Review Conan the Barbarian

“Conan The Barbarian” adalah karakter fiksi hasil ciptaan Robert E. Howard pada tahun 1932, dituang dalam cerita-cerita fantasi yang dia tulis dan kemudian diterbitkan sebuah majalah bernama Weird Tales. Conan pun sejak saat itu muncul di berbagai media, dari mulai komik, video game, hingga diangkat ke layar lebar di tahun 1982, peran Conan dimainkan oleh Arnold Schwarzenegger pada saat itu. Berpuluh-puluh tahun kemudian tokoh yang terkenal akan kebrutalannya ini kembali mengangkat pedang, menghunuskan ujungnya kepada penonton masa kini, tapi versi 2011 ini bukanlah sebuah remake, tidak ada kaitannya dengan film tahun 80an tersebut, melainkan sebuah kisah baru yang berdiri sendiri di dunia fantasi yang dibangun berdasarkan mitologi Conan.

Film bertema fantasi seperti “Conan The Barbarian” ini memang bukan hal baru, Marcus Nispel yang menyutradarai film ini pun sebelumnya pernah menangani film dengan tema serupa, berjudul “Pathfinder”. Walau hasilnya tidak terlalu bagus, ya setidaknya Marcus punya pengalaman membuat film sejenis, untuk urusan membuat film berdarah pun dia memiliki film yang tepat untuk dilirik, apalagi jika bukan debutnya sebagai sutradara film layar lebar, “The Texas Chainsaw Massacre”. Tapi dosa terbesar seorang Marcus yang akhirnya membuat saya ragu dengan hasil “Conan The Barbarian”, adalah bagaimana dia bertanggung jawab membuat ikon slasher, Jason Voorhees, tampak buruk sekali dalam remake “Friday The 13th” (2009). Keraguan saya ternyata terbukti usai menonton film ini di hari pertama pemutarannya di Indonesia, Conan berada di tangan yang salah.

Film ini mengawali kisahnya dengan begitu menarik, dinarasikan oleh suara khas Morgan Freeman, yang menceritakan tentang sebuah topeng berkekuatan magis yang dibuat oleh penyihir-penyihir Acheron di jaman Hyborean. Dengan topeng berada ditangan mereka, para penyihir ini berniat untuk menguasai dunia, namun setelah membunuh banyak orang dalam berbagai peperangan, mereka akhirnya dikalahkan oleh bangsa barbar. Topeng terkutuk itu pun dihancurkan dan kepingannya disebar ke penjuru negeri. Bertahun-tahun kemudian Khalar Zym (Stephen Lang) bersama pasukannya menyerang sebuah desa suku barbar Cimmerian. Tujuan Zym adalah mencari pecahan terakhir dari topeng Acheron, tentu saja untuk menguasai dunia. Suku yang dipimpin oleh Corin (Ron Perlman) ini pun dikalahkan, dia sendiri dibunuh dan seluruh desa dibantai. Conan, putra Corin adalah satu-satunya yang selamat, ia pun bersumpah menemukan Zym dan menuntut balas atas perbuatannya. 20 tahun kemudian, Conan tumbuh menjadi ksatria hebat, dibantu seorang teman dia pergi dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari Zym.

Review Conan the Barbarian

Conan sibuk mencari orang yang bertanggung jawab atas kematian sang ayah, saya sibuk dengan deretan sumpah-serapah selama bergulirnya film yang berdurasi 112 menit ini. Padahal saya begitu menikmati sajian di awal film dengan tidak memikul ekspektasi apa-apa terhadap “Conan The Barbarian”. Well, Marcus sanggup menyegarkan dahaga saya dengan adegan-adegan bacok-bacokan bersimbah darah pun sudah cukup bagi saya, tidak peduli jika cerita ditempa asal-asalan. Nah Marcus bisa mengabulkan permintaan saya itu di bagian awal film, ketika sejarah topeng Acheron diceritakan rasa penasaran saya mulai bergairah, berharap bisa diajak berpetualang di dunia fantasi Conan yang bisa dikatakan liar ini. Masa kecil Conan pun disajikan dengan brutal, dimana ia diceritakan berbakat menjadi ksatria hebat walau punya emosinya tidak stabil. Di bagian tersebut, saya masih bisa terhibur oleh Marcus yang menawarkan sisi brutal film ini, berharap nantinya cerita dan aksi semakin brutal. Entah kenapa saat Marcus memasuki bagian yang menceritakan Conan dewasa dengan ototnya yang sangar itu, rasa bosan mulai berkumpul, layaknya burung-burung pemakan bangkai, menggerogoti cerita yang mulai busuk.

Saya memang tidak berharap pada ceritanya dari awal, pun ketika ternyata “Conan The Barbarian” mulai memperlihatkan keganjilan pada skrip yang ditulis oleh Thomas Dean Donnelly, Joshua Oppenheimer, dan Sean Hood ini. Daripada saya peduli dengan cerita yang mulai klise, konyol dan bodoh, lebih baik sisa-sisa kewarasan saya ini dipalingkan kepada sajian aksi yang disiapkan oleh Marcus. Karena toh saya datang ke bioskop untuk melihat Conan memenggal banyak kepala, tapi Marcus lagi-lagi mengecewakan ketika sajian aksinya pun bagai pedang yang lama tidak dipakai dan tidak terasah, tumpul. Oke pertarungan pedang demi pedang masih ditawarkan oleh Marcus tapi tidak membuat saya bernafsu dan adrenalin ini tidak tergelitik sedikitpun. Saya justru mengantuk parah, walau tidak sampai tertidur di bioskop… sayang tiket berharga 30 ribu rupiah jika hanya dipakai untuk terlelap ditonton oleh Conan.

“Conan The Barbarian” untungnya masih bisa membuat saya terpukau, pertama oleh dunia yang dibangun film ini berdasarkan mitologi Conan. Lanskap-lanskap dunia yang berselimut fantasi diperkaya dengan desain-desain arsitektur bangunan yang cukup hebat. Dunia Conan ini masih sanggup memanjakan mata, apalagi ditambah dengan kostum-kostumnya yang juga menarik, terlebih untuk para villain yang karakter-karakternya tidak mengecewakan saya. Kedua, Rose McGowan, sebagai Marique, seorang penyihir wanita, sekaligus putri dari Khalar Zym, orang yang dicari Conan yang sekarang sudah menjadi penguasa karena bantuan topeng Acheron, dengan dandanannya yang unik dipadu dengan akting yang cukup baik, McGowan benar-benar terlihat berbeda dan begitu misterius. Dia satu-satunya yang berakting berkesan di film ini, jauh lebih baik ketimbang Conan yang diperankan oleh Jason Momoa yang hanya menang di otot dan bulu ketek, sebetulnya dari awal melihat gambar-gambar film ini, Jason memang tidak cocok menjadi Conan ya, itu menurut saya. “Conan The Barbarian” dengan ceritanya yang terpincang-pincang pun seperti habis dipukul oleh algojo-algojo Zym, makin babak belur dan membosankan. Si Conan pun makin terlihat bodoh ketika action yang ditawarkan film ini hanya brutal dan beringas di awal-awal saja, selanjutnya justru semakin tidak bernyali untuk menantang adrenalin penonton yang duduk terkantuk-kantuk di kursinya, menunjuk diri sendiri.

Rating 1.5 Bintang