Spilled blood never dries…

Kalau pernah menonton film karya Pierre Morel berjudul “Taken” yang dibintangi oleh Liam Neeson, pasti tidak akan asing lagi mengikuti jalan cerita “22 Bullets”, film berasal dari Perancis yang sama-sama diproduseri oleh Luc Besson (The Professional) ini. Film yang dibintangi aktor kawakan Perancis, Jean Reno, yang tidak hanya bermain di puluhan film Perancis berbagai genre tapi juga terkenal di film-film Hollywood seperti “The Da Vinci Code” dan “Godzilla” ini akan membawa penonton ke dalam kisah balas dendam. Seperti halnya Liam Neeson yang diperlihatkan lagaknya “pria yang punya 9 nyawa”, Jean Reno juga diperlihatkan bagai sosok yang “susah mati”, keduanya juga diberikan kesamaan lain, yaitu masih terlihat manusiawi, bisa sakit, bisa berdarah, bisa menangis, bukan sosok “mesin balas dendam” yang tak bisa mati. “22 Bullets” nantinya memang dengan aktif akan mengajak penonton berkejar-kejaran antara pemburu dan yang diburu, upaya Jean Reno yang berperan sebagai Charly Mattei dalam menuntaskan misi balas dendam, namun di luar itu, “22 Bullets” juga menghadirkan drama keluarga dengan porsi yang lebih kecil tentang konflik internal keluarga Charly Mattei sendiri dan film ini juga mengajak kita berkeliling layaknya tur, mengintip seluk beluk dunia mafia di Marseille.

Mungkin di awal kita akan bertanya-tanya dari mana asal judul “22 Bullets” tersebut, apa ada sangkut pautnya dengan Jean Reno yang menembak dua puluh dua peluru ke tubuh musuh-musuhnya? atau apa? sambil berjalannya cerita kita nantinya akan tahu sendiri. Film diawali dengan kisah damai seorang mantan mafia Marseille bernama Charly Mattei (Jean Reno), yang memutuskan untuk pensiun dan mengurusi keluarga. Kehidupannya di beberapa tahun pertama masa pensiunnya dari status mafia amatlah tentram, sehari-hari bersama keluarga dan Mattei bisa bermain dengan anaknya. Namun pada suatu hari yang tidak diduga-duga, Mattei dikunjungi “para algojo”, orang-orang bertopeng yang dengan membabi buta menembakinya—adegan ini mengingatkan saya ketika sonny diberondong peluru di “The Godfather”—dan meninggalkannya sekarat dengan 22 peluru bersarang di tubuhnya, sekarang tahu kan judulnya didapat dari mana. Para pelaku penembakan Mattei mungkin telah berhasil melumpuhkannya, tapi yang tidak mereka ketahui adalah orang yang mereka tembaki ternyata masih hidup dan sekarang terbaring di rumah sakit setelah operasi pengambilan ke-22 peluru tersebut. Mattei pun sadar dia dan keluarganya masih dalam bahaya, apalagi dengan serangkaian pembunuhan orang-orang terdekatnya, sambil melindungi keluarga, kini Mattei berniat memburu para pelakunya, sebelum musuhnya menemukan dirinya… dia harus mendahului mereka dan menembak kepalanya.

“22 Bullets” tidaklah sukar untuk dinikmati, film yang disutradarai oleh Richard Berry (The Black Box) ini—Richard juga ternyata main di film ini sebagai seorang mafia bernama Aurelio Rampoli—memang toh murni sebuah film hiburan. Pakem-pakem yang harus ada di film bertema action nantinya juga akan beriringan hadir menemani aksi-aksi balas dendam Charly Mattei, dari adu tembak, perkelahian tangan kosong, sampai kejar-kejaran mobil yang sekali lagi sambil tembak-menembak. Ketika kita sedang menikmati aliran deras adrenalin yang asalnya dari adegan laga-balas-dendam-yang-terkadang-tidak-berperikemanusiaan, pertanyaan tentang moral pun tampaknya mesti tersingkir sebentar, karena film ini sudah cukup memberi kita alasan “bermoral” lain kenapa pada akhirnya kita mendukung setiap tindakan Charly Mattei. Toh Charly tidak membunuh anak-anak dan perempuan tapi “berandalan” Marseille yang menyebut diri mereka mafia, yang tak sungkan membunuh teman terdekat Charly dan menghidangkan tubuhnya pada anjing. “22 Bullets” hanya sebuah hiburan, tidak perlu mencari-cari siapa yang salah dan siapa yang benar, di atas kertas Richard Berry sudah mengarahkan film ini untuk membuat Charly sebagai sang jagoan dan mafia-mafia itu sebagai yang jahat dan pantas mati.

Dengan porsi Charly Mattei yang lebih mendominasi, karena ini memang film tentang dia, Richard Berry pun berusaha mencuri rasa simpati penonton lewat berbagai perspektif yang akhirnya menyimpulkan Charly Mattei memang orang yang harus kita dukung dan segala cara yang ditempuhnya dalam menghabisi musuh-musuhnya pun menjadi legal di mata manusiawi kita, toh dia juga mafia dan kita memang sedang ingin menikmati film ini sebagai sebuah hiburan. Seperti yang saya katakan di paragraf sebelumnya bahwa film “22 Bullets” ini lengkap dengan pakem film action yang sudah ada di film-film bertema sama dan kesemuanya berhasil mendukung setiap aspek hiburan yang ingin ditonjolkan Richard di filmnya. Walaupun terkadang Richard juga menurunkan tempo film ini dan mengalihkan perhatian penonton pada cerita-cerita pendamping, dari konflik keluarga Charly Mattei sendiri sampai kisah polisi bernama Marie Goldman yang tidak hanya kerepotan menangani kasus sang mantan mafia yang sedang membalaskan dendamnya tapi juga punya konflik tersendiri dengan atasannya.

Namun semuanya hadir dengan porsi yang bisa dibilang terlalu bertele-tele dan mungkin yang membuat durasi film ini menjadi membengkak, walau sebagai pelengkap pada akhirnya kisah-kisah tersebut juga menarik dan membuat film ini punya variasi cerita yang saling berkaitan dengan cerita utama. Beruntung Richard tidak lupa dengan Charly Mattei dan ketika penonton diajak kembali menjenguk ayah dua anak ini, bersiaplah dengan aksi-aksinya. Sayangnya entah kenapa Richard membuat akhir cerita ini jadi anti-klimaks, walau jika dilihat dari sisi Charly Mattei, semua akan jadi sempurna, dia pada akhirnya berhasil mendapatkan kedamaian yang selama ini dicari dan yah seperti film-film hiburan lain, “22 Bullets” juga berakhir bahagia. Film yang berhasil menghibur tapi sekaligus mudah untuk dilupakan mungkin kalimat yang tepat untuk menyimpulkan film ini. Walau begitu penampilan Jean Reno sudah sepantasnya diacungi jempol, diusianya yang sudah 62 tahun masih sanggup memperlihatkan performa akting yang maksimal di dalam film action (beberapa aksi mungkin dilakukan oleh para stuntman). Sekilas lewat mimik wajahnya yang dingin, saya seperti melihat Jean Reno dalam balutan pembunuh profesional bernama Leon, tapi tentu saja tidak ada yang bisa mengalahkan film buatan tahun 1994 tersebut, kapan yah kira-kira Luc Besson membuat film seperti itu lagi?