Setelah diceritakan 3 tahun berkelana menimba ilmu dan berlatih untuk menjadi yakuza hunter, Asami kembali ke kota dimana dulu dia pernah tinggal sekaligus mengunjungi sang master Inokuma (Sakichi Sato), yang menjalankan bisnis bar kecil-kecilan di kota tersebut. sayangnya sekarang “kampung halamannya” tidak lagi berwajah sama. Yakuza ternyata menguasai kota dan mengusir paksa para penghuninya karena mereka sendiri ingin mendirikan pusat judi besar-besaran di kota itu nantinya. Inokuma termasuk orang yang mereka usir tapi dia salah-satu orang yang tetap bertahan, konsekuensinya adalah harus rela dikunjungi para yakuza dan menerima “imbalannya”. Di saat Inokuma babak belur di depan barnya, tiba-tiba orang yang dia kenal muncul dihadapannya, “Asami… you’re back”. Pertemuan guru dan muridnya pun berlanjut di dalam bar, Inokuma segera bercerita tentang nasib kota yang sekarang kacau balau sejak dikuasai yakuza.

Setelah itu karena alasan keamanan, Asami dititipkan ke Miki (Yumi Yoshiyuki), yang ternyata juga salah seorang pemburu yakuza, dulu sekarang sudah pensiun. Tidak perlu waktu lama untuk Asami sampai akhirnya bertatap muka dengan anak buah Murakawa, bos yakuza di daerah itu. Anak buah Murakawa sebetulnya tidak perlu dikhawatirkan Asami, karena mereka tidak ada apa-apanya dibandingkan dia, beda dengan seorang pembunuh bayaran yang nantinya dipanggil Murakawa untuk meladeni Asami. Akira (Hitomi Miwa), yang punya skill tinggi dalam membunuh dan sanggup menghentikan peluru ini jelas lawan tanding yang sepadan untuk Asami. Namun keterlibatan Asami ternyata berbuntut panjang, tidak hanya harus berhadapan dengan Akira, tetapi dia harus rela kehilangan orang yang dicintainya, saatnya untuk balas dendam.

“Yakuza Busting Girls: Duel in Hell” (Sukeban Hunters: Jigoku no Kettou), dari judul aja sudah aneh bin ajaib, tapi yang jelas film ini bisa ditangkap lebih serius ketimbang film-film klan Sushi Typhoon, yang didalamnya ada filmmaker-filmmaker freak nan jenius macam Yoshihiro Nishimura (Tokyo Gore Police) dan Noboru Iguchi (The Machine Girl). Dari cerita pun film yang disutradarai oleh Shin’ichi Okuda lebih bisa dicerna oleh logika, walau masih dibumbui adegan gore konyol tapi saya kira levelnya masih cukup sopan dibanding film-film senada. Dengan durasi yang hanya 73 menit, “Duel in Hell” seharusnya mampu memaksimalkan hiburannya sepadat mungkin, namun sayangnya itu tidak terjadi karena bersama Okuda yang juga terlibat penulisan skrip, film ini terkesan buang-buang waktu menyisipkan terlalu banyak drama, mungkin maksudnya ingin agar kita punya simpati dengan Asami lewat hubungan yang dia bangun dengan Miki dan juga Inokuma, masternya. Cerita yang bertele-tele juga dibarengi dengan esekusi Okuda yang menyetel tempo film ini lamban, hasilnya cukup membosankan di paruh pertamanya.

Untungnya ada adegan-adegan baku-hantam yang cukup menghibur walaupun sekali lagi kurang digarap maksimal, setidaknya melihat Asami memberi pelajaran kepada yakuza sudah membuat mata saya yang loyo ini cerah kembali, mengingatkan tangguhnya Asami ketika dia juga berhadapan dengan yakuza di “The Machine Girl”, bukan…dia bukan si gadis bertangan gergaji mesin itu tetapi orang yang membantu dan menjadi partner Ami. Ok lanjut “Duel in Hell”, untuk urusan koreografi perkelahian juga masih kaku, apalagi mulai aneh ketika Asami mengeluarkan jurus angin tornadonya, tapi justru itu yang saya tunggu dari film ini, kekonyolannya. Nah yang paling bisa dikatakan jempolan di film ini adalah keterlibatan Yoshihiro Nishimura (bosen juga lama-lama denger nama dia mulu, hahahaha) di departemen spesial efek, seperti biasa pria berkepala plontos yang punya tradisi datang ke premier filmnya hanya dengan celana dalam khas Jepang ini kembali memperlihatkan kebolehannya meracik efek yang mumpuni dan tetap bego tiada duanya.

Di paruh kedua Shin’ichi Okuda beruntung mampu meningkatkan greget film ini, alhasil “Yakuza Busting Girls: Duel in Hell” masih bisa menghibur di akhirnya dengan segala aksi balas dendam Asami. Tapi sayangnya duel di akhir digarap ala kadarnya oleh Okuda padahal saya berharap banyak pertarungan antara Asami dan Akira. Film ini memang punya banyak plot hole dan keanehan lain, sampai saya menulis review ini, saya masih tidak mengerti kenapa Inokuma yang katanya master itu kok lembek dan selalu babak belur oleh yakuza, padahal dia orang yang melatih Asami. Biarlah itu menjadi misteri, mungkin jawabannya bisa terkuak di prekuelnya “Yakuza-Busting Girls: Final Death-Ride Battle”, awalnya film ini ingin dijadikan trilogi tetapi diputuskan diproduksi hanya dua film saja. Ok dengan akting yang juga datar, apalagi karakter Akira yang mubajir itu, “Yakuza Busting Girls: Duel in Hell” begitu flat di paruh pertama filmnya, tetapi berhasil memperbaiki kesalahannya ketika Okudo sadar filmnya sudah mulai mendekati akhir durasi. Walau disana ada nama Yoshihiro Nishimura, jangan berharap film ini seaneh film-filmnya, setidaknya kita masih bisa melihat darah muncrat khas Nishimura. Semoga prekuelnya bisa lebih bagus…nanti akan saya review juga di blog ini.

http://twitter.com/#!/raditherapy/status/69803732698791936