Review The Perfect House

Judulnya memang bule, tapi “The Perfect House” film Indonesia kok, disutradarai oleh Affandi Abdul Rachman, yang sebelumnya lebih dikenal sebagai sutradara film komedi romantis, dua judul hasil garapannya adalah “HeartBreak.com” (2009) dan “Aku atau Dia” (2010). Well, bersama “The Perfect House”, Affandi dibawa kembali ke ranah film thriller, sebuah genre yang tidak lagi asing baginya, itu karena “Pencarian Terakhir” yang merupakan debut filmnya memang mengusung tema thriller. Film yang sempat tayang di Puchon International Fantastic Film Festival (PiFan) ini tak pelak bagaikan angin segar berbau darah, di tengah bau kecut pekat film-film horor pocong-pocongan yang masih saja bergentayangan tidak tahu malu dan meneror kualitas sinema Indonesia, khususnya sinema horor lokal. Mengusung tema thriller psikologis, “The Perfect House” memang saya harapkan bisa “membantai” horor-horor kacrut tersebut, setidaknya mengembalikan kepercayaan publik bahwa Indonesia masih memiliki film horor yang dibuat “benar”.

“The Perfect House” memang tidak akan se-slasher “Rumah Dara” buatan Mo Brothers, toh dari temanya juga sudah berbeda, saya awalnya mengharapkan banyak darah, namun film yang diproduseri Vera Lasut ini ternyata ingin fokus mengajak penonton ke koridor lain yang lebih menyesatkan ketimbang dibanjiri darah. Alih-alih banyak darah, film ini justru menyajikan banyak misteri, kita tidak akan ditantang oleh penampakan bodoh tapi sebaliknya oleh adegan-adegan berotak yang menantang kita untuk setidaknya berpikir saat menonton. Disinilah keasyikan “The Perfect House”, tidak membiarkan penontonnya untuk diam saja di bangkunya, namun mengajak memecahkan teka-teki sambil melewati setiap ketegangan yang akan disebar di setiap sudut rumah.

Rumah siapa? pemiliknya bernama Nyonya Rita (Bella Esperance), biasa ingin dipanggil dengan sebutan madam, dia mempunyai seorang cucu, Januar (Endy Arfian), yang kedua orangtuanya meninggal (katanya) karena kecelakaan. Untuk membantunya belajar, dipanggilah seorang guru dari Jakarta, Julie (Cathy Sharon). Pekerjaan Julie di rumah bergaya klasik tersebut amatlah mudah, mengajar Januar yang ternyata cerdas dan menuruti segala perintah madam, itu termasuk tidak boleh mengajak Januar keluar rumah. Semua tampak normal, hingga Julie dihadapkan pada kejadian-kejadian aneh yang mengantarnya lebih jauh ke dalam misteri dibalik rumah tersebut, permainan yang mengancam nyawa baru saja dimulai.

Mari bermain-main dengan “The Perfect House”, mungkin itulah ajakan yang tepat saat film ini mulai mengurung saya dalam sebuah permainan “petak-umpet”. Rahasia demi rahasia, misteri demi misteri dibiarkan ngumpet dengan baik, tentunya agar saya dan Julie tidak mudah menemukan jawabannya. Walaupun sebenarnya film yang ditulis oleh Alim Sudio ini sudah dapat ditebak untuk mengarah kemana, namun saya tidak berusaha untuk sok tahu siapa pelakunya. Hey!! saya masih ingin bermain-main dan bersenang-senang bersama “The Perfect House”, jadi saya akhirnya lebih memilih membiarkan film ini untuk “mempermainkan” saya ketimbang jadi sok pintar.

Serius hasilnya jauh lebih asyik dan menyenangkan, memang sih pada akhirnya tebakan saya ternyata benar, tapi walau begitu yang terpenting bukanlah ending yang tertebak itu, tapi bagaimana “The Perfect House” menyampaikan kisahnya, nah untuk urusan itu Affandi sudah melakukan PR-nya dengan baik. Saya akui di beberapa bagian terasa membosankan, saya seperti “dipaksa” untuk mengikuti kemana Julie melangkah dalam mengungkap misteri, maunya sih cepat-cepat ke adegan yang menegangkan, jangan banyak bertele-tele. Hmm… tapi ini seperti cara Affandi untuk membuat saya bersabar dan mengumpulkan rasa penasaran, bermain dengan psikologis penontonnya sebelum ditimpali oleh berbagai adegan “menggairahkan” adrenalin, maksudnya adegan-adegan menegangkan di film ini. Menonton “The Perfect House” memang harus banyak-banyak bersabar, lumayan untuk melatih kesabaran, positif kan.

Review The Perfect House

Tidak perlu terburu-buru, “The Perfect House” cukup sigap untuk mengisi durasi filmnya yang hampir mencapai 100 menit itu, ya ampun bukan dengan deretan penampakan hantu pocong narsis, saya sudah bilang ini bukan film pocong-pocongan itu. Setiap karakternya betul-betul diperhatikan, tidak asal numpang lewat tapi diberi porsi yang cukup sampai akhirnya mampu mengeruk perhatian penonton, selain itu didukung juga oleh akting yang bisa dibilang jempolan. Kalau biasanya saya akan bersikap acuh dengan karakter dalam film-film horor pocong nga jelas, mau dimatiin juga bodo amat, begitu kira-kira. Disini saya dibiarkan untuk melihat bagaimana perubahan setiap karakternya, Julie yang diawal bersikap kalem lambat laun “berontak”, sang madam yang awalnya diperlihatkan sangat baik mulai berubah, membuat kening saya berkerut. “The Perfect House” tidak sekedar mengantar saya dari misteri ke misteri lainnya, namun peduli juga untuk memperlihatkan saya transformasi karakter-karakternya, itu penting dan film ini melakukannya dengan “benar”. Misterinya asyik, karakternya juga asyik untuk ditonton.

Mau saya bacok saja si madam ini! jika bukan karena akting Bella Esperance yang cukup meyakinkan sebagai Nyonya Rita alias madam, mungkin emosi saya ini tidak perlu cuap-cuap. Aktris yang pernah bermain di “Catatan Si Boy III” tersebut mampu menampilkan akting yang menyedot perhatian dengan gaya marah dan congkak-nya yang khas, Bella juga sekaligus sanggup membuat karakternya dikelilingi banyak tanda tanya, membuat kita penasaran kepadanya dan akhirnya tersesat. Cathy Sharon di luar dugaan tidaklah mengecewakan, aktingnya mampu bersaing dengan lawan mainnya yang lebih senior. Walaupun sesekali Cathy sempat terpeleset dalam dialog dan terlihat kaku, tapi secara keseluruhan tidak membuat karakternya cacat, saya masih bersimpati dan mendukungnya untuk menemukan setiap jawaban yang tersembunyi dibalik gelapnya rumah madam. Nah aktor cilik berumur 10 tahun, Endy Arfian, bermain baik sebagai Januar, karakternya mampu dibuat sangat misterius. Walaupun berakting gagu dan berwajah jelek (maaf ya Mike), Mike Lucock masih bisa mengeluarkan kemampuan akting yang juga tidak kalah dari pemain lain, terlebih karena perannya disini yang paling menantang.

Dengan opening yang mirip-mirip “Insidious”, “The Perfect House” tidak saja tampil percaya diri dalam mengobral berbagai misteri, sesekali membuat jantung ini berdegup keras ketika gilirannya mengagetkan penonton tiba, tapi juga punya kelebihan dalam soal artistiknya. Dikomandani Faozan Rizal, dibalik kamera sebagai DOP, sisi artistik tersebut semakin menonjol, termasuk aura misterius yang ditangkap dengan baik oleh DOP yang juga sering jadi langganan di film-film Hanung Bramantyo ini. “The Perfect House” jika disimpulkan memang masih punya kekurangan disana-sini yang membuat film ini jadi ya tidak sempurna. Walau begitu Affandi sudah berupaya menyajikan sebuah thriller yang dibilang mengasyikkan untuk ditonton, tidak saja karena dia bisa membuat kita penasaran oleh “The Perfect House”, tapi bagaimana dia akhirnya mampu menjawab setiap misteri dan memuaskan rasa penasaran saya tanpa harus terlalu banyak menjelaskan. Film ini menjadi menarik karena penonton tidak saja dibawa muter-muter ber-misteri-ria, tetapi juga membiarkan penonton untuk menarik kesimpulan sendiri tanpa harus dijejalkan oleh terlalu banyak penjelasan, Affandi hanya menuntun dan mempersilahkan penontonnya mencari jawabannya, jika salah ya tidak apa-apa, tidak dihukum kok. Penonton kita tidak bego yang perlu terus diberi penjelasan, biarkan imajinasinya bermain bersama film yang ditonton, well sekali lagi “The Perfect House” sudah melakukan hal yang benar.

Rating 3 Tengkorak