, pada akhirnya juga mengajak penonton untuk “bergerak”, Mike secara tidak langsung memaksa kita uuntuk masuk ke dalam filmnya dan mencari jawaban atas misteri dan fenomena aneh yang tengah terjadi pada Callie dan Tricia. Film ini tidak memberi kesempatan kita untuk diam, terlebih di paruh awalnya. Setelah dibuat kebingungan tentang apa yang sebetulnya terjadi, Mike mulai menempatkan kejutan demi kejutan yang saya akui betul-betul efektif. Tidak hanya dalam soal membangun atmosfir horor dan makin menjejalkan kita dengan berbagai misteri, tapi juga dengan cara yang terbilang cukup cerdas sanggup “memaksa” penonton untuk berteriak, seketika bioskop dipenuhi suara detak jantung dan tawa penonton yang puas setelah berteriak ketakutan.

“Absentia” bukan tanpa cela, setelah mahir mengejutkan penonton di awal, kita seperti kembali diajak santai, mendengarkan berbagai teori dan “ocehan” yang makin mengisi penuh pikiran kita dengan pertanyaan-pertanyaan. 91 menit pun akan menjadi terasa agak lama karena Mike masih bermain-main dengan alurnya yang lambat. Momen-momen yang bisa dikatakan membosankan pun tidak bisa terhindarkan, tapi Mike masih sanggup membuat penontonnya terkurung dalam rasa penasaran, itu yang membuat saya masih tetap setia menunggu hingga film ini menuntaskan misterinya. Akting para pemainnya juga tidak mengecewakan, Katie Parker dan Courtney Bell, yang memerankan sepasang kakak beradik mampu menciptakan chemistry yang baik dan membuat kita untuk peduli, tidak bisa lepas dari masalah yang sedang mereka hadapi. Peran mereka pun punya andil besar untuk mengajak kita untuk ikut ketakutan dan kebingungan, Katie dan Courtney sudah melakukan hal yang benar untuk mewujudkan itu semua. Setidaknya keduanya dan misteri yang mengelilingi mereka sudah menghibur kita yang sedang menunggu jawaban, duduk manis di bangkunya masing-masing. “Absentia” adalah film horor berbalut misteri yang punya kelebihan dalam bercerita, walaupun dikemas dengan alur yang lambat. Cara Mike dalam membangun horor dan karakternya cukup jempolan, sanggup menempatkan kejutan dengan efektif dalam memancing teriakan penonton. Film ini pun didukung oleh sinematografi yang cantik oleh Rustin Cerveny dan scoring buatan Ryan David Leack yang selaras dengan misteri yang sedang bergulir.

Rating 3 Tengkorak