Two bedrooms…twice the fear!

“Paranormal Activity 2: Tokyo Night” bukanlah produk remake, bukan juga usaha negeri sakura untuk menantang sekuel versi Amerika dengan membuat sekuel tandingannya, ini juga bukan film produksi Asylum, studio yang kerap memproduksi film-film mockbuster untuk mendompleng kelarisan film aslinya, termasuk merilis “Paranormal Entity” di tengah fenomena “Paranormal Activity” pada tahun 2009 silam dalam usahanya untuk kebagian “cipratan” dari larisnya film mikro-bujet tersebut.

Tokyo Night dibuat dengan sepengetahuan pihak Paramount Pictures, bahkan film ini bisa dibilang sekuel resmi dari “Paranormal Activity” yang rilisnya sendiri di Jepang berbarengan dengan sekuel versi Amerika. Dikembangkan oleh studio asal Jepang, Presidio, bekerjasama dengan pihak lainnya, Tokyo Night mengklaim dirinya sebagai sekuel paralel, dengan kemasan masih dalam wilayah horor mockumenter, walau punya cerita yang bisa dibilang berdiri sendiri tapi film yang ditulis dan disutradarai oleh Toshikazu Nagae ini tetap terikat oleh dunia aktivitas paranormal buatan Oren Peli. Apa yang akan menjadi benang merah antara film ini dengan “Paranormal Activity”? itu akan terkuak sendiri di filmnya nanti.

Sekuel paralel atau apapun sebutannya, “Paranormal Activity 2: Tokyo Night” toh pada akhirnya tidak lebih seperti sebuah remake dari film pertama bagi saya, memang tidak seluruh film dikopi dan dibuat versi lain, tapi akan ada beberapa adegan di film ini yang pastinya akan sangat-sangat familiar dan langsung mengingatkan saya pada “Paranormal Activity”…tentu saja sekali lagi dengan nuansa film horor yang saya akui Jepang banget. Saya tidak akan memberitahu adegan-adegan yang mana saja, yang sudah menonton film pertama pasti akan langsung sadar dan mungkin berkata “kok mirip yah”.

“Paranormal Activity 2: Tokyo Night” jelas dari judulnya akan mengambil lokasi di kota Tokyo, Jepang. Film ini dibuka dengan kedatangan kembali Haruka (Aoyama Noriko) ke kampung halamannya setelah mengalami kecelakaan di Amerika dan menyebabkan dua kakinya patah, yang memaksa Haruka sekarang harus betah berada di kursi roda. Koichi (Nakamura Aoi) adik laki-lakinya yang sedang mengandrungi hobi barunya merekam lewat kamera video, langsung mendokumentasikan kedatangan kakaknya dan kemudian hari-hari berikutnya di rumah mereka. Karena ayahnya harus pergi untuk urusan bisnis, maka Koichi dipercaya untuk merawat kakaknya yang sedang dalam masa penyembuhan tersebut. Tidak butuh waktu lama, sampai akhirnya Haruka dan Koichi menyaksikkan kejadian-kejadian aneh yang berhasil direkam oleh kamera.

Ketimbang menyebutnya sebagai sekuel paralel dengan “Paranormal Activity 2” versi Amerika, “Tokyo Night” ini seperti apa yang saya katakan di paragraf sebelumnya lebih cocok disebut remake film pertama buatan Oren Peli tersebut. Tidak ada sesuatu yang bisa dikatakan baru dalam urusan film ini untuk menakut-nakuti, tapi “Tokyo Night” saya akui memang punya kelebihan tersendiri dalam soal membuat atmosfir film menjadi menyeramkan. Keunggulan tersebut salah-satunya datang dari lokasi rumahnya, entah kenapa rumah-rumah di Jepang selalu saja bisa membuat saya merinding duluan sebelum setannya muncul. “Tokyo Night” dengan baik dapat memanfaatkan suasana rumah untuk nantinya menopang horor yang ingin disajikan. Kamera Koichi juga dengan tanggap bisa mengeluarkan suasana horor rumah tersebut, dari kamar, lorong-lorong sempit dan gelap, sampai menuruni tangga sekalipun bisa jadi sensasi yang menakutkan.

Horor Jepang sepertinya sudah betah nongkrong di memori ini, jadi jika melihat tangga, otak saya langsung bekerja dengan baik menyampaikan sebuah pesan menakutkan yang mengingatkan saya dengan kemunculan Kayako (hantu di seri Ju-on). Walau ini produk Jepang, penampakan khas hantu-hantunya tidak akan menular di “Tokyo Night”, justru sebaliknya film ini lebih pelit penampakan dari “Paranormal Activity” sekalipun. Dengan mendaur-ulang cara-cara yang dilakukan “Paranormal Activity” dalam hal menakuti dan membuat penonton jantungan, kemudian menambahkan ciri khas horor atmosperik Asia, khususnya Jepang, “Tokyo Night” sebetulnya secara keseluruhan tidaklah begitu seram.

Eits! tapi tunggu dulu “Tokyo Night” masih bisa dikatakan horor yang menarik, apalagi film ini masih punya kejutan istimewa di akhir-akhir filmnya yang pastinya akan makin mengajak anda untuk ketakutan, ho-oh 10 menit menuju ending adalah momen paling menakutkan dan terbaik yang dipunyai “Tokyo Night”. Selebihnya kita akan diajak ke tahapan-tahapan scary-moment dengan urutan yang makin menanjak, dari hanya pintu yang terbuka sendiri, suara-suara seseorang dengan kaki gajah melangkah di lantai kayu, sampai hal-hal gaib yang mulai membuktikan eksistensinya dengan mengganggu korban lewat fisik mereka. Seperti halnya “Paranormal Activity” dan sekuelnya Amerikanya, “Tokyo Night” juga ditulari kehandalan untuk membuat penonton harap-harap cemas, momen-momen antisipasi inilah—biasanya dimulai dengan kamera yang mulai merekam kejadian di malam hari, kemudian diiringi oleh iringan musik yang khas—yang kadang membuat saya sudah membayangkan yang macam-macam lebih dahulu, yah terkadang bayangan saya lebih horor ketimbang apa yang ternyata disajikan “Tokyo Night”. Tapi setidaknya usaha film ini untuk menakuti berhasil, walau hasilnya tidak maksimal, kata-kata “oh gitu doang” selalu keluar selepas kejadian demi kejadian ditampakkan.

Untuk urusan akting, kedua bintangnya, Aoyama Noriko sebagai Haruka dan Nakamura Aoi yang memerankan Koichi mampu memperlihatkan chemistry yang pas sebagai kakak beradik. Namun upaya mereka untuk mengajak penonton ketakutan dirasa masih kurang, apalagi Noriko yang justru terdengar mengganggu ketika berada dalam momen ketakutan ditambah wajahnya yang kurang mampu menampakkan mimik ketakutan, kurang begitu meyakinkan, berbeda ketika dia sudah dalam status “kesurupan”, saya ngibrit-sengibrit-ngibritnya selimutan (hahahaha). Nakamura juga tidak begitu membantu, aktingnya bisa dibilang biasa saja sepanjang film tapi memang ketika film ini menaikkan kengeriannya di akhir, aktingnya juga sedikit membaik. Sebagai sebuah remake, eh maksud saya sekuel paralel, “Tokyo Night” memang kurang menyeramkan tapi tidak serta merta mencap film ini sebagai horor yang buruk. “Tokyo Night” sudah sukses dalam menghadirkan nuansa yang horor sekali walau tidak maksimal kedepannya dalam soal penyajian. Toshikazu Nagae tahu betul mengurung kita untuk penasaran dan selalu berantisipasi dengan hal-hal ganjil yang kemungkinan terjadi, tapi memang hasilnya begitu lemah dalam usahanya membuat kita “jantungan”. Walau begitu “Tokyo Night” masih tetap masuk dalam daftar horor yang menghibur, tidak ada salahnya untuk ditonton kalau penasaran.