Review Tendangan Dari Langit

Jika bertanya soal level fanatik bangsa ini terhadap olahraga sepakbola, saya tidak perlu ragu untuk menjawab “sangat tinggi”, Indonesia punya banyak penonton “gila bola” yang tidak hanya doyan nonton bola dan rela nongkrong di depan televisi untuk menonton tim kesayangan mereka main. Nah, pada saatnya masyarakat pecinta bola ini terpanggil untuk mendukung tim nasional, tidak peduli status yang menempel di tubuh mereka, semua jadi satu menyorakkan satu kata, yaitu “Indonesia”. Tidak perlu jauh-jauh, jika masih ingat ajang piala AFF yang berlangsung Desember lalu, kita bisa melihat seperti apa kecintaan masyarakat Indonesia kepada sepakbola. Nasionalisme bukan lagi omong kosong ketika kita melihat puluhan ribu suporter me-merahkan Gelora Bung Karno, yup sepakbola bisa menyatukan bangsa ini dan bangsa ini memang cinta sepakbola, titik. Namun lain soal jika berbicara soal film lokal yang mengangkat tema sepakbola, ketika masyarakat begitu mencintai sepakbola, film bertema sepakbola justru tidak banyak. Dari puluhan film lokal yang muncul setiap tahunnya, film bertema olahraga, khususnya sepakbola bisa dibilang dapat dihitung dengan jari. Termasuk salah-satunya yang paling berkesan adalah “Garuda di Dadaku” (2009), film arahan Ifa Isfansyah tersebut, walau masuk dalam kategori film anak-anak, namun dikemas dengan benar dan sukses menjadi tontonan yang menghibur bagi orang dewasa juga. Kita butuh tontonan yang membuat semangat!

Setelah sebelumnya menyutradarai film-film drama berbalut religi, Hanung Bramantyo (Sang Pencerah, Tanda Tanya) mencoba sesuatu yang baru, kali ini untuk yang pertama kalinya, Hanung menggarap film bertema sepakbola. “Tendangan Dari Langit”, memang film yang dibuat untuk menghibur namun disini Hanung seperti karya-karya sebelumnya, tampak tetap ingin menyisipkan sebuah “sentilan”, untuk urusan sentil-menyentil tersebut film ini memiliki Sujiwo Tejo, kali ini tentu saja yang jadi “korban” adalah sepakbola di negeri ini. Tapi itu hanya sebagian porsi “pemanis” dari apa yang akan ditawarkan film yang ceritanya ditulis oleh Fajar Nugroho (Queen Bee) ini, tendang-menendang si kulit bundar tetap jadi sajian utama. TDL akan memperkenalkan kita dengan Wahyu, remaja berusia 16 tahun yang jiwa dan hatinya dipenuhi impian, serta cinta sekali dengan yang namanya sepakbola. Wahyu yang lahir dari keluarga pas-pasan dan tinggal di Langitan, sebuah desa di lereng gunung Bromo ini tidak hanya cinta sepakbola, tapi juga dikarunia untuk bisa pintar memainkan bola. Karena bakatnya itu, Wahyu sering dipanggil untuk bermain di sebuah tim bola dalam pertandingan antar desa, dengan bantuan Hasan (Agus Kuncoro), pamannya, sebagai “manajer”. Tim yang diperkuat olehnya pun selalu menang dan Wahyu sering mendapatkan bayaran yang tidak sedikit untuk kemenangannya. Tapi kecintaan Wahyu terhadap sepakbola selalu terganjal oleh ayahnya (Sujiwo Tejo), yang tidak setuju anaknya bermain bola. Tentu saja, walau dilarang Wahyu tetap “bandel” dan  suatu hari takdir menghampirinya, mimpi untuk bisa bermain bersama Irfan Bachdim dan Kim Kurniawan di Persema akan segera terwujud.

Review Tendangan Dari Langit

Tidak hanya Wahyu yang mimpinya bermain di Persema bisa terwujud, tapi juga saya, mimpi untuk melihat film bola yang seru akhirnya dikabulkan, melalui “Tendangan Dari Langit”. Film ini pun memang menceritakan tentang meraih sebuah impian, lewat cinta, kemudian mimpi itu berhasil diwujudkan, walau ditempeli berbagai dramatisasi disana-sini, TDL masih mampu menggambarkannya dengan sangat baik. Sekilas mengingatkan saya dengan film-film bertema olahraga ala Hollywood tapi tidak meninggalkan citarasa lokalnya. Masih ingat dengan film “Goal! The Dream Begins” (2005), bisa dibilang TDL adalah versi Indonesia-nya, saya bilang “versi” bukan berarti menjiplak, tapi mengikuti sebuah standar film “from zero to hero” yang selama ini sudah ada. TDL tinggal meracik formula yang bisa dibilang “tidak baru” itu dan memasukkan unsur-unsur yang nantinya bisa dibilang Indonesia banget, hasilnya seperti yang saya bilang tadi ala Hollywood tapi masih bercitarasa negeri sendiri. TDL memang di luar ekspektasi saya, berasumsi film ini hanya biasa saja, tapi seperti terkena bola yang ditendang kencang oleh Hanung, saya lalu menyadari telah menonton film sepakbola yang secara mengejutkan seru sekali.

Mimpi tidak bisa diraih hanya dengan berdiam diri, menunggu nasib, atau secara instan begitu mudah tercapai. TDL sedikit banyak mencoba menggambarkan itu lewat karakter Wahyu, dia memang berbakat bermain bola tapi tidak kemudian menunggu bola untuk datang kepadanya, Wahyu tetap bersimbah keringat untuk mengejarnya, menggiringnya, dan begitu sampai tiba di depan gawang, dia menendangnya. Jika tidak berhasil merobek gawang dan menciptakan goal, dia tidak pernah menyerah, begitu pula ketika dia terjatuh di lapangan, dia akan bangkit, pada saat ayahnya melarang, dia tetap “bandel”. Demi apa yang dinamakan “mimpi”, memang tidak ada cara instan, semua butuh kerja keras. TDL tidak semata-semata menjual mimpi dalam film, tapi memberi contoh tanpa ingin sedikit pun menggurui, lewat penokohan Wahyu yang datang dari keluarga bisa dibilang miskin, tidak ganteng, dan “kampungan”, film ini seperti ingin berteriak, mimpi bukan suatu hal yang sulit untuk diraih, hanya butuh kerja keras, semua orang bisa melakukan itu asalkan tekun dan tetap fokus dalam jalan menuju meraih mimpi tersebut.

TDL jelas dibuat untuk menghibur kita dengan segala macam keseruan didalamnya, tapi disana juga banyak pelajaran yang bisa dipetik, ceritanya tidak membosankan dan dengan pemilihan dialog-dialognya yang menurut saya sangat tepat, film ini menjadi semakin nyaman untuk diikuti sampai selesai. Kisah persahabatan Wahyu dengan Mitro (Jordi Onsu) dan Purnomo (Joshua Suherman) digambarkan begitu tulus dan terkadang terselip juga kelucuan-kelucuan diantara mereka. Kisah romansa Wahyu dengan Indah (Maudy Ayunda) juga disajikan dengan manis tidak cengeng dan berlebihan. Hubungan Bapak dan anak-lah yang tampaknya begitu menyita perhatian hati saya, begitu menyentuh dan chemistry antara Yosie Kristanto dan Sujiwo Tejo begitu apik, begitu juga akting yang ditampilkan keduanya, juara! “Tendangan Dari Langit” sudah sukses menghibur dan juga menyentuh hati penontonnya. Dengan kawalan Faozan Rizal, yang sudah sering bekerja sama dengan Hanung, dibalik kamera, alam Gunung Bromo pun dipotret dengan ciamik, menghasilkan gambar-gambar indah sebagai “sesaji” untuk memanjakan mata penonton. Sekali lagi Hanung, di luar ekspektasi saya, ternyata sudah berhasil membuat film tentang sepakbola yang menghibur dan seru, dia berhasil menggiring hati saya juga untuk cinta dengan film ini. Setiap pertandingan sepakbola dalam film ini pun dikemas benar-benar keren sekali! seperti berada di tengah-tengah pertandingan yang sebenarnya, seru dan juga menegangkan! “Tendangan Dari Langit” benar-benar film bola banget!

Review 4 Bintang