Kendati diramaikan oleh seluruh personil band Ungu, “Purple Love” bukanlah film yang mendedikasikan dirinya untuk menceritakan kisah dibalik band tanah air yang digawangi oleh Makki, Onci, Rowman dan Enda, Pasha tersebut. Bukan juga film musikal, tetapi murni sebuah drama atau bisa dibilang komedi romantis, yang untuk tujuan mendongkrak popularitas filmnya, diajaklah band yang notabennya sudah memiliki basis massa cukup banyak, dari Sabang sampai Marauke. Mungkin “Purple Love” dari awal memang dibuat untuk mereka, tidak ada salahnya dan sah-sah saja, dan Ungu bukan band yang pertama melakukan itu, sebelumnya ada “Tarix Jabrix” yang pemainnya diisi oleh para personil band Changcuters, film ini rencananya juga akan merilis sekuel keduanya alias film yang ketiga. Di awal tahun 2011, grup band Wali juga tak mau kalah dengan muncul di film semi-biografi band mereka, “Baik-Baik Sayang”.

Ok baiklah saya bukan penggemar band Ungu dan saya akui tidak tahu satupun lagu-lagu mereka, familiar dengan beberapa lagunya mungkin iya tapi yang jelas jika ditanya judul lagunya, saya akan geleng-geleng kepala. Kenapa jadi curhat? mari lanjutkan, Pasha dan kawan-kawan nantinya tidak hanya akan melakukan debut berakting di layar lebar, tapi juga akan menyumbangkan beberapa lagu-lagu hitsnya menjadi soundtrack di film ini, untuk berkolaborasi bersama adegan-adegan di “Purple Love”. Bukan penggemar band Ungu tidak lantas membuat saya berat sebelah dalam menilai filmnya, karena bukan fans lalu menjelek-jelekkan filmnya karena faktor tidak suka band-nya, uuugh itu tidak adil namanya. Lalu tidak hafal lagu-lagu Ungu juga tidak berarti saya harus menutup kuping ketika lagu-lagu itu hadir, musik mereka okay dan cocok-cocok saja dileburkan ke dalam cerita, tapi sayangnya saya memang tidak cocok dengan musiknya…eh tidak mengurangi nilai film ini kok, kan saya sudah bilang musik mereka oke-oke saja, titik.

Pasha, Makki, Onci, Rowman dan Enda bekerja di sebuah agensi yang mereka miliki bersama, diluar itu, kelimanya juga adalah sahabat yang sangat kompak dan saling bantu jika salah-satu dari mereka sedang kesusahan. Termasuk pada saat Pasha sedang patah hati karena mengetahui kekasihnya Lisa (Qory Sandioriva) sudah jalan bareng dengan laki-laki lain, huh! sebal…sebal..sebal. Makki dan yang lain tentu saja tidak ingin Pasha semakin terperosot jatuh dalam jurang ke-galau-an, sebelum terlambat, mereka buru-buru mencari sebuah solusi. Beruntung ada sebuah lembaga bernama “Purple Heart” yang katanya bisa menolong orang-orang yang patah semangat seperti Pasha ini. Melalui sang pemilik, Talita (Nirina Zubir), sebuah skenario pun dilancarkan untuk menyembuhkan patah hati Pasha, termasuk berusaha menjodohkan dia dengan Shelly (Kirana Larasati), yang diketahui belakangan sama-sama klien Talita. Lucunya, Shelly malah kesengsem dengan Onci, sedangkan Pasha yang tidak suka dijodoh-jodohkan justru semakin dekat dengan Talita. Orang yang sebenarnya dibayar untuk mencarikan Pasha jodoh pengganti Lisa yang pergi, sekarang justru seperti ditakdirkan untuk mengisi kekosongan di hati Pasha, well apakah dengan terungkapnya kebenaran, keduanya masih bisa bersatu?

“Purple Love” ternyata tidak menghadirkan sesuatu yang bisa dibilang benar-benar baru ke dalam jalinan ceritanya yang ringan itu, tapi juga tidak sampai terjerumus dalam daftar film-film buruk, film yang disutradarai oleh Guntur Soeharjanto (Kabayan Jadi Milyuner) ini masih berada di jalur yang aman untuk bisa dinikmati sebagai film yang utuh dengan tujuannya untuk menghibur, yah menghibur memang apalagi. Sebagai sebuah film yang punya misi untuk membuat penonton tertawa atau setidaknya tersenyum, “Purple Love” memiliki Nirina Zubir yang punya peran untuk menghadirkan tawa dalam film, walau tidak seriang film-film rom-comnya terdahulu dan agak kaku disini, tapi tawa khas Nirina dan keterlibatannya dalam beberapa adegan yang dipersiapkan untuk lucu di film ini masih punya daya magis untuk memancing mood bahagia. Toh saya masih bisa senyum-senyum kecil itu tandanya film ini masih berhasil menghibur, kenyataannya dalam urusan banyolan, “Purple Love” untungnya tidak melakukan sesuatu yang dibuat-buat ataupun dipaksakan untuk lucu, sederhana tapi mengena, itu sudah cukup.

Sayangnya, untuk urusan romantis, “Purple Love” terlalu mengada-ngada dengan balutan dialog yang terdengar cheesy, ah apa yah tepatnya…oh kata-kata gombal yang sudah basi lebih cocok sepertinya. Untuk tugas segala tetek-bengek romantis itu, “Purple Love” mengandalkan seorang Pasha yang selalu dijaga image-nya untuk menjadi sang Arjuna yang cool. Pasha sebetulnya membosankan disini, untungnya ditemani teman-temannya, Makki, Onci, Rowman dan Enda yang walaupun diporsikan sebagai “tim hura-hura” tapi selalu tepat sasaran dalam menghibur. Rowman misalnya selalu mampu menghadirkan celetukan-celetukan lucu yang sifatnya spontan. Film yang juga menghadirkan seorang Monty Tiwa sebagai sutradara kedua ini tak hanya pintar gombal tetapi juga mengulur-ngulur waktu. Paruh pertama “Purple Love” bisa dibilang yang paling menyenangkan, sebaliknya ketika memasuki paruh kedua, film yang juga menghadirkan Kirana Larasati sebagai cewek lebay ini mulai membosankan. Apalagi pada saat “Purple Love” bisa saja diakhiri dengan ending A tetapi justru dipanjang-panjangkan lagi untuk sampai ke ending B. Terlepas dari kekurangannya yang juga sering muncul di film-film Indonesia sejenis, “Purple Love” tidak dipungkiri masih bisalah dipandang sebagai film yang menghibur, menyenangkan di beberapa momennya, dan lagu-lagu Ungu juga jadi teman yang cocok ketika film ini bergulir dari menit ke menitnya, khususnya bagi fans grup band ini.