Review Tarung (City of Darkness)

Jika mendengar Nayato membuat film horor, sepertinya saya tidak lagi harus kaget atau dia membuat film drama, itu juga sudah “keahliannya”. Responnya sih sama saja seperti kalau setiap pagi, tiba-tiba saya mules-mules pengen kebelakang, itu sudah biasa. Gimana kalau tiba-tiba Nayato membuat film action? sambil balik badan lalu ngesot saya pastinya menjawab “tidak mungkin”. Namun saya lupa satu hal, jika tidak ada yang tak mungkin bagi seorang dengan nama lengkap Nayato Fio Nuala, kalau dia bisa membuat kuntilanak kesurupan pocong kemudian lompat-lompat, masa sih bikin film berantem-beranteman saja tidak bisa, iya nga? “bodo ah”. Kalau tidak salah, saya tuh pertama kali mendengar tentang “Tarung” justru dari website film berbahasa Inggris, di artikel berita tersebut “Tarung” waktu itu masih berjudul “Fight: City of Darkness” dengan poster film yang didalamnya terdapat wajah-wajah yang sudah tidak asing lagi. Tebakan saya langsung menuju ke satu nama “pasti ini buatan Nayato”, tapi disana tidak ada nama orang yang punya nama lain Koya Pagayo ini (jika membuat film horor), melainkan nama yang tidak familiar, ditambah namanya berbahasa Mandarin pula.

Kalau tidak salah lagi (maklum sudah agak pikun akibat kebanyakan nonton film-film om Nayato), waktu itu juga “Fight” ini sempat bikin penasaran orang-orang, sempat juga ada “dibahas” seupil di twitter, ini film siapa? –tapi saat melihat cuplikan trailernya, saya semakin yakin ini film Nayato, dilihat dari gaya trailer yang memang sangat “Nayato banget”. Ternyata tebakan saya tidak meleset, jelang tanggal rilisnya di bulan September 2011, “Fight” memperlihatkan jati diri yang sebenarnya, di posternya terpampang jelas nama Nayato Fio Nuala, selain itu judulnya pun berubah menjadi “Tarung (City of Darkness)”. Sebuah judul yang sangat pas untuk sutradara paling produktif di negeri ini, ada kata-kata “Darkness”, yang mana cocok dengan gaya khas Nayato di film-filmnya, yaitu remang-remang gimana gitu. Entah ini tidak disengaja atau memang sengaja untuk mengolok-olok dirinya sendiri, hanya dia dan pocong yang tahu.

“Tarung” boleh saja punya genre yang beda dari film Nayato kebanyakan, action dibalut aksi martial-art tapi tetap saja film yang katanya baru rampung dalam waktu setahun ini, masih sangat lekat dengan ciri khas Nayato. Untuk soal cerita yang lagi-lagi ditulis oleh Ery Sofid (Film Pocong A-Z) dan kali ini juga dibantu Ian Janpanay (Virgin 2), “Tarung” memang tidak menawarkan sesuatu yang baru. Unsur-unsur yang nantinya ada di dalam cerita pun sudah pernah tersaji di ratusan film yang pernah Nayato buat, sebut saja anak muda yang orang tuanya nga jelas, bandar narkoba yang tidak pernah diperlihatkan dia jual narkoba atau pulsa, persahabatan tanpa chemistry, kisah cinta yang dipaksa romantis tapi malah terlihat bodoh, untung tidak ada lagi dialog macam “Kalo tetek aku kempes, pantat aku penyok, kamu masih cinta aku?”.

Review Tarung (City of Darkness)

Reno, Choky, Daud, dan Galang sudah diceritakan bersahabat sejak kecil, ketika mereka dipertemukan di sebuah panti asuhan Bunda Mulia pimpinan Ibu Lastri. Tapi jangan deh harap kita akan diperlihatkan adegan manis bagaimana kisah persahabatan tersebut bisa terjalin penuh drama, Nayato lebih memilih untuk memotong kisah masa kecil dan fokus ke masa suram anak-anak ini setelah dewasa. Reno baru saja keluar dari penjara, Choky kerjanya maling DVD (bajakan pula), begonya bukannya ditonton tuh DVD dibuang lagi. Daud satu-satunya yang paling bener, punya usaha yang bisa dibilang halal, kemudian Galang yang paling tidak jelas, kerjanya juga tidak jelas, hobinya pamer kalau dia baru saja bisa menghisap rokok dengan gaya cool, merasa paling jagoan, dan terakhir cowok yang memiliki rambut gimbal ini juga merasa paling suci, apalagi setelah bertemu Astrid, yang dikenalnya di sebuah club. Masalah hadir ketika ternyata musuh-musuh lama Reno tidak membiarkan dia betul-betul bebas, entah karena masalahnya apa, bos narkoba dan anak buahnya pun sekarang mengincar Reno, sampai-sampai merusak panti asuhan hanya untuk mencari Reno. Sahabat-sahabat Reno pun tidak tinggal diam, dia akan membantu Reno… sayangnya ketika mau dibantu, Reno justru “disembunyikan” oleh Nayato.

Seperti yang saya bilang diawal-awal, “Tarung” masih tidak lepas dari cacat permanen yang selalu ada di film-film Nayato, yah termasuk saya tidak lagi heran ketika karakter seperti Reno tiba-tiba menghilang tidak lagi diceritakan, lalu tiba-tiba muncul lagi pada saat film mau selesai. Gaya “menculik” salah-satu karakter ini tidak begitu mengganggu ketimbang cara Nayato bercerita, dengan cerita yang ditumpang-tindih seenaknya saja. Belum lagi editing khas film Nayato yang dari adegan satu ke adegan lain selalu berakhir berantakan, disini dosis merusak otaknya pun tampaknya dilipat-gandakan. Nah ditambah selipan-selipan footage tidak penting diantara cerita yang makin absurd, yang jika saya hitung-hitung malah lebih banyak dari adegan action di film ini. Entah karena kecintaan pada kereta api atau bagaimana, Nayato asyiknya menampilkan adegan kereta api lewat, hmm jika saya tidak salah hitung sih lebih dari 10 kali yang disebar random tidak karuan. Jika saja adegan-adegan mubajir yang hanya dipakai untuk kereta api lewat ini dikumpul, mungkin bisa dipakai untuk menambah satu adegan baku hantam lagi, karena kok saya tidak bisa melihat jelas mereka yang ada di film ini sedang berkelahi atau main pukul saja ke segala arah, atau justru menari jaipongan.

Adegan aksi pukul-pukulan memang terbukti ada di “Tarung”, jadi tidak asal tipu tampil di trailer saja. Namun deretan adegan yang dipersiapkan untuk memacu adrenalin, malah sebaliknya memacu darah untuk naik ke ubun-ubun. Adegan baku hantam disajikan lagi dengan esekusi yang membuat otak ini mengkerut, potongan scene ke scene-nya sangat gaib, tidak kelihatan oleh mata saya, alhasil adegan perkelahian super-cepat itu jujur saja sama sekali tidak bisa dinikmati. Bag-big-bug, tiba-tiba semua orang berdarah… bag-big-bug saya mengedip dan setelah membuka mata sudah ada orang yang terkapar disana. Padahal Nayato sudah baik hati tidak mengemas “remang-remang” itu adegan-adegan perkelahian, tapi tetap saja saya tidak bisa melihat dengan jelas siapa yang ditonjok dan kena tonjok, semua berlalu dengan sekejap mata, penonton kecewa. “Tarung” juga main darah yang muncrat kesana-kemari dan Nayato juga punya adegan action yang cukup menarik di dalam angkot, tapi dua itu tidak menyelamatkan film ini dari “kekalahan”-nya yang telak. Semua serba dibuat menyebalkan, tidak bisa dinikmati, drama dan action-nya berantakan, karakter-karakternya bikin saya ingin melempar mereka satu-persatu dengan gas tiga kilogram, yang disini digantikan dengan tabung pemadam. “Tarung” walaupun berada di dunia film aksi-aksi-an, tetap saja jadi “horor”, karena Nayato toh tidak pernah mau belajar, mengulang kesalahan-kesalahannya dan lebih memilih untuk men­jiplak saja ciri khasnya yang buruk itu ke film yang punya trailer menjanjikan ini.

Rating 3 Kancut

Premiere "Tarung"