Review Ironclad

Jangan bayangkan “Ironclad” sebagai film kolosal besar, dengan setting sekitar abad ke-13, dengan cerita seputar pergolakan di tanah Inggris ketika King John berkuasa, film ini bisa dibilang sebuah kisah epik dalam skala kecil, tapi bukan berarti tidak menarik. Bagi yang haus akan film adu pedang, saya akui film ini tidak mengecewakan, apalagi sajian pertempurannya pun dikemas tanpa basa-basi, dalam artian tidak malu-malu dalam soal memamerkan kesadisan, sekilas mirip dengan formula yang ditawarkan Neil Marshall di “Centurion”, banyak darah dan banyak tubuh terkoyak pedang. “Ironclad” dibuka dengan sebuah narasi yang menceritakan Inggris tidak habis-habisnya dilanda peperangan, antara pihak pemberontak yang dipimpin oleh para Baron dan raja mereka yang terkenal kejam, King John (Paul Giamatti). Perang demi perang terus berkobar sampai akhirnya pihak yang bersiteru, para Baron dan King John, sepakat untuk menyudahi peperangan tersebut.

Perdamaian pun tercipta berkat sebuah piagam perjanjian yang dikenal dengan sebutan Magna Carta. Selembar kertas yang dibubuhi tanda tangan King John dan para Baron tersebut tidak hanya mengakhiri perang berkepanjangan, tapi juga membatasi kekuasaan King John. King John yang selalu haus kekuasaan dan tampaknya ingin berkuasa mutlak di Inggris, akhirnya tidak betah dengan janjinya sendiri yang sudah dia tanda-tangani. Magna Carta pun dia abaikan, ditambah dengan “restu” Paus di Roma yang mengatakan bahwa piagam perjanjian tersebut sesat, King John makin menjadi-jadi, merasa dirinya paling benar dan mengatasnamakan Tuhan atas segala tindakannya. Dia pun bersiap mengambil apa yang selama ini menjadi milik para Baron, bersama pasukan bayaran yang dipimpin oleh pria barbar tinggi besar dengan rambut putih dan panjang, Tiberius (Vladimir Kulich). Selain ingin menguasai setiap istana yang berdiri di tanah Inggris, si raja juga tidak segan-segan menghabisi nyawa siapa saja yang menghalangi, termasuk para Baron yang dia klaim sudah menghianati dirinya karena menandatangani Magna Carta. King John akan lebih mudah menguasai Inggris apabila dia berhasil merebut satu kastil yang bisa dikatakan paling strategis, Rochester Castle.

Review Ironclad

Namun satu kastil inilah yang akan menjadi penghalang paling menyusahkan bagi King John. Sekelompok ksatria, ditambah pasukan kecil, yang jika dijumlahkan tidak lebih dari 20 orang akan mati-matian mempertahankan kastil tersebut untuk tidak jatuh ke tangan Raja, walaupun diserang habis-habisan dengan jumlah pasukan yang jauh lebih besar dan peralatan yang lebih lengkap. Dipimpin oleh seorang ksatria templar, Marshall (James Purefoy), mereka harus bisa bertahan di kastil Rochester sampai pasukan Perancis datang untuk membantu mereka menggulingkan King John. Dikatakan sebagai misi bunuh diri, ada benarnya juga, Marshall dan pasukannya bukan saja harus bertahan dari musuh tapi juga menguasai diri mereka sendiri dari kelelahan menghadapi ratusan pasukan King John yang tidak henti-hentinya memanjat tembok kastil untuk merebutnya, sekaligus juga merobohkan semangat para pemberontak. Apakah Marshall berhasil mempertahankan kastil tersebut sampai pasukan Perancis datang?

“Ironclad”, seperti yang saya singgung di awal, tidak akan basi-basi, itu juga berlaku dari cara Jonathan English menuturkan ceritanya, lewat cerita yang juga ditulisnya sendiri, dia tidak akan kemana-kemana tapi tetap fokus bertahan di kastil Rochester, dengan sedikit bumbu cerita sejarah sebagai background story-nya. Adapun hal yang mengganggu pada saat cerita berjalan adalah adanya selipan romansa antara karakter Marshall dengan Lady Isabel (Kate Mara), istri Baron, sang pemilik Rochester, yang saya rasa tidak perlu ada dan hanya membuat filmnya tertahan untuk melambat. Tapi Jonathan tahu dia tidak bisa berlama-lama terjebak dalam kisah cinta, walaupun tujuannya untuk menarik simpati, karena yang dibutuhkan film ini dari awal adalah aksinya yang cepat tanpa basa-basi dan saya rasa simpati kita terhadap karakternya sudah terbentuk dengan sendirinya ketika kita melihat mereka dengan mati-matian mempertahankan kastil dan juga nyawa mereka. Itu pun ditunjang dengan karakter-karakter yang masing-masing punya keistimewaan.

Jonathan jelas tahu apa yang ingin dia sajikan untuk penonton, sebuah film action adu pedang yang saya akui cukup sadis, bahkan di awal saya tidak menyangka jika film ini begitu senang obral darah dan juga banyak bagian tubuh yang seenaknya ditebas dengan mudah sampai terbelah. Oh ya! Jonathan jago sekali membuat saya senang dengan bagian gore dalam film, itu membuat saya tidak peduli dengan durasi, yang ternyata tanpa sadar saya sudah duduk selama sekitar 2 jam tanpa bosan sama sekali… errr ralat, mungkin sedikit bosan ketika tiba waktunya Lady Isabel mencoba mengganggu iman sang ksatria templar. Serius karakter dan kelakuan Kate Mara disini sama sekali tidak penting dan tak perlu ada dalam cerita (maaf bagi penggemar Kate Mara). Secara keseluruhan “Ironclad” mampu tampil menghibur dengan keterbatasannya, bisa dilihat dari bujetnya yang cukup untuk membuat peperangan dalam skala kecil itu. Karakter-karakternya menyenangkan, didukung oleh performa akting yang baik, terutama Paul Giamatti, cocok sekali dikasting sebagai raja yang bengis, pria yang emosinya selalu meluap-luap. Tapi karakter yang bagi saya paling mencuri perhatian adalah Tiberius, siapapun yang membuat desain karakter untuk Tiberius, terima kasih sudah membuat seorang tokoh villain yang sangar, apalagi penjahat yang dimainkan oleh Vladimir Kulich ini punya porsi cerita tersendiri disini.

Rating 3.5 Bintang