Bukan cuma manusia yang bisa kesurupan…

Buat judul seseram mungkin, muncul deh tuh judul dengan lokasi-lokasi angker, “Hantu Jeruk Purut” atau “Kereta Hantu Manggarai”. Sekarang karena Nayato sudah mengganti kiblatnya dari membuat film horor (serius) menjadi film horor (komedi)—yang ternyata keduanya sama-sama gagal—kita tidak akan lagi melihat judul-judul menakutkan dari film sutradara seribu nama ini, sebagai gantinya hadir judul film seperti “Pocong Ngesot” dan sekarang “Kuntilanak Kesurupan”. Untuk mendukung hobi baru Nayato membuat horor komedi (bukannya sudah dari dulu yah horor Nayato identik dengan komedi, dalam artian niatnya menakuti berujung pada komedi membawa sengsara), tentu saja judul film yang konyol wajib hukumnya. Tapi pertanyaannya apa bedanya dengan film horor yang katanya komedi ini dengan film-film yang niat dibuat horor, saya bisa bilang: tidak ada! karena ini hanya bentuk pengakuan dari Nayato sendiri kalau dia tidak becus bikin horor yang seram, makanya lebih baik membuat yang komedi sekalian. Loh tapi kenapa ketika sudah membuat film komedi, ujung-ujungnya malah horor yah Nay?

Dipasangkan kembali dengan penulis Ery Sofid, yang juga sudah menulis untuk beberapa film Nayato, termasuk “Pocong Jumat Kliwon”, “18+ : True Love Never Dies”, dan yang paling fenomenal “Lewat Tengah Malam”, kenapa fenomenal? karena satu-satunya film Nayato yang bisa dibilang paling cerdas. Cerita dari Sofid mungkin bisa seperti layaknya bunglon yang bisa berganti-ganti warna, disini dia hanya mengganti judulnya menjadi “Kuntilanak Kesurupan”, tapi isinya toh tidak ada bedanya dengan “Pocong Ngesot” dan Nayato sekali lagi diberi kesempatan untuk menghancurkan filmnya sendiri lebih dari apa yang ia lakukan sebelum-sebelumnya. Kesekian kalinya status yang saya berikan kepada Nayato di “Virgin 3”: Satu sutradara menghancurkan segalanya, masih akan berlanjut.

Jika “Kalung Jailangkung” punya kuntilanak dan “Pocong Nge***t” jelas hadirkan hantu pocong, kali ini “Kuntilanak Kesurupan” mencoba menduetkan keduanya, bukan untuk saling cakar-cakaran dan beradu untuk menentukan siapa yang pantas menerima julukan hantu paling populer, sebaliknya dua ikon hantu yang paling sering muncul di layar lebar ini akan dipasangkan untuk saling membantu menakuti anak-anak muda yang tidak becus dalam segala hal, disuruh akting takut pun yah seadanya, ya…ya toh ini hanya komedi jadi untuk apa akting-akting serius. Masih dengan kostum putih-putih buluk karena entah kotoran apa yang dioleskan ke mereka, pocong dan kuntilanak ini akan dipaksa muncul setiap detik, saya tahu upah mereka tidak sebanding dengan pekerjaan berat di film ini.

Ada dua setan populer di negeri ini pun percuma ketika Nayato menyatukan filmnya bak tumpukan kartu remi yang berantakan setelah disandung Koya Pagayo. Cerita seputar kemunculan hantu yang tiba-tiba, setelah salah-satu karakternya, Wesley Jabrik (Guntur Triyoga), menerima pekerjaan menulis biografi seorang artis terkenal Indra Devian yang ternyata pernah menghamili anak gadis orang. Nah mudah ditebak sekarang, kalau hantu yang mengganggu Wesley dan kawan-kawan termasuk Alice (Irish Bella) adalah hantu gadis yang mati setelah mencoba menggugurkan kandungannya di dukun. Aneh bin gaib dan ajaibnya kenapa yang mati cewek trus yang muncul setan cowok, dimana-mana kan kuntilanak itu perempuan berambut panjang, kok ini seperti mengkasting penghuni taman lawang, yah kuntilanak yang patut dipertanyakan status gendernya.

Sebetulnya saya juga tidak perlu kaget karena di “Pocong Ngesot” hal ini pernah terjadi, yang mati perempuan eh setelah jadi hantu kok berubah jadi pocong cowok. Mungkin hantu-hantu perempuan sudah tidak mau lagi main di film Nayato ya, lebih baik mereka bekerja di luar negeri, jadi THW (Tenaga Hantu Wanita) ketimbang kerap dianiaya di film horor Nayato. Tidak punya pilihan lain Nayato pun merekrut kuntilanak bertampang gagah. Jika kemunculan kuntilanak ada sebab dan akibatnya, entah apa alasan pocong juga latah ikut nimbrung main di film ini, karena kejelasannya perlu dikonfirmasi pada si pocong sendiri, apakah dia ingin memulihkan nama baiknya karena sebelumnya dipaksa ngesot? atau Nayato menjanjikan dia akan dipasangkan dengan tante kunti yang hot, tapi ternyata justru membuat pocong kembali bermuka masam plus kecut.

Seperti tampang hantu pocong yang carut-marut, masam, dan tidak dipedulikan nasibnya, “Kuntilanak Kesurupan” juga tidak mempedulikan nasib penontonnya yang sudah sangat menderita ketika diajak lompat kaya pocong dari adegan satu ke adegan lainnya. Sudah capek lompat, adegan-adegan tersebut pun keseringan tidak punya keterkaitan antara satu dengan yang lainnya, tidak menceritakan sebuah cerita yang utuh tetapi menyambung sepotong demi sepotong adegan, pokoknya biar pas dulu deh sama durasi, film jadi nga nyambung itu sih urusan belakangan. Pokoknya di setiap adegan harus ada kemunculan pocong dan kuntilanaknya, mereka harus dibuat selucu mungkin, pemain lain tidak perlu deh akting macem-macem, cukup teriak seadanya dan tampilkan mimik wajah ketakutan juga ala kadarnya. Nayato disini benar-benar fokus “menghajar” harga diri hantu habis-habisan, sepertinya semua yang sudah dia tampilkan di film-film horor komedi sebelum “Kuntilanak Kesurupan” ini, kembali dimunculkan lagi lengkap dengan segenap karakter yang sama (termasuk Aziz Gagap yang berperan kembali sebagai bencong) dan tidak lupa mengajak kita ke lokasi-lokasi yang sudah sangat familiar.

Untuk membedakan “Kuntilanak Kesurupan” dengan film horor komedi yang dibuat oleh Nayato dua tahun lalu (bagi Nayato membuat film itu cukup satu film dalam setahun, jadi dia bingung sendiri jika ada yang bilang dia adalah sutradara paling produktif), dia tak perlu repot-repot mencari komedi lebih pintar atau menggali cerita lebih dalam, tinggal masukan apa yang sudah dia buat di film sebelumnya, biarkan film ini basi dan busuk dengan adegan-adegan macam pocong dikentuti sampai pingsan atau segudang adegan yang beratus-ratus kali menampilkan hantu yang justru diajak basa-basi tidak lucu. Tidak cukup sampai di situ, untuk lebih memiringkan otak yang sudah bergeser beberapa centi, film ini punya cara cerdas lain dengan menambahkan bunyi-bunyian berisik yang katanya sih biar terkesan horor banget, tapi tak lebih dari suara kentut setan yang sebelumnya abis makan alat-alat musik rusak, polusi suara dan melelehkan gendang telinga.

Jika ada yang bertanya apa hubungan film ini dengan judul film “Kuntilanak Kesurupan”, sebenarnya bisa dibilang tidak ada, oh iya ada adegan seupil nyamuk di akhir cerita yang menampilkan kuntilanak bengong kemudian disodok pocong (dirasuki), si kuntilanak pun akhirnya lompat-lompat, apakah itu ada hubungannya? saya terlalu bodoh menyimpulkan adegan tersebut ada hubungannya dengan judul. Dari sekitar 400 jam durasi “Kuntilanak Kesurupan”, adegan di akhir itu yang jujur benar-benar menghibur saya, ditambah karena akhirnya saya bisa terbebas dari siksaan sinematik yang diciptakan Nayato. Semoga saja Nayato tidak tergoda untuk membuat sekuel “Kuntilanak Kesurupan Pocong”.