Review The Beaver

Rilisnya “The Beaver” menandakan sudah tiga buah film yang disutradarai Jodie Foster, dua film terakhirnya dibuat tahun 90-an, “Home for the Holidays” di tahun 1995 dan di tahun 1991, Foster melakukan debut penyutradaraan film, lewat “Little Man Tate”. Tapi sebelum itu, sebetulnya Foster sendiri sudah duduk di bangku sutradara di sebuah serial horor televisi, “Tales from the Darkside”, dia terlibat di episode “Do Not Open This Box” (1988). Sebagai seorang sutradara namanya memang belum terlalu diperhatikan, bahkan mungkin banyak yang tidak tahu kalau Foster, selain jago berakting juga pernah menjadi sutradara. Tapi sebagai bintang film, aktris kelahiran Amerika pada 19 November 1962 ini pastinya tidak perlu ditanyakan lagi bagaimana kualitas aktingnya. Pernah menyabet dua Oscar, untuk kategori aktris terbaik di The Accused (1988) dan The Silence of the Lambs (1991), Foster memang selalu bisa tampil prima di film-filmnya walau karakter yang dia mainkan kadang terlihat biasa saja. Bisa dibilang nama Foster itu selalu cocok jika dia memerankan karakter yang nyawanya terancam, “Thriller” sudah seperti menjadi nama tengahnya saja. Apapun filmnya jika namanya dipampang di poster, sudah pastilah mengundang rasa penasaran, saya termasuk penggemar Jodie Foster.

Kali ini di “The Beaver”, selain sibuk menyutradarai filmnya, nama Foster juga akan ada di daftar pemain, diduetkan dengan aktor yang akhir-akhir ini sedang berbenturan dengan berbagai macam isu kontroversial, Mel Gibson. Lucunya karakter Mel di film ini, yaitu Walter, cocok sekali dengan kehidupannya di dunia nyata, pria dengan deretan masalah. Aktor yang juga sutradara ini—Apocalypto, The Passion of the Christ, dan Braveheart bagi saya adalah film-film keren yang dia buat—akan memerankan seorang CEO pada  sebuah perusahaan mainan, sekaligus suami dari Meredith (Jodie Foster) dan ayah dari dua orang anak, Porter (Anton Yelchin) dan Henry (Riley Thomas Stewart). Pekerjaan yang hebat dan keluarga yang indah, seharusnya membuat Walter bahagia, tapi tidak! dia justru menghadapi tembok besar dalam hidupnya.

Review The Beaver

Walter dalam masalah besar, depresi berat telah membuatnya menjadi orang lain, tidak bersemangat, seakan hidupnya sudah berakhir di ujung tali. Istrinya sudah “bosan” melihat Walter yang terkurung dalam jeruji depresi, anak tertuanya, Porter, membenci ayahnya. Walter akhirnya keluar dari rumah, tidak saja meninggalkan keluarga, tapi dia berniat untuk “meninggalkan” kehidupan, yah bunuh diri tapi beruntung dia masih diselamatkan alias gagal. Setelah tidak sadarkan diri karena terjatuh, Walter terbangun kemudian mendapati boneka berang-berang yang dia kenakan di tangan, sekarang bisa berbicara, mengajak dia ngobrol lebih tepatnya. Sebuah keajaiban atau sekedar kegilaan lain dari Walter, apapun itu, yang pasti boneka ini akan mengubah hidup Walter 180 derajat, kembali lebih normal, benarkah?

Si berang-berang menjadi bintang di “The Beaver”, tentu saja berkat performa akting Mel yang sanggup membuat boneka tangan tersebut benar-benar terlihat hidup, dibantu Ray Winstone dengan aksen british-nya yang kental untuk suara si berang-berang. Mel sukses mengubah sebuah boneka menjadi aktor tambahan. Jadi rasanya tepat juga memberi judul film ini “The Beaver”, tapi tentu saja boneka hanya akan menjadi boneka jika bukan karena berada di tangan yang tepat, dan dikelilingi pemain-pemain yang berakting cakap. Mel sebagai orang yang sedang depresi benar-benar menyita rasa simpatik, sebetulnya jika pernah melihat raut wajah memelas khas Mel Gibson tidak lagi asing dengan mimiknya di film ini. Justru karena penjiwaannya yang baik sebagai orang yang tidak lagi punya semangat untuk hidup inilah, kita sebagai penonton juga menerima rasa yang sama, Mel berbagi depresinya dengan kita walau tidak sepenuhnya, karena saya masih tetap bingung kenapa dia bisa sedepresi itu. Itu sebagai Walter, beda lagi ketika aktingnya berubah 180 derajat, memerankan si berang-berang. Hanya lewat suara dan gerakan-gerakan terbatas, boneka tersebut hidup dan berbagi semangat dan kelucuaannya, tapi menyimpan sesuatu yang kelam dibalik bulu-bulu sintetisnya. Mel Gibson betul-betul juara di film ini, ketika harus membagi perannya sebagai Walter dan si berang-berang.

Nah sayangnya Jodie Foster sendiri bisa dibilang porsinya cukup dianak-tirikan, karakter dia di “The Beaver” kurang begitu tergali, walau wanita yang bekerja sebagai desainer roller coaster ini punya momentum-nya sendiri, tapi masih kurang untuk memperlihatkan akting Foster yang sebenarnya. Walau begitu sebagai seorang istri dari Walter, Foster masih mampu memperlihatkan dan membagi kekuatan dan emosinya, chemistry dengan Mel juga terjaga dengan baik. Entah kenapa film ini justru terlalu banyak meng-ekspos cerita tentang Porter, anak tertua Walter. Kisah lika-liku remaja yang sedang mencari cintanya dibawah bayang-bayang kebencian dengan sang ayah, bisa terlihat bagaimana Porter mencoba mencatat berbagai kesamaan dia dan ayahnya dan ingin menghilangkan itu. Cukup menarik memang kisah Porter disini tapi saya lebih memilih film ini bisa lebih fokus pada Walter saja. Dari segi cerita pun sebenarnya bisa dibilang standart, dengan “The Beaver” yang berjalan dengan tempo aman, menceritakan bagaimana Walter yang depresi semakin menutup diri dan bertransformasi penuh menjadi “kepribadian lain”, si berang-berang. Dibawah arahan seorang Jodie Foster, film ini tidaklah jelek tapi tidak juga sebagus apa yang saya harapkan sebelumnya. Beruntung jajaran pemainnya tidak mengecewakan dan mampu mengantar penonton untuk tidak bosan dari awal hingga ke akhir film, terutama melihat aksi boneka berang-berang di tangan Mel Gibson.

Rating 3.5 Bintang