Review Legenda Sundel Bolong

Jika ditanya film terbaik Hanung Bramantyo sampai saat ini, saya tidak pikir panjang dan langsung menjawab “Catatan Akhir Sekolah”, tunjuk tangan yang setuju dengan saya! Film drama berlatar belakang masa-masa di penghujung kelulusan SMA, yang menurut saya tidak akan terkikis oleh waktu, coba deh ditonton 10 tahun lagi, pasti masih menarik dan menghibur. Lalu bagaimana dengan genre horor, boleh jujur saya belum menonton “Lentera Merah”, film horor pertama Hanung, tapi justru melompati film itu dan lebih memilih “Legenda Sundel Bolong”, yang kata orang sih seram, makanya saya penasaran. Setelah ditonton, respon pertama saya “ewww kok begini”, padahal melihat judulnya saja saya sudah bergidik tapi tidak dengan kontennya. Baiklah berbicara soal sundel bolong, salah-satu hantu khas kepunyaan negeri sendiri ini, pastinya saya langsung mengingat film sang ratu horor, Suzanna. Siapa yang bisa lupa dengan dialog ngeri yang keluar dari mulut sundel bolong di depan tukang sate, “Sate 200 tusuk, makan disini.” dan “Biarin! Mentah juga enak!”, yah dengan tata rias sederhana si sundel bolong pun asyik memakan sate dengan lahap, sampai akhirnya si tukang sate melihat punggungnya bolong.

“Legenda Sundel Bolong” bukanlah remake film tahun 80-an tersebut, dengan memberi embel-embel legenda, sudah jelas film ini berniat untuk mengisahkan asal muasal hantu yang selalu hobi kibas rambut…eh maksud saya membalikan badan dan memperlihatkan punggungnya ini. Alkisah Sarpa (Baim) jatuh cinta kepada Imah (Jian Batari), seorang penari ronggeng yang cantik jelita. Setelah menikah mereka memutuskan untuk pindah ke desa sebelah, Sindangsari dan memulai kehidupan baru, itupun karena desa dimana mereka berasal sudah sangat meresahkan, apalagi setelah ditemukannya mayat seorang wanita di sebuah kali, penari ronggeng juga. Di Sindangsari, Sarpa bekerja kepada tuan tanah pemilik perkebunan, Danapati (Tio Pakusadewo), sebagai buruh pemetik teh. Oleh karena terbujuk rayu nafsu melihat istri Sarpa, niat jahat berkeliaran di kepala Danapati.

Review Legenda Sundel Bolong

Sarpa pun diberi tugas ke Sumatera oleh tuannya, tanpa menyadari itu sebuah rencana licik untuk menyingkirkannya jauh dari sang istri, agar Danapati bisa bebas menjalankan “misi” busuknya. Benar saja, setelah Sarpa pergi, Imah dipanggil ke rumah Danapati, yah awalnya untuk memberikan upah bulanan suaminya, kemudian menawarkan pekerjaan. Imah menolak tetapi terlambat, minuman yang sudah tercampur obat segera bereaksi dan dia jatuh tak sadarkan diri. Bangun-bangun Imah sudah berada di kamar dengan kondisi hampir telanjang, dia pun sadar kehormatannya telah direnggut. Imah sekarang menjadi tahanan Danapati, untuk memuaskan nafsu bejatnya dan juga menyiksa Imah. Beruntung akhirnya Imah bisa melarikan diri tetapi orang-orang Danapati berhasil menangkap dan memperkosanya. Upaya Danapati untuk melenyapkan Imah tidak berhasil, karena Imah ternyata masih hidup dan kembali ke rumahnya. Namun ada yang aneh setelah kejadian yang menimpa Imah, seisi kampung sekarang diteror oleh hantu berpunggung bolong.

“Sun..sun…sundel bolooong!!”, dialog itu tidak ada disini, karena disini orang-orang pun belum tahu memanggil si hantu dengan sebutan apa, belum kenalan. Sama seperti saya yang belum “kenalan” dengan cara Hanung yang membuat film horor dengan muatan politis didalamnya. Jujur saja saya langsung tidak suka, walaupun Hanung masih mampu menurunkan level “serius” film ini, agar nantinya masih bisa dinikmati alias masih tetap komersil juga. Tapi upaya Hanung untuk membuat semua pihak senang, berakibat pada filmnya yang kelihatan “kebingungan” menentukan arah, apalagi melihat ending-nya itu. Sebuah penutup yang buruk menurut saya, memasukkan bumbu politik yang pada masa dimana film ini ber-setting memang sedang panas-panasnya. Namun sempilan cerita yang menyenggol soal “pihak kiri” ini punya penempatan yang tidak pas, seperti dipaksakan masuk begitu saja, numpang lewat, ah kenapa tidak fokus pada horor saja sih.

Dari segi horor pun bisa dikatakan “Legenda Sundel Bolong” tidak benar-benar punya nyali untuk menakuti penonton. Oke, film ini memiliki Jian Batari, yang saya akui untuk urusan melakonkan sundel bolong aktingnya sudah tepat, dengan didukung juga dengan tata rias yang cukup baik, ditambah efek punggung bolong. Sayangnya Hanung seperti tidak mampu membangun atmosfir horor yang tepat dan cara menyampaikan ketakutan itu pun gagal, ketika saya melihat bagaimana si hantu punggung bolong ini mengejutkan korban dan penontonnya, terlalu biasa dan sama sekali tidak menakutkan. Tapi ada satu adegan yang saya akui menarik, cukup seram, yaitu ketika Pah lurah (atau kepala desa) mengejar Imah masuk ke hutan, Imah menghilang di kegelapan kemudian tiba-tiba saja muncul menari-nari, meleak-leok ala tarian ronggeng, ditutup dengan pamer punggung. Well sepertinya hanya itu adegan yang bener-benar nyangkut, selebihnya membosankan. Walau tidak seram, saya tetap acungi jempol untuk sinematografi dalam film ini, cukup cantik dalam membalut latar belakang pedesaan dan juga hutan-hutan di sekitarnya. Tapi sekali lagi itu sundel bolong kenapa bisa nempel-nempel di langit-langit rumah, dengan ditambah efek yg kasar, mood saya segera drop tidak karuan. “Legenda Sundel Bolong” boleh saja sepertinya ingin mencoba menyamai keseraman atau sebagai sebuah “tribut” untuk film-film horor 80-an, sayangnya gagal menakuti saya.

Rating 2.5 Tengkorak