Film buatan tahun 1974 ini bukan film horor yang menceritakan tentang jin penunggu pintu kereta api kok (tertawa), tetapi sebuah drama keluarga yang berbalut tragedi dan juga komedi. Inilah yang jadi daya tarik film-film klasik kepunyaan negeri ini, selalu punya film dengan judul-judul yang unik, salah-satu contohnya yah film karya Wahab Abdi ini, “Raja Jin Penjaga Pintu Kereta Api”. Alkisah diceritakan Gono (Sukarno M. Noor) adalah bekas pemain lenong, dulu perannya sebagai raja jin. Sekarang ketika tidak lagi melenong, Gono bekerja sebagai penjaga pintu kereta api untuk menafkahi keluarga. Ternyata keahliannya menari yang didapatnya dari peran raja jin di lenong ada gunanya juga ketika dia bosan menunggu kereta yang lewat, Gono spontan akan menari tak kenal malu dilihat banyak orang yang lalu lalang setiap dia menutup pintu kereta.

Keunikan si penjaga pintu kereta yang satu ini pun cepat menyebar dan Gono berubah bak selebritis, makin banyak mobil ataupun bis yang lewat hanya untuk melihat aksi tarian Gono, kala menunggu kereta api lewat, para penumpangnya pun tak segan-segan untuk keluar dari bis. Ramainya perlintasan kereta api pun langsung dimanfaatkan warung-warung untuk mengambil keuntungan, malangnya Gono yang niatnya hanya ingin menghibur sekarang justru dimanfaatkan pemilik warung untuk menaikkan profit penjualan, parahnya kepala stasiun pun ikut-ikutan mengambil kesempatan untuk “cari muka” dengan memberi Gono perintah untuk terus menari atas nama “pelayanan servis” jawatan kereta api. Gono pun terpaksa menari lagi bukan karena hati namun “perintah”, tarian sang ayah juga membuat anak-anaknya sedih karena selalu diejek teman-temannya yang sebut ayah mereka sebagai badut dan orang gila. Apa boleh buat, hanya tarian dan pengabdian yang bisa diberikan Gono walau hasilnya terbilang hanya cukup untuk makan sehari-sehari. Pada saat Gono sedang susah, cobaan sekali lagi mengunjunginya lewat anak perempuannya yang lumpuh akibat terjatuh dari pohon. Malangnya Gono…

“Raja Jin Penjaga Pintu Kereta Api” tidak melulu memaksa kita untuk berlinang air mata melihat keluarga Gono yang hidup serba kekurangan, dihujani cobaan, dan dijauhi dari nasib baik. Toh disela-sela drama-drama yang dibuat untuk upayanya menyentuh nurani penonton dan merangsang air mata untuk jatuh ke pipi, Wahab Abdi yang merangkap sebagai penulis cerita bersama dengan Asrul Sani mampu juga memasukkan tawa dalam film ini. Komedi-komedi ringan yang misinya memberi hiburan segar lewat aksi anak-anak Gono dan karakter kartun yang dimainkan oleh Mansjur Sjah, yang bermain sebagai kepala stasiun. Berbicara soal akting, Sukarno M. Noor betul-betul menghadirkan sebuah performa akting yang komplit dan maksimal, dia sanggup menari, membuat tawa, tidak ketinggalan juga menguras air mata ketika sudah waktunya dia memainkan porsi drama yang menyedihkan. Sukarno M. Noor memang bisa dibilang pemain yang paling mampu mengajak kita untuk tersentuh dengan aktingnya yang meyakinkan, mencuri perhatian di setiap adegan, dan paling menonjol di antara pemain lain, mungkin hanya Mansjur Sjah yang berakting lebih komikal yang mampu mengimbangi dengan kekonyolannya.


Kejar daku, kejar dakuu, biar kau kutangkaaap… itulah sepenggal bait dari lagu dangdut yang mengiringi film tahun 1985 (tahun dimana saya baru dilahirkan) yang bisa dibilang adalah film komedi romantis terbaik yang dimiliki negeri ini. Jalinan cerita “Kejarlah Daku Kau Kutangkap” memang terlihat sederhana namun Chaerul Umam mengemasnya dengan penuh daya pikat, layaknya Ramadan yang terpikat dengan kecantikan Ramona dan sebaliknya Mona yang terpikat oleh kebaikan Ramadan, penonton juga pada akhirnya dibuat terpikat oleh kisah cinta yang seru antara Ramadan dan Ramona. Awal pertemuan Ramadan dan Ramona dimulai di sebuah pertandingan bola voli, Mona ketika itu sedang bertanding dan Ramadan sedang meliput pertandingan tersebut, keduanya tidak saling kenal bahkan sempat bersitegang di lapangan voli. Sampai keesokan harinya, Mona lalu dikejutkan dengan foto dirinya terpampang di sebuah surat kabar, dengan judul “yang bernasib baik hari ini” dan berhak dengan hadiah uang 10.000 rupiah, Mona seharusnya senang mendapat hadiah tetapi dia justru ingin menuntut balik wartawan yang memotret dirinya karena fotonya jelek dan dimuat tanpa ijin.

Dari sinilah Ramadan dan Ramona jadi sering bertemu, Ramadan sendiri diminta atasan untuk membujuk Mona agar bisa mengurungkan niatnya membawa kasus ini lebih panjang lagi, bujukan Ramadan pun sepertinya berhasil bahkan dia sukses “membujuk” hati Ramona. Mereka lalu saling jatuh cinta dan memutuskan untuk buru-buru menikah. Namun pernikahan tersebut tidaklah melulu indah seperti dibayangkan, awalnya memang pernikahan Ramadan dan Ramona terlihat sangat manis tapi bulan demi bulan berlalu dan akhirnya ujian pahit mulai membumbui hubungan mereka. Apakah mereka akan mampu bertahan? Apakah kita juga mampu menahan sakit perut karena terus dihujani humor-humor lucu yang tiada habisnya. “Kejarlah Daku Kau Kutangkap” bisa dibilang sebuah film yang kompak saling mendukung antara porsi komedi dan juga romansa. Ada kalanya momen-momen romantis (yang tidak berlebihan) yang alami, tidak dibuat-buat, lugu, dan manis akan hadir menyita perhatian mata dan juga hati untuk menjadi saksi kisah cinta antara Ramadan dan Ramona. Di saat yang tepat dan dengan formula yang cerdas dari cerita yang ditulis oleh Asrul Sani, takaran komedinya pun mampu melebur menjadi satu tanpa merusak keromantisan yang sudah dibangun, romantis dan lucu secara bersamaan berjalan berbarengan, bergandengan untuk menghibur penonton, lihatlah adegan dimana Ramadan yang datang untuk melamar Mona, romantis, kocak, dan juga klasik.

Membicarakan film yang sukses mendapat “Piala Antemas” sebagai film terlaris pada 1985-1986, Piala Citra untuk skenario terbaik, Piala Bing Slamet untuk komedi terbaik, dan tujuh nominasi, termasuk ‘Film Cerita Terbaik’ dalam ajang penghargaan Festival Film Indonesia ini, tidak lengkap jika tidak menyinggung para pemainnya yang telah memperlihatkan dedikasi yang tinggi pada akting di “Kejarlah Daku Kau Kutangkap”. Deddy Mizwar dan Lidya Kandouw yang memerankan kedua tokoh utama Ramadan dan Ramona tidak hanya menampilkan performa akting yang apik, tetapi juga menghadirkan chemistry yang tiada duanya, berhasil sebagai pasangan yang sedang dimabuk cinta dan juga sebaliknya meyakinkan sebagai pasangan suami-istri yang sedang dilanda “cobaan”.

Rasanya pincang jika hanya mereka berdua yang disorot dalam cerita, sebagai variasinya ada Ully Artha sebagai teman Mona, bernama Marni, aktingnya sebagai teman yang menyebalkan memang juara. Tapi jika urusan dialog-dialog juara, Ikranegara sudah pasti tidak terkalahkan, perannya sebagai Markum betul-betul mencuri perhatian. Markum yang tidak lain adalah paman Ramadan boleh saja bertampang kutu buku dan belum kawin tapi jika sudah memberi nasehat tentang wanita, dia jagonya. Markum juga jago untuk urusan mengocok perut penonton bukan dengan adegan-adegan komedi slapstick tetapi dengan tingkah polanya yang “pelit senyum” dan juga sekali lagi dialog-dialognya yang sanggup mengirim seseorang ke rumah sakit jiwa. Jarang sekali film Indonesia yang mengandalkan dialog sebagai senjata dalam film komedi, dan film ini berhasil. “Kejarlah Daku Kau Kutangkap” mengalir dengan kesederhanaan cerita, ditemani romansa serta komedi yang juara, inilah film yang tidak akan pernah bosan untuk ditonton berulang-ulang, tidak hanya untuk menyegarkan dahaga saya akan film-film komedi-romantis yang berkualitas ala negeri sendiri, tetapi juga untuk menengok kembali betapa cantiknya Mona… maksud saya Lidya Kandouw (tertawa), salam kompak!