Review Hantu

Seorang wanita bertampang ketakutan berlari di hutan sendirian, dikelilingi kegelapan ia mencoba menghindar dari kejaran sesuatu yang tidak bisa kita lihat. Tiba-tiba kesunyian dipecahkan oleh suara teriakan, bersamaan dengan munculnya sosok siluet hitam yang mendekat dengan cepat menerkam si wanita dan juga kamera. Itu sepenggal adegan yang ada di film “Hantu”, tepatnya adegan pembuka, ciri khas yang biasa ada di film berhantu, bertujuan untuk membuat penonton penasaran sejak awal film dimulai. Untuk tujuan itu, film ini cukup berhasil, tepat sasaran, karena setelah itu saya memang jadi penasaran apa yang menyerang si wanita, lebih tepatnya makhluk apa? Dilihat dari luar, film ini tampak sederhana, lihat saja judulnya yang tidak “komersil” (berbeda dengan film horor sekarang yang harus punya judul panjang dengan embel-embel pocong, iya nga), tapi judul yang ringkas tersebut justru makin membuat kita bertanya-tanya, hantu apa sih yang akan ada di film ini? pocong, kuntilanak, atau genderuwo. Judul singkat tersebut pun mewakili apa yang nantinya kita tonton, yah film tentang hantu.

“Hantu” pada awalnya mungkin saja akan dianggap remeh, melirik bahwa ini adalah debut seorang Adrianto Sinaga sebagai sutradara, lalu di deretan cast utamanya juga tidak meyakinkan, karena hanya terdiri dari bintang sinetron yang baru bermain di satu film layar lebar saja, ditambah Oka Antara yang sebelumnya sudah membintangi “Dunia Mereka (2006)” dan “Gue Kapok Jatuh Cinta (2006)”, tapi keduanya bukan film horor. Jejak rekam perfilman yang belum “matang” ternyata tidak dijadikan sebuah halangan, toh mereka, termasuk juga Dhea Ananda, mampu menjawab keraguan akan akting para pemainnya. Kita pertama kali diperkenalkan oleh Gali (Oka Antara), kemudian pacarnya, Rinjani (Dhea Ananda), lalu kawan-kawannya Ray (Dwi Andhika), Maya (Monique Henry), dan Indra (Andhika Gumilang), dengan tujuan mereka untuk berkemah di hutan Setra Wingit, sekaligus menemukan sebuah telaga yang dipercaya hanya mitos saja. Gali dan kawan-kawannya awalnya agak kesulitan menemukan orang yang mau mengantar mereka, sampai akhirnya ada pria pemabuk dan tukang judi yang sudi mengantar dengan imbalan uang 150 ribu, itu pun sayangnya tidak sampai ke tempat tujuan.

Dengan modal berjalan kaki, Gali dan yang lain sampai ke hutan yang dituju, berkemah disana, dan semua tampak normal-normal saja. Tentu saja karena ini film horor, kejadian-kejadian aneh mulai “bertamu” diantara hangatnya api unggun. Dari hanya bayangan-bayangan yang berkeliaran hingga Ray yang diganggu ketika mandi tengah. Puncaknya, salah-satu dari mereka, Rinjani, ditemukan tidak ada di kemahnya keesokan paginya. Maya mengaku melihat dia pergi dengan Gali semalam, namun ternyata Gali sendiri tidur pulas semalaman. Gali menyalahkan Maya dan Indra yang bisanya hanya pacaran, tentu saja Indra marah, perselisihan pun mulai “menghantui” acara kemah mereka. Syukurnya Ranjani segera ditemukan, seramnya setelah itu kejadian berbau supernatural menyusul, dimulai dengan Ranjani yang kesurupan. Lupakan tujuan mereka datang ke Setra Wingit untuk bersenang-senang dan menemukan telaga, karena sekarang satu-satunya yang harus dilakukan adalah menemukan Ranjani yang kembali hilang, bertahan hidup, dan keluar cepat-cepat dari hutan yang lama-kelamaan membunuh akal sehat mereka.

Review Hantu

Apakah “Hantu” seram? Well saya akui film tahun 2007 ini tidak begitu menyeramkan, tapi bukan berarti jelek secara keseluruhan. Debut penyutradaraan Adrianto Sinaga ini seharusnya bisa dijadikan contoh bagaimana film horor mestinya dibuat, karena memang Adrianto membuatnya dengan “baik dan benar”. Kesampingkan dulu pernyataan saya di awal bahwa film ini tidak begitu menyeramkan, kenapa? karena “Hantu” punya sesuatu yang secara mengejutkan bisa lebih ditonjolkan ketimbang hanya menjadi film berhantu yang seram doang. Kesalahan film horor lokal itu terlalu bernafsu untuk membuat para penontonnya ketakutan, alhasil kadang mengkesampingkan cerita, bahkan jika melihat apa yang dilakukan Nayato dan kawan-kawan sekarang ini, cerita tidak penting, apa yang kemudian ditonjolkan adalah penampakan. Semakin sering ada penampakan bagi mereka sepertinya bagus, cerita nomor kesekian, tidak ada cerita yah tidak apa-apa. Baiklah, saya akan maklum jika hasilnya mampu membuat saya terkencing-kencing, sebaliknya justru malah muntah-muntah dan berakhir menginap beberapa hari di rumah sakit, saking jelek film dan setan-setannya. “Hantu” punya porsi yang seimbang, dalam soal ingin menakuti dan juga bercerita, sekali lagi ini horor yang memang buatnya dengan “niat”.

Adrianto yang pernah duduk di bangku art director untuk film Eliana, Eliana (Riri Riza, 2002) dan Ada Apa Dengan Cinta? (Rudi Soedjarwo, 2001), benar-benar tahu bagaimana memperlakukan “Hantu”, dengan tidak terburu-buru tapi tepat timing-nya, Adrianto apik dalam membangun cerita, horor, sekaligus juga para karakter. Selagi cerita bergulir tidak membosankan dan menarik, Adrianto mampu memanfaatkan setting hutan dengan sangat baik untuk menciptakan horor atmosferik yang pas, sambil “mempermainkan” mood dan rasa penasaran penonton, film ini juga dengan lihai tampil cantik menggerakkan kamera, menghasilkan gambar-gambar yang artistik, muram, spooky, dan juga menyeramkan. Nah untuk urusan penampakan pun, Adrianto begitu berhati-hati, dia perlahan-lahan mencoba memperkenalkan sosok peneror dengan sabar. Yup si hantu tidak dibuat terlalu narsis dan senang untuk di-closeup kamera, selalu muncul di sudut-sudut tak terduga, penampakan hantu berambut gembel ini selalu saja menarik, mengerikan, dan mengagetkan. Momen-momen horor di “Hantu” memang tidak begitu seram, tapi tetap jempolan.

“Hantu” bisa dibilang tipe film horor yang lebih banyak membuat kita membayangkan bagaimana jika berada di situasi yang sama dengan mereka, misalnya sedang mandi dan di”isengi” oleh si setan gembel, ngeri banget. Film ini juga tidak banyak membuat saya kaget, seperti “Pocong 2”, lebih kepada penasaran dan akhirnya dibuat merinding ketika sesi penampakan dimulai. Ada kesamaannya antara Rudi Soedjarwo dan Adrianto, kedua sutradara ini cakap memanfaatkan lokasi filmnya, Rudi di “Pocong 2” dengan arsitektur gedung dan ruang-ruang sempitnya, sedangkan “Hantu” bergantung pada hutan, untuk membangun atmosfir horor yang tepat, hasilnya setannya belum nongol saya sudah lebih dahulu ketakutan. Satu lagi yang menonjol dalam “Hantu”, jarang film horor lokal yang mampu membuat saya bersimpati pada karakternya, tidak dengan film ini. Walau setiap karakter dalam film tidak diceritakan dengan jelas, tapi pembangunan karakternya cukup baik, singkat kata Adrianto berhasil membuat saya tidak ingin terjadi apa-apa dengan Gali dan teman-temannya. Karakter-karakter dalam film pun menjadi “penting” karena mereka dimainkan dengan natural oleh para pemainnya, begitupula dengan dialog-dialog dalam film ini yang “renyah” masuk ke kuping, tidak noraklah.

Mencari film horor yang menghibur? “Hantu” bisa dijadikan pilihan, tidak saja menjadi hiburan dalam soal cerita tetapi juga “menghibur” nyali penonton, emosi juga ikut naik-turun selagi kita melihat perselisihan diantara Gali dan kaean-kawannya. “Hantu” mampu menawarkan kengerian sekaligus ketegangan, pada saat Adrianto mulai mengaduk takdir masing-masing karakternya, memilah-milah mana yang jadi “santapan” pertama si setan gembel. Angkat topi untuk bagian artistik yang telah mendesain sedemikian rupa si setan, serius ini salah-satu hantu-hantuan keren yang dimiliki film horor lokal. Hantu yang unik karena bukan pocong, kuntilanak, atau hantu-hantu lokal yang familiar. Setelah semua digarap jempol oleh Adrianto, dari cerita hingga horornya, giliran musik dan efek suara pengantar dalam film membalut “Hantu” semakin ciamik dalam upayanya menciutkan keberanian penontonnya, yup setiap kali adanya penampakan, pasti diiringi dengan musik yang pas menghantarkan saya ke mimpi buruk hutan Setra Wingit. Jika saja film-film pocong yang marak sekarang digarap oleh sutradara macam Adrianto, mungkin bisa saja jadi lebih baik, sepertinya tidak mungkin…film-film itu ditakdirkan untuk Nayato.

Rating 3.5 Tengkorak