Review X-Men: First Class

Erik Lensherr (Michael Fassbender) atau kita lebih mengenalnya dengan nama Magneto, nantinya memang diporsikan sebagai “mutan jahat”, pemimpin dari apa yang dinamakan “Brotherhood of Mutants”, kumpulan mutan-mutan jahat yang tujuannya berseberangan dengan para “mutan baik” pimpinan Dr. Charles Xavier (James McAvoy), atau dikenal juga dengan Profesor X. Kita sudah melihat perseterungan berkepanjangan antara X-Men dengan mutan-mutan jahat ini, juga rivalitas antara Erik dan Charles, di film trilogi yang dimulai tahun 2000 dengan “X-Men”, kemudian dilanjutkan dengan “X2” di 2003 dan “X-Men: The Last Stand” pada tahun 2006. Seri X-Men pun tidak berhenti sampai disitu, melihat tokoh Wolverine sepertinya yang paling populer diantara para mutan lain, maka sang mutan yang terkenal dengan cakar adamantium-nya itu pun akhirnya punya filmnya sendiri, sebuah spin-off, yakni “X-Men Origins: Wolverine” (2009).

Sayang respon yang didapat film yang sekali lagi dibintangi oleh Hugh Jackman sebagai Wolverine ini, bisa dibilang negatif berbeda dengan trilogi sebelumnya. Tapi saya tidak akan lanjut mengulas film tersebut, melainkan kembali ke “X-Men: First Class”. Seperti Wolverine yang memiliki sejarah sebelum bertemu dengan Profesor X dan join menjadi anggota X-Men, tentu masing-masing mutan juga memiliki “sebuah awal”. Di film trilogi kita hanya bisa melihat sebuah permusuhan yang sudah “matang”, bagaimana semua itu bisa terjadi bisa dikatakan masih samar, terutama perseteruan antara musuh bebuyutan Erik dan Charles. Proses itulah yang akan coba diungkap oleh “X-Men: First Class”. Ada yang menarik dimana justru Matthew Vaughn (Kick-Ass) yang didaulat untuk menjadi sutradara bukan Bryan Singer, orang yang terbukti sukses menggarap dua film pertama X-Men dan terlibat di penulisan triloginya.

Sebetulnya awalnya film ini memang akan disutradarai oleh Singer, tapi dia terlalu sibuk menyiapkan proyek lain. Well, tidak jadi masalah, Matthew Vaughn pun sebelumnya membuat Kick-Ass yang juga diadaptasi dari komik, film tersebut pun mendapat respon sangat baik. Walau agak berbeda dengan apa yang saya baca dikomik, Matthew Vaughn sanggup membuatnya “Kick-Ass” menjadi kickass! dan saya sangat menyukai film yang juga punya soundtrack yang keren itu. Kembali ke “X-Men: First Class”, sebetulnya saya bukan fans para mutan ini tapi cukup terhibur dengan triloginya, film pertama adalah favorit saya, dimana untuk pertama kalinya juga kita diperkenalkan dengan permusuhan antara mutan yang “baik” dan yang “jahat”, belum lagi ada Wolverine yang masih belum jinak…hmm sepertinya mutan yang satu ini memang tidak akan pernah “jinak”. Bukan fans bukan berarti saya tidak antusias menunggu film ini, modal saya untuk tetap menjadi orang yang penasaran adalah Matthew Vaughn, bagaimana dia akan memperlakukan para mutan di “X-Men: First Class”, tentu saja tidak seliar garapannya di “Kick-Ass”, dengan judul berembel-embel “First Class”, saya berharap film ini pun akan “berkelas”.

Semua punya “awal”, termasuk juga seorang Magneto, bisa dibilang Erik Lensherr (nama manusianya) hanya seorang mutan yang tidak beruntung, punya masa kecil yang sama sekali tidak bahagia. Masa kecilnya “dihiasi” kekejaman perang dunia kedua, dipisahkan dari orang tuanya di kamp konsentrasi Nazi Jerman, melihat ibunya ditembak dan hari-harinya dihabiskan sebagai kelinci percobaan untuk eksperimen Dr. Schmidt, yang telah mengetahui kekuatan tersembunyi Erik. Ditempa oleh kebrutalan perang, Erik pun telah tumbuh menjadi mutan yang pendendam, tapi untuk sekarang rasa dendamnya fokus pada orang yang bertanggung jawab atas semuanya, Dr. Schmidt. Dia memburu semua orang yang berkaitan dengan Schmidt, berharap bisa menemukannya dan dalam pencariannya dia akhirnya bertemu dengan Dr. Charles Xavier. Mereka pun menjadi teman dan saling bekerja sama untuk menghentikan aksi Dr. Schmidt, atau yang sekarang dikenal dengan nama Sebastian Shaw (Kevin Bacon), yang juga memiliki kekuatan mutan. Bersama para mutan jahat yang menjadi pengikutnya, Shaw berniat memulai perang dunia ke-3.

Review X-Men: First Class

“X-Men: First Class” tidak hanya memiliki Magneto dan Profesor X muda, atau juga Sebastian Shaw sebagai super-villain, masih banyak mutan-mutan lain yang aksinya bisa dilihat di film ini. Di pihak yang baik bersama Charles (Profesor X) dan Erik (Magneto), kita akan diperkenalkan dengan Raven (Jennifer Lawrence) atau nanti kita mengenalnya sebagai Mystique, seorang mutan perubah bentuk yang sudah dianggap adik oleh Charles yang punya kekuatan telepati. Ada juga Beast (Nicholas Hoult), Angel Salvadore (Zoë Kravitz), yang mempunyai sayap seperti capung, Banshee (Caleb Landry Jones) memiliki kekuatan untuk mengeluarkan suara ultrasonik, Havok dan Darwin. Sedangkan di pihak yang jahat, ada Emma Frost (January Jones) yang seperti Charles juga memiliki kekuatan telepati ditambah mampu mengubah tubuhnya menjadi semacam berlian. Frost ditemani dua mutan jahat lain, Azazel dan Riptide. Mutan-mutan yang disiapkan film ini tentu tak hanya jago pamer kekuatan mutan-nya untuk sekedar sebagai penghias visual, tetapi yang luar biasa bagaimana masing-masing mutan punya kontribusi yang kuat dalam cerita itu sendiri, walaupun porsi yang lebih banyak akan dibagi untuk Charles dan Erik.

Matthew Vaughn sanggup membuat “X-Men: First Class” tidak hanya “berkelas” dalam urusan menceritakan kisahnya, tetapi juga mampu menyerap perhatian penonton, ya tentu termasuk juga saya, untuk ikut masuk ke dalam dunia dan sejarah para mutan ini. Bukan saja mengarungi dunia pada masa perang dingin dan dipertontonkan berbagai aksi adu kekuatan yang berhasil divisualisasikan dengan memukau. Vaughn juga turut mengajak penonton untuk larut dalam drama, mengenal lebih dalam setiap mutan yang muncul, yah tidak semua, karena film ini tetap fokus pada tokoh pentingnya saja, Charles dan Erik. Inilah yang membedakan “X-Men: First Class” dengan seri sebelumnya, prekuel punya porsi cerita yang kuat, bagaimana semua permusuhan yang kelak terjadi betul-betul akan diceritakan dengan matang dan hubungan antara Charles dan Erik menjadi bagian yang paling menarik. Dengan latar belakang yang berbeda dan tentu kekuatan mutan yang juga berbeda, keduanya sempat disatukan, walaupun seperti kita tahu bersama akan jadi apa hubungan mereka kelak. Hubungan persahabatan itu dikisahkan dengan baik, didukung pula akting yang memukau dari Michael Fassbender dan James McAvoy. Keduanya pun menciptakan chemistry yang “manis”, tidak saja bagi persahabatan mereka namun juga kepada penonton, kita diberi kesempatan untuk mengenal dan bersimpati. Mengingat apa yang nantinya terjadi, saya pun tanpa sadar akan tidak rela melihat persahabatan itu yah akhirnya pecah, karena visi yang berseberangan.

Acungan jempol untuk Matthew Vaughn yang mengemas “X-Men: First Class” dengan cara yang berbeda dari film-film superhero lain atau dengan seri X-Men itu sendiri. Film ini mengingatkan saya dengan pendekatan yang dilakukan J.J. Abrams untuk film “Star Trek” (2009). Tidak saja ada kekuatan visual yang memanjakan mata dengan aksi mutan dengan berbagai macam kekuatan supernya, tapi juga mengumpankan penonton dengan kekuatan cerita didukung oleh akting yang apik dari masing-masing pemainnya. Terlebih akting yang diperlihatkan McAvoy dan Fassbender, Jennifer Lawrence yang memerankan Raven pun bisa dibilang tampil cantik dalam soal akting, mampu memberikan “kekuatan” lain dalam film ini. Sedangkan Kevin Bacon mampu “menggetarkan” film ini tidak saja karena kekuatannya yang keren, tapi juga aktingnya yang mampu “mencengkram” para penonton, yang sedari awal penasaran apa sih maunya mutan yang satu ini. Film ini pun makin membuat kita betah dengan balutan gaya vintage-nya di tahun 60-an, belum lagi ketegangan antara mutan baik dan jahat yang diselipkan pada masa krisis misil Kuba. “X-Men: First Class” adalah tontonan menghibur dari awal hingga akhir, menyajikan action yang ciamik dan balutan cerita yang sangat menarik.

Rating 4 Bintang